Suap Hakim Pasca-Tunjangan Pejabat Negara
Oleh : Achmad Fauzi
Hakim Pratama Muda pada PA Kotabaru, Kalsel; penulis buku Pergulatan Hukum di Negeri Wani Piro
Artikel ini dimuat di Harian Jawa Pos, 25 Maret 2013
Hukum kita tetap berlumur bercak noda. Dari najis ringan hingga berat. Peraturan yang bersifat paripurna tidak berarti ketika kultur dan etika penegak hukum dibangun di atas fondasi peradaban perut. Bunyi pemeo bahwa hakim tak boleh mengadili saat perut keroncongan telah ditafsirkan secara pragmatis dengan mencari celah mempermainkan perkara untuk memenuhi hasrat rakusnya.
Hakim yang menerima suap adalah hakim tamak dan pengkhianat hukum. Terkutuk baginya karena keadilan diperjualbelikan di sudut-sudut kemungkaran. Demikian respons saya ketika menjawab pertanyaan masyarakat yang gerah menyaksikan sisi gelap hakim yang asyik berkubang dalam gurita rasuah.
Kesadaran orang waras pasti tersentak ketika hakim yang menyandang gelar "Yang Mulia" ditangkap paksa karena menerima sogok. Apalagi sejak November 2012, penghargaan negara terhadap hakim lebih baik dibandingkan sebelumnya. Penghasilan hakim telah ditingkatkan dengan harapan dalam memutus perkara tidak tergiur pesona duniawi.
selengkapnya KLIK DISINI
.
Kemanabudaya malu, malu-maluin
Ajaran tersebut memang sangat pas. Kenapa? Karena yang membuat orang melakukan kejahatan adalah karena TIDAK PUNYA MALU/IMAN. Nah! supaya berhenti, mereka harus diper-MALU-kan di depan umum.
Kita dukung KPK, tangkap, adili dan jatuhi hukuman yg seberat-beratny a bagi penghianat-peng hianat peradilan !