USIA, JABATAN, DAN PROMOSI
Oleh : Edi Riadi*
Tanggal 16 Oktober 2013 saya berulang tahun ke 58. Istri dan anak serta teman dekat mengucapkan selamat ulang tahun dan panjang umur dengan suka cita walaupun tak ada pesta seperti biasa sebagian orang merayakannya. Usia 58 tahun jika berkaca pada usia Nabi Muhammad sudah dapat dibilang usia senja. Di usia senja ini mulai terasa tidak seperkasa dua puluh tahu lalu yang mampu lari maraton dua puluh kilo meter tanpa jeda, atau lima tahun yang lalu yang masih mampu lari menempuh jarak lima kilo meter tanpa jeda pula. Keperkasaan dulu hanya tinggal kenangan, jalan yang dulu menjadi track maraton menjadi saksi kerapuhan tubuh saya, karena dikala napak tilas saya hanya mampu memaluinya dengan jalan kaki. Kenyataan itu pun seharusnya disyukuri jika dibanding dengan teman seusia banyak yang sudah tidak mampu untuk menapaki rute dua puluh kilo meter walaupun hanya dengan jalan kaki. Namun demikian tetap saja lutut dan pinggang kadang terasa ngilu jika menapaki tangga-tangga gedung bertingkat.
Kerapuhan pisik saya juga diiringi dengan penurunan daya pikir dan daya ingat serta daya-daya lainnya. Kadang saya malu dengan teman-teman di pengadilan, mungkin baru sebulan lalu bertemu dalam pelatihan, bulan berikutnya sudah lupa nama yang teringat hanya raut muka. Maafkan teman, itu bukan kesombongan namun itu peringatan Allah bahwa saya sudah usia senja. Usia senja bukan masanya untuk menjadi top leader melainkan hanya pas untuk belajar untuk menjadi pandito memberi wejangan keilmuan dan kerohanian bagi generasi penerus. Tidak heran jika hand phone saya sering menerima tausiah-tausiah ke agamaan dari senior-senior yang lebih lanjut usia dari saya yang sekarang masih bertengger dalam singgasana jabatan.
Rabu 22 Oktober 2013 saya diundang Focus Grup Discussion (FGD) oleh Kepala Puslitbang di Gedung Mahkamah Agung Jalan A. Yani. FGD tersebut dihadiri oleh Kepala Badan Litbang Diklat dan Kumdil, Kepala Pusat Litbang Mahkamah Agung, Sekertaris Dirjen Badilag, Sekertaris Wakil Ketua non Yudisial dan beberapa peneliti Puslitbang. Sayang Ketua Muda (Presiden Kamar) Pembinaan dan beberapa hakim agung tidak hadir. FGD tersebut menarik karena merupakan forum uji kesahihan atas hasil penelitian Puslitbang MARI tentang sistem mutasi dan promosi hakim di empat lingkungan peradilan. Dalam penjelasannya pemakalah menjelaskan bahwa penelitian tersebut berangkat dari realitas kegalauan dan ketidak puasan dari sebagian hakim atas sistem mutasi dan promosi yang diungkapkan melalui media internet maupun obrolan informal.
* Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama Jakarta
Untuk mengunduh file, silahkan klik di sini
Jazakallah atas tulisannya pak Dr. Edi :)
Beberapa waktu kemudian, Tuamarga Andi Syamsu Alam “menurunkan” Bapak menjadi Wakil Ketua PTA Jakarta untuk melakukan pembaharuan pemikiran hukum Islam di wilayah PTA Jakarta.
“Kalau tak ada pembaharuan dari Jakarta, bukan pembaharuan yang mati, tapi Pak Edi yang mati,” kata Tuamarga bercanda, saat memberikan pengarahan pada Diskusi Hukum putaran kedua di Badilag.
Saya juga sangat berharap Bapak tetap sabar meski ditertawakan bahkan dicibirkan dan semoga juga tidak jumud dalam memandang pendapat pribadi.
Berkenaan usulan lainnya (yang semoga tetap hanya menjadi wacana), Saya mencoba memahami dengan logika berfikir Bapak Riadi. Perkenankan saya memandang permasalahan dari sisi lain.
Thomas Alva Edison melakukan ribuan kali eksperimen untuk menemukan cahaya terang benderang yang diidam-idamkan ummat manusia. Tentu biaya eksperimen ini luar biasa mahal jika diterapkan dalam pembahasan ilmu-ilmu sosial. Hal ini juga berlaku bagi saran mengenai penempatan hakim pertama agar seharusnya di pengadilan yang volume perkaranya banyak, dan justru senior 'menyingkir' ke pengadilan-peng adilan yang terjauh sekalipun.
Maksud usulan ini untuk mengasah dan mengasuh kemampuan hakim baru ini dalam menangani perkara tentu memerlukan biaya yang luar biasa besar. Bukan biaya materi, tapi biaya sosial. Logikanya, dengan pengalaman masih minim menangani pekerjaan yang banyak dan komplek tentu margin kesalahan juga besar. Bagaimana meng-angkakan marjin kemanusiaan? Lebih jauh, bagaimana mengkoreksi kesalahan-keadi lan jika menyangkut nyawa manusia, seandainya usulan diaplikasikan juga di peradilan umum (yang notabene-nya juga bukan tentara dan polisi)? Maka menurut saya sudah tepat jika MA menerapkan sistem 'pengajaran' berjenjang seperti saat ini.
Mengasumsikan usulan Pak Edi, sebagai calon pemimpin manajerial di kantornya pun, tidak pas jika hakim senior dari daerah 'ramai' yang selama karirnya berada di pusat kota tiba-tiba memimpin di daerah karena dinilai sudah cukup memahami permasalahan berdasar permasalahan di kota. Mengingat kebanyakan di instansi lain, pejabat di pusatpun kebanyakan tidak memahami aspirasi pegawai di daerah. Entah di pengadilan.
Saya tidak menafikan kemungkinan bakat-bakat generasi muda. Sesuai teori kepemimpinan genetis dan Traist Theory tentu ada orang yang memang dilahirkan menjadi pemimpin. Bagaimanapun ada orang yang dilahirkan mendahului zamannya, sehingga mereka dapat saja diberikan jabatan 'seniornya' dengan kemampuan Intelegensia, visi, motivasi dan komunikasi lebih dari orang lain pada umumnya.
Mungkin dalam hal ini nama-nama Tanri Abeng, Sandiaga S Uno, Dahlan Iskan, Bill Gates layak disebutkan. Namun terlalu jauh jika menggeneralisas i kemampuan yang mereka miliki di usia mereka juga 'dipaksakan' ada pada setiap orang di usia yang sama.
Kembali ke obyektif dan ketidakobyektif an. Harus ada mekanisme obyektif penjaringan 'muda luar biasa' ini menuju level kursi para senior bahkan pada level puncak, atau peran kita diambil pihak lain karena ketidakmampuan kita melaksanakannya.
Generalisasi mengenai Kerapuhan pisik juga tidak dapat diterapkan kepada setiap individu. Sangat disayangkan jika di usia yang dianggap senja seseorang dalam puncak kebijakan dan kemampuan intelektualnya, serta tidak mengalami kerapuhan yang sama untuk tetap menjalankan tugas-tugasnya justru harus turun atau pensiun dan digantikan individu lain yang baru mulai belajar (plus jurus try and error-nya). Paradigma menjabat bergiliran harus dihilangkan karena negara bukan perusahaan keluarga. Kepentingan negara dan hal yang lebih besar harus dikedepankan.
Nabi Muhammad di usia 61 tahun masih memimpin langsung Perang Tabuk melawan pasukan Romawi di masa kekeringan panas terik dan jarak medan yang jauh melebihi Makkah-Madinah yang 'hanya' 300 Km.
Usamah bin Zaid, anak seorang budak hitam, di usianya yang 18 tahun sudah diamanahi untuk memimpin pasukan perang muslimin melawan tentara Romawi
Ini adalah suara "lapisan bawah" yang selama ini tertutupi oleh sesuatu, entah apa namanya.
Jika saja ide2 Bapak ini direspon oleh pembuat kebijakan di atas, entah berapa banyak "korban" yang berjatuhan karena kalah bersaing dalam fit and proper test.
Kuncinya...laksanakan aturan UU dan istiqamah-lah, pasti menuai keberhasilan bagi lembaga!
Kenapa untuk jabatan tersebut tidak di rekrut dari mereka2 yg punya kemampuan selain Hakim, sehingga ada motivasi untuk bagi Fungsional Panitera Pengganti untuk berkompetisi, meskipun harus menjalani fit and propertest jua.
Saat ini masih tidak jelas jenjang karir misalnya di Kesekretariatan dan Kepaniteraan. Banyak mereka yang saat ini menduduki jabatan tidak ada batasan, juga yang masih baru beberapa tahun jadi pegawai bisa menduduki jabatan. Apabila ada regulasi dan fit and proper test berpangku pada paradigma bahwa “Promosi dan Mutasi adalah Hak Pegawai’’ tentu setiap pegawai mempunyai kesempatan yang sama untuk berkompetisi dalam sistem yang fair.
Sudah naluriah manusia saat berkuasa keinginannya adalah membangun kaki-kaki kekuasaan demi melanggengkan kekuasaannya. Maka yang muncul adalah paradigma lama “promosi jabatan adalah kepercayaan pimpinan kepada bawahannya” dengan kekuasaannya Ia membangun kekuasaan birokrasinya.
Saya berpendapat bahwa Ideal orang bekerja menjadi top leader itu 60 tahun, boleh saja Hakim Tinggi dan Hakim Agung lebih dari itu dengan sayarat ketika usia 60 tahun mesti diuji kembali secara intelektual dan Kesehatan, ya semacam daftar ulang. Jika secara intelektual memang dibutuhkan dan kesehatannya bagus, maka bolehlah yang seperti itu terus menjadi Hakim Tinggi maupun Hakim Agung. Kita lihat saat ini di PTA, Hakim Tinggi menumpuk tanpa ada perkara selain itu tidak sedikit yang sudah sakit-sakitan. Secara manusiawi sebenarnya apa yang dicari mereka, terlebih jika jauh dari keluarga. Bukankah di usia yang di atas 60 tahun itu lebih asyik momong cucu dan berkegiatan ibadah dan sosial.
Tulisan ini sebenarnya bukan hal baru karena sudah sering terlontar di berbagai media sosial dan merupakan kegelishan umunya pegawai, tapi kemudian menjadi lebih menarik karena ditulis oleh Pejabat Tinggi selevel WKPTA DKI. Semoga tulisan ini menjadi loko perubahan terciptanya jenjang karir di semua level, Hakim, Kesekretariatan dan Kepaniteraan.
yang saya masih ingat ketika 2 tahun silam bapak bilang, "cara berpikir kamu sama dengan cara berpikir saya"
Teorinya sangat bagus, hendaknya teori selaras dengan kenyataan. Ibarat sebuah institusi kemiliteran, masih banyak terjadi : Wakil Komandan yang ada berpangkat Letkol, tetapi komandan yang datang berpangkat Mayor, bagaimana mungkin, tapi di Negeri Wani piro semua bisa saja terjadi, ironis memang, ironis. Trims
Teori bagus, namun teori hendaknya sebagus kenyataan, ibarat sebuah institusi kemiliteran, yang terjadi : Wakil Komandan yang sudah ada berpengkat Letkol, namun komandan yang datang berpangkat mayor, inpossible, ironis memang ironis, tapi itulah di Negeri Wani Piro,
Wahai pembuat keputusan, UU sudah mengatur, janganlah dilanggar atas dasar KKN. Kami yang di luar lingkaran pimpinan selamanya akan seperti ikan di pojok kolam, gelap tak terlihat.
Nah.. inilah kenyataan dilingkungan para penegak keadilan, sudah adilkah kita ..'???????
Tolong sampaikan... masa ada Ketua PA/PTA seumur hidup, emang ga ada lagi yg lbh pantas...??? tolong batasi jbtn sbgai Ktua PA/PTA maksimal hnya 3 thun tig lebih..!!! mksh. smg bos-bos kita diberi kesadaran dan insyaf. aamin....