Usia Cakap Menikah dalam Perspektif Filsafat Hukum Islam
Oleh : Afif Zakiyudin, S.Sy[1]
Sebagai sebuah ikatan, perkawinan yang dibentuk antara seorang pria dan seorang wanita itu berdasarkan ikatan batin. Ikatan batin, bukan soal ketertarikan fisik, melainkan gerakan hati yang terdalam antara kedua belah pihak bahwa keduanya cocok untuk hidup bersama. Disini, sisi kecocokan hati dalam batin menjadi motivasi dasar untuk mau mengikatkan diri secara lahiriah. Menjadi jelas disini ialah motivasi dasarnya yaitu ungkapan batin.
Ungkapan batin kedua belah pihak ini, hanya dapat dirasa dan diketahui oleh keduanya karena hanya diketahui oleh kedua belapihak, maka makna visioner ialah tak terpisahkan secara batin. Ini belum sah menurut aturan keagamaan dan negara, serta sosiologis suatu masyarakat. Karena itu, supaya diakui secara resmi, maka berdasarkan ungkapan hati keduanya itu, yang telah menjadi suatu institusi dasar, yang menurut hemat penulis menjadi pembentuk institusi lain adalah ‘institusi batin’ kedua pasangan itu.
Ungkapan pengikatan diri secara batin yang sudah ada didalam ‘institusi batin’ sejatinya harus diakui secara keagamaan dan sosial-kemasyarakatan. Sehingga ‘institusi batin’ dapat diketahui oleh masyarakat umum bahwa kedua pasangan ini telah menjadi suami istri. Maka, kedua pasangan ini menyatakan diri didalam janji kesepakatan perkawinan antara keduanya didepan wakil lembaga keagamaan dan disaksikan oleh wali perkawinan.
[1] Penulis adalah Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Unissula Semarang dan Honorer Pengadilan Agama Kajen.
Selengkapnya KLIK DISINI