logo web

Dipublikasikan oleh Iwan Kartiwan pada on . Dilihat: 2302

Rekonstruksi Kaidah Fikih Klasik Terkait Isu Pluralisme Agama

Oleh: Ahmad Syahrus Sikti.

Pendahuluan

Di dalam ijtihad, terbagi kepada dua bagian yaitu ijtihad Istinbati (menggali hukum) dan ijtihad tatbiqi (penerapan hukum). Ijtihad istinbati berkaitan erat dengan ilmu usul fikih sedangkan ijtihad tatbiqi berkaitan erat dengan ilmu kaidah fikih[1]. Kaidah fikih ini ada sejak awal Islam namun belum menjadi ilmu tersendiri sehingga kaidah fikih kurang mendapat perhatian oleh para yuris klasik yang pada akhirnya mulai dikembangkan oleh para yuris kontemporer untuk memudahkan dalam proses ijtihad dewasa ini.

Taftazani mendefinisikan kaidah fikih sebagai upaya untuk mengetahui hukum-hukum juz’i yang berasal di bawah objek kaidah fikih tersebut, baik diketahui secara pasti maupun secara dugaan.[2]  Para ahli-ahli fikih sangat memperhatikan kaidah fikih ini dan mereka menjadikan kaidah fikih sebagai ilmu dan tidak ada keraguan tentang pentingnya ilmu kaidah fikih. Hal ini terbukti dengan ditulisnya kitab-kitab kajian kaidah fikih dari berbagai mazhab. Mazhab Hanafi seperti al-Karkhi dan Ibnu Nujaim, mazhab Maliki seperti al-Maqarri dan al-Winsyarisyi, mazhab Syafi’i sepertial-Izz al-Din bin Abd al-Salam dan Jalal al-Din al-Suyuti, mazhab Hambali seperti Ibnu al-Laham dan Ibnu Taimiyah. Para yuris tersebut telah menulis secara individu serta mensyarah-kan dengan komprehensif.[3]


[1] Kaidah fikih adalah kaidah-kaidah yang berhubungan dengan objek hukum-hukum cabang (furu’). Adapun objek-objek ini merupakan objek-objek yang terpenting dalam kajian fikih Islam. Yaitu objek-objek tersebut berkaitan dengan segala perkembangan kehidupan dan perubahan zaman. Lihat di dalam karya Ismail Kaukasal, Tagayyur al-Ahkam Fi al-Syari’ah al-Islamiyyah, (Beirut: al-Risalah, 2000). Sedangkan menurut Mustafa Ahmad al-Zarqa, kaidah fikih adalah kaidah fikih yang bersifat universal yang dijelaskan di dalam aturan teks yang dapat mencakup permasalahan baru yang bersifat umum yang masuk dalam kategori objeknya lihat di dalam karya Mustafa Ahmad al-Zarqa, al-Madkhal fi Fiqh al-Amm, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986).

[2] Mahmud Ismail Muhammad Mustaqil, Atsar al-Khilaf al-Fiqhiy Fi al-Qawa’id al-Mukhtalaf Fiha, (Kairo: Dar al-Salam, 2007),

[3] Muhammad Kamal al-Din Imam, Nadhriyyat al-Fiqh Fi al-Islam : Madkhal Manhaji, (Beirut: al-Muassisah al-Jam’iyyah al-Dirasah, 1998).Menurut al-Maqarri,sebuah kaidah baru disebut kaidah fikih jika terpenuhi beberapa syarat: pertama, al-Isti’ab yaitu suatu kaidah mencakup seluruh hukum permasalahan-permasalahan furu’. Kedua, al-Aglabiyyah yaitu pada dasarnya suatu kaidah itu universal mencakup permasalahan-permasalahan juz’i. Ketiga, al-Tazrid  yaitu suatu kaidah harus mencakup hukum-hukum yang mandiri dengan hukum - hukum parsialnya. Keempat, Ahkam al-Siyagah yaitu suatu kaidah harus menggunakan lafaz yang memiliki arti yang umum dengan redaksi yang sederhana lihat di dalam karya Ahmad al-Maqarri, Amal Man Tabba Li Man Habba, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tth).


Selengkapnya KLIK DISINI

 

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice