logo web

Dipublikasikan oleh Iwan Kartiwan pada on . Dilihat: 6663

SYIQAQ DALAM TEORI FIQIH, OKE...

TAPI BAGAIMANA PRAKTIKNYA DI PENGADILAN AGAMA?

Oleh: Drs. H. Abdullah Berahim, M.H.I.

(Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi Agama Samarinda)

Kelompok Kerja (POKJA) Pengadilan Tinggi Agama Samarinda beberapa waktu yang lalu, tepatnya hari Rabu tanggal 11 Februari 2014  melaksanakan suatu forum diskusi, dengan mengangkat satu makalah yang berjudul “perkara cerai gugat dengan alasan perselisihan dan pertengkaran terus menerus dan dengan alasan syiqaq”. Drs. Endang Kusnadi, S.H., M.H. salah seorang Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi Agama Samarinda selaku Penulis makalah, pada bagian akhir makalahnya mengemukakan bahwa “ada perbedaan fungsi hakam menurut Buku II dan Kitab Fiqih”. Dalam Buku II, fungsi hakam hanya sebatas melakukan musyawarah yang hasilnya diserahkan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah sebagai dasar putusan. Sedang hakam menurut kitab fiqih, setelah melakukan musyawarah, hakam juga mempunyai wewenang untuk memutus.” Ilaihima attafaruq baina azzaujaini wal jam’i. Masih menurut Penulis makalah diskusi tersebut, ada kerancuan kenapa dalam Buku II perkara syiqaq harus dibuat sejak awal perkara diajukan, dan tidak diperbolehkan merubah cerai gugat dengan alasan perselisihan dan pertengkaran terus menerus menjadi perkara syiqaq. Padahal tidak semua orang yang berperkara mengetahui bagaimana kriteria perkara yang termasuk dalam kategori perselisihan dan pertengkaran terus menerus, dan mana yang termasuk dalam perkara syiqaq.


selengkapnya KLIK DISINI

.
Comments  
# Ahmad Juaeni, PA Sumedang 2014-03-25 08:07
Syiqaq menjadi jenis perkara tersendiri sejak diajukannya perekara ke PA setahu saya sudah lama dicetuskan oleh YM Prof. Abdul Manan, dalam implementasinya untuk kepentingan praktek wajar kalau masih ada perbedaan pendapat. Saya sendiri cenderung berpendapat bahwa syiqaq tidak menjadi jenis perkara tersendiri, lebih realistis apabila suatu perselisihan itu termasuk kategori syiqaq atau bukan syiqaq itu menjadi kesimpulan hakim setelah mengelaborasi bukti-bukti yang ada sehingga rujukan hukum materiilnya tetap Pasal 19 (f) PP No.9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 (f) KHI. Kalau hakim berkesimpulan perselisihannya itu tidak termasuk kategori syiqaq cukup mendengar keterangan keluarga (vide Pasal 22 ayat 2 PP Nomor 9 Tahun 1975). Kalau kesimpulan Hakim perselisihannya itu termasuk kategori syiqaq maka pihak keluarga selain dimintai keterangan sebagai saksi juga sekaligus diangkat sebagai hakamain (vide : Pasal 76 ayat 2 UU Nomor 7 Tahun 1989), namun tetap yang mengambil keputusan adalah Pengadilan bukan hakamain karena secara umum perceraian menjadi bagian dari wilayah otoritas Pengadilan. Wallahu a'lam.
Reply | Reply with quote | Quote
# Drs. H. Ambo Asse SH MH/Hati Banjarmasin 2014-03-31 23:19
KHI, Buku II adalah fiqhi Indonesia, mungkin penulis memperhadapkann ya dengan fiqhi dalam Kitab Kuning, sebenarnya tidak ada masalah jika sekiranya kita memahami bahwa fiqhi Kitab Kuning saat ini di Indonesia ada keadaan baru yang kondisinya tidak lagi seperfti pada saat para ulama terdahulu berpendapat, telah banyak keadaan dimana fiqhi kitab kuning tidak diperlakukan dan tidak ada keterikatan hakim untuk berpegang pada kitab kuning, hakim Indonesia juga mujtahid pada zamannya, dan tidak ada kehatrusan tunduk pada fiqhi Kitab Kuning, pendapat anda harus lebih dekat dengan Buku II dan KHI, sebagai hakim Indonesia sekarang ini, sebelum Buku II dan KHI, dalam masalah yang sama telah dilaksanakan dengan sesuai Fiqhi Kitab Kuning, Trims.
Reply | Reply with quote | Quote
Add comment

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice