logo web

Dipublikasikan oleh Iwan Kartiwan pada on . Dilihat: 6024

REKONSTRUKSI KEBIJAKAN ANCAMAN SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PERKAWINAN DALAM  HUKUM POSITIF DI INDONESIA

Oleh: Dr. Hj. Hasnawaty Abdullah, S.H., M.H.

(Ketua PA Gresik)

Ketentuan ancaman sanksi pidana terhadap tindak pidana perkawinan belum dapat diimplementasikan secara optimal. Secara yuridis, ketentuan tersebut penuntutannya merupakan delik aduan dan sekadar diatur dalam peraturan pemerintah. Secara sosiologis, perkawinan yang tidak dicatatkan dalam pandangan sebagian masyarakat dianggap sebagai hal yang lazim dilakukan sehingga berimplikasi pada penegakan hukum tidak tegas dan keberadaan hukum tidak mempunyai wibawa. Oleh sebab itu, urgen dilakukan rekonstruksi kebijakan ancaman sanksi pidana terhadap tindak pidana perkawinan dalam hukum positif di Indonesia yang mampu mewujudkan perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan, baik rekonstruksi substantif maupun rekonstruksi penempatan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan.

 

A. Pendahuluan

Isu tindak pidana[1] dalam hukum perkawinan[2] sering menjadi topik bahasan di berbagai forum maupun mass media. Kendati tatacara perkawinan di Indonesia telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, bahkan diikuti dengan ancaman sanksi pidana bagi mereka yang melakukan tindak pidana perkawinan, akan tetapi dalam penerapannya masih terjadi fenomena perkawinan yang sering diistilahkan dengan “perkawinan sirri”[3] dan “perkawinan kontrak” (mut’ah)[4].


[1]Tindak pidana menurut sistem KUHP dibagi atas kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen). Pembagian dalam dua jenis ini tidak ditentukan dengan nyata dalam suatu pasal KUHP, tetapi sudah dianggap demikian adanya, dan ternyata antara lain dari Pasal 4, Pasal 5, Pasal 39, Pasal 45, dan Pasal 53 Buku I, pada Buku II tentang kejahatan, dan Buku III tentang pelanggaran. Lihat Moeljatno,  Azas-azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1985, Hlm. 71

[2] Tindak pidana perkawinan baik berupa kejahatan maupun pelanggaran. Tindak pidana kejahatan dalam hukum perkawinan diatur antara lain dalam ketentuan Pasal 279 KUHP, sedangkan tindak pidana pelanggaran dalam hukum perkawinan diatur antara lain dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

[3]Kata “sirri” berasal dari Bahasa Arab yang berarti rahasia. Berdasar makna etimologis, perkawinan sirri diartikan perkawinan yang rahasia atau dirahasiakan. Dikatakan demikian karena prosesi perkawinan sengaja disembunyikan dari publik dengan berbagai alasan, dan biasanya hanya dihadiri oleh kalangan terbatas. Perkawinan sirri dalam konteks ini adalah perkawinan yang sengaja dilakukan di bawah tangan, tidak dicatatkan di KUA dengan berbagai alasan. https://www.facebook.com/permalink.php?id, diakses terakhir pada 18 Oktober 2014.

[4]Perkawinan kontrak (mut’ah), secara etimologis, mempunyai pengertian ”kenikmatan” dan ”kesenangan”. Dalam hukum Islam, perkawinan kontrak adalah suatu ”kontrak” atau ”akad” antara seorang laki-laki dan wanita yang tidak bersuami, ditentukan akhir waktu perkawinan dan mas kawin yang harus diserahkan kepada pihak perempuan. Ibid.


Selengkapnya KLIK DISINI

 

Comments  
# rokiah PA Luwuk 2016-09-29 09:30
Sudah saatnya sanksi pidana terhadap tindak pidana perkawinan diterapkan di lapangan tanpa ragu, karena jelas anak-anak dan perempuan (isteri) adalah korban dari perkawinan yang tdk tercatat / nikah sirri. Sanksi pidana terhadap tindak pidana perkawinan diharapkan dapat meminimalisir terjadinya perkawinan sirri.
Reply | Reply with quote | Quote
# sumasno HT Mataram 2016-10-07 15:28
sanksi pidana terhadap kawin sirri sebagaimana yang diatur dalam pasal 45 PP 9 tahun 1975 tidak berjalan efektif karena adanya budaya hukum dimana masyarakat memandangnya sebagai suatu yang lazim dan biaya terjadi, oleh karena itu jalan keluarnya untuk ketertiban dan kepastian hukum melalui Istbat Nikah.
Reply | Reply with quote | Quote
# PO,kungfu Panda 2016-10-25 14:48
mewakili keawaman dalam ilmu hukum,perkenank an saya menanyakan hal-hal sbb :
1. penulis menggunakan judul "KEBIJAKAN ", dalam judul artikel dimaksud;
a. apa pengertian "kebijakan" dalam ilmu hukum ( baik intensi maupun ekstensi pengertiannya ) ?
b. teori hukum apa yng bisa menjelaskan kedudukan " KEBIJAKAN " dalam hukum - atau mungkin "kebijakan" bukanlah bagian dr ilmu hukum ?
c. Ilmu Hukum adlh sui generis,yg lapisannya meliputi aturan/praktek hukum (aksiologis),te ori hukum(epistimol ogis)& filsafat hukum(ontologis ). jk memang "KEBIJAKAN" itu bagian dr Ilmu hukum, bisakah dijelaskan isu hukum ttg kebijakan tersebut, dlm aksiologi, epistimoligi maupun ontologi ?
2. metode ataupun lndasan teori apa yg digunakan penulis dalam melakukan rekonstruksi hukum, krn dlm daftar pustaka artikel tdk trdapat literatur ttg teori rekonstruksi hukum ? thd masalah dimaksud mngp hrus mnggunakan rekonstruksi hukum ? apakah tidak cukup dengan konstruski hukum ?
Reply | Reply with quote | Quote
# Hosen PA.Pas. 2016-10-31 10:05
Hukum bukan hanya sekedar aturan yang mengedepankan sanksi apabila tidak dipatuhinya, krn hukum itu sendiri untuk melindungi. sementara prilaku seseorang antara satu dengan lainnya tidak sama, sehingga timbul pro dan kontra. oleh krn itu dalam Pasal 2 UU.No. 1 Th. 1974 antara ayat 1 dan 2 sdh kontradiksi blm lagi dilihat dari sudut antara ilmu hukum yg satu dengan ilmu hukum yg lainnya, krn epismologis selalu berbeda dengan aksiologis. shg dalam masalah nikah sirri masyarakat merasa punya sandaran kpd Pasal 2 ayat 1 UU. No. 1 Th. 1974 terutama mengedapannya kpd nilai2 agama. yg jg dijamin dg adanya itsbat nikah.
Reply | Reply with quote | Quote
Add comment

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice