logo web

Dipublikasikan oleh Hermansyah pada on . Dilihat: 3051

Dari Jepang, Hakim PA Wonosari Mendapat Banyak Oleh-oleh

Pada tulisan terdahulu berjudul “Di Jepang, Hakim PA Wonosari Belajar Mediasi”, Latifah Setyawati, S.H., M.Hum melaporkan latar belakang kunjungannya dan aktivitas apa saja yang dijalaninya bersama seorang hakim PN Batam Nenny Yulianny, S.H.,M.Kn selama di Jepang, Maret lalu.

Belum lama ini, Badilag.net berkesempatan mewawancarainya untuk mendapatkan gambaran yang lebih utuh mengenai oleh-oleh berupa ilmu dan pengalaman yang diperolehnya ketika belajar mediasi di Negeri Sakura itu. Berikut ini hasil wawancara tersebut:

Bu Latifah, Anda telah bercerita mengenai aktivitas Anda berdua selama sepekan pertama di Jepang. Kami ingin tahu kelanjutan cerita pada pekan berikutnya…

Pekan kedua kami di sini masih diisi dengan kegiatan yang sama, yakni belajar dengan Prof. Yoshiro Kusano, Prof. Tatsuki Inaba, dan Prof. Yukari Shirota. Fokus belajar kami juga masih sama, yaitu mengenai mediasi.

Selain itu, kami juga diajak ke Universitas Gakushuin. Bukan hanya perguruan tinggi, di situ ada berbagai lembaga pendidikan mulai dari TK. Dulu hanya untuk keluarga kaisar, tapi sekarang masyarakat umumpun boleh menimba ilmu di sini. Kampusnya luas dan asri, serta terdapat berbagai macam pohon, termasuk pohon sakura. 

Kegiatan lainnya adalah mengunjungi kantor JILA (Japan Indonesia Lawyers Association) dan berdiskusi dengan para pengacara yang tergabung di dalamnya. Kami berdiskusi seputar isu hukum yang sedang berkembang di Jepang maupun di Indonesia.

Adakah aktivitas lain yang tidak terlalu formal?

Ya, ada. Prof. Yoshiro Kusano mengajak kami untuk mengenal secara langsung kehidupan masyarakat Jepang dalam menyelesaikan masalah yang mendasari mengapa mediasi mencapai keberhasilan yang cukup signifikan di Jepang. Termasuk mengetahui bagaimana tradisi minum teh yang kebetulan sedang digelar oleh sebuah universitas di Jepang.

Sekarang kita beralih ke soal yang lebih substansial. Seperti apa sesungguhnya konsep dan praktik mediasi di Jepang? Bu Latifah bisa memulainya dengan menjabarkan sistem peradilan di sana terlebih dahulu…

Oke. Agak mirip dengan di Indonesia, Jepang mengenal tiga tingkatan peradilan. Di tingkat pertama, terdapat 438 Summary Court, 50 District Court dan 50 Family Court. Di tingkat banding, ada 8 High Court. Dan di tingkat kasasi, ada satu Supreme Court yang terletak di Tokyo.

Summary Court itu untuk menangani perkara-perkara pidana maupun perdata yang tergolong ringan, dengan patokan ancaman hukuman pidana atau jumlah yang disengketakan hanya sekian Yen. District Court hampir sama dengan Pengadilan Negeri di sini. Sementara Family Court mirip Pengadilan Agama, yaitu untuk menangani sengketa-sengketa rumah tangga.

Terus, perkara apa saja yang harus dimediasi?

Jadi, begini. Di Jepang, mediasi dilakukan terhadap perkara perdata. Di sana, secara garis besar, perkara perdata dibedakan menjadi dua macam, yakni perdata biasa dan perdata keluarga. Perkara perdata diselesaikan melalui Summary Court dan/atau District Court, sedangkan perkara perdata keluarga diselesaikan melalui Family Court.

Secara general, apa persamaan dan perbedaan mediasi di Jepang dan di Indonesia?

Persamaannya yang paling mendasar tentu saja mengenai tujuan mediasi. Yaitu sama-sama bertujuan mencari kesepakatan jalan tengah atau win-win solution. Persamaan berikutnya, mediator bisa diperankan oleh hakim maupun non-hakim. Di sana, jika seorang hakim ingin jadi mediator, dia harus ikut tes.

Perbedannya, di Jepang, mediasi dibagi menjadi dua, yaitu chotei dan wakai. Chotei adalah mediasi yang dilakukan para pihak sebelum perkara didaftarkan ke pengadilan. Sedangkan wakai adalah mediasi yang dilakukan para pihak setelah perkara didaftarkan ke pengadilan. Dengan demikian, wakai satu paket dengan litigasi.

Seluruh perkara perdata wajib dilakukan wakai. Sementara chotei sifatnya opsional, kecuali untuk perkara perdata keluarga.

Jadi, untuk perkara perdata keluarga, tidak boleh diajukan ke Family Court sebelum dilakukan proses chotei. Jika chotei tidak berhasil, maka perkara tersebut didaftarkan ke Family Court dan di sana terlebih dahulu dilakukan proses wakai, sebelum hakim memeriksa pokok perkara.

Perbedaan lainnya, pelaksanaan chotei dan wakai tidak dibatasi waktu secara spesifik. Hanya, di pengadilan, penanganan perkara paling lama dua tahun.

Apa produk yang dihasilkan oleh chotei dan wakai?

Jika chotei atau wakai berakhir dengan kesepakatan, maka akan dibuat akta chotei atau akta wakai. Yang membuat adalah panitera, dengan dibumbuhi stempel pengadilan. Kekuatannya sama dengan kekuatan putusan hakim.

Apa benar, tingkat keberhasilan mediasi di Jepang terhitung tinggi? Jika benar, apakah itu mediasi di chotei atau di wakai atau dua-duanya?

Ya, itu benar. Baik chotei maupun wakai, dibandingkan dengan mediasi di Indonesia, memang tingkat keberhasilannya cukup tinggi.

Mungkin Bu Latifah punya datanya, khususnya mediasi yang dilakukan terhadap perkara-perkara perdata keluarga?

Berdasarkan data yang saya dapatkan, pada tahun 2013, ada 137.627 sengketa keluarga yang dicarikan solusi melalui chotei. Dari jumlah itu, 53 persen berhasil di-chotei-kan, 18,7 persen tidak berhasil dan 23,2 persen dicabut.

Pada tahun yang sama, perkara keluarga yang masuk ke Family Court berjumlah 10.873. Dari jumlah itu, 40,9 persen berhasil di-wakai-kan, 47,3 persen diputus Family Court dan selebihnya dicabut.

Berdasarkan temuan dan analisis Anda, apa yang paling menentukan keberhasilan chotei dan wakai?

Saya menilai, ada tiga faktor utama yang mempengaruhi tingkat keberhasilan mediasi di Jepan. Pertama, sistem sudah terbangun sejak lama. Sistem itu meliputi aturan perundang-undangan, prosedur, hingga fasilitas penunjang untuk mediasi. Kedua, mediatornya benar-benar mumpuni. Mereka harus menjalani serangkaian tes dan pelatihan sebelum berhak menjadi mediator. Dan ketiga, budaya hukum masyarakat Jepang. Mereka pada umumnya lebih suka menghindari konflik dan menyelesaikan masalah secara musyawarah.

Apakah biaya berperkara juga berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan mediasi?

Bisa jadi, tapi pengaruhnya tidak signifikan. Di Jepang, besarnya biaya chotei adalah setengah dari biaya litigasi.

Sekarang kita fokus ke perkara perdata keluarga dan Family Court. Apa saja kompetensi absolut Family Court?

Family Court berwenang menerima, memeriksa dan memutus berbagai macam sengketa keluarga. Pada umumnya yang ditangani adalah perceraian dan akibat-akibat hukumnya seperti harta bersama dan pengasuhan anak. Ada juga perkara waris. Yang jadi pedoman hakim di sana adalah Domestic Relations Case Procedure Act. Kira-kira, itu sama dengan Undang-Undang Perkawinan di negara kita.

Di samping itu, Family Court juga berwenang menangani perkara pengakuan anak, berdasarkan Personal Status Litigation Act.

Yang menarik, Family Court mempunyai buku pedoman yang dibuat oleh hakim-hakim senior untuk menyelesaikan perkara-perkara waris yang disebut Isan Bu-Katsu Jiken No Syori Wo Meguru Syomondai. Buku itu diterbitkan oleh Pusdiklat-nya Supreme Court pada tahun 2004. Itu mirip Buku II yang ada di tempat kita.

Apakah di Jepang dibolehkan adanya kesepakatan untuk bercerai? Jika memang boleh, apa yang dilakukan Family Court terhadap pasangan yang sudah sepakat cerai?

Ya, memang di sana suami-istri boleh mengadakan kesepakatan cerai. Itu bedanya dengan di sini.

Meskipun sudah ada kesepakatan cerai, Family Court tetap memeriksa dan memutus, dengan fokus pada sengketa yang terjadi di antara kedua belah pihak. Seperti di tempat kita, ada perkara pokok dan perkara accessoir. Kalau sudah ada kesepakatan cerai, sementara akibat-akibat hukumnya belum disepakati, timbullah sengketa. Nah, sengketa itu kemungkinan bisa diselesaikan lewat chotei. Jika tidak berhasil saat chotei, maka dicoba diselesaikan lewat wakai. Jika wakai juga tidak berhasil, maka diputus oleh Family Court.

Yang jelas, baik chotei maupun Family Court—yang di dalamnya terdapat wakai—berwenang menangani perkara pokok maupun acessoir secara kumulatif.

Ngomong-ngomong, apakah Family Court dan peraturan perundang-undangan mengenai keluarga di Jepang mendapat pengaruh yang kuat dari agama setempat, sebagaimana di Indonesia?

Tidak. Dalam hal ini, Jepang berbeda dengan Indonesia. Bagi masyarakat Jepang, agama lebih menyerupai budaya. Shinto adalah agama nenek moyang yang dianut oleh mayoritas orang tua di sana. Kaum muda sekarang lebih banyak memilih agama Kristen dan sebagian Budha.

Oya, di Jepang juga ada orang Islam. Saya beberapa kali bertemu kaum muslim di sana, terutama ketika mengunjungi Masjid Jami’ Tokyo.

Salah satu fenomena menarik di sana menurut saya, selaku warga Indonesia yang beragama Islam, ialah budaya antri dan kesadaran masyarakat Jepang untuk menjaga kebersihan lingkungan sekitarnya. Mereka benar-benar tertib, bersih dan rapi. Saya rasa, hadis Nabi Muhammad yang mengatakan “kebersihan sebagian dari iman” itu telah diterapkan mereka dalam kehidupan sehari-hari.

Kita sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam seharusnya bisa lebih baik dari mereka, baik dalam hal menjaga kebersihan dan ketertiban maupun dalam menyelesaikan persoalan dengan lebih mengutamakan pendekatan musyawarah atau mediasi untuk mendapatkan win-win solution.

[hermansyah]

Tulisan sebelumnya:

Di Jepang, Hakim PA Wonosari Belajar Mediasi

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice