REFORMASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA, TINJAUAN TIPOLOGIS DALAM KERANGKA IJTIHAD
Oleh : Ahmad Mufid Bisri, S.H.I.[1]
Nothing endures but change (Tidakada yang bertahankecualiperubahan)
(Heraclitus)
Secara umum tujuan pemberlakuan Hukum Islam (Maqashidus Syari’ah)adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindari mafsadat. Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin senantiasa menawarkan solusi bagi umat manusia. Di antaranya dengan mengakomodir problematika yang dihadapi dalam rangka mewujudkan tujuan tersebut. Di sisi lain, muncul banyak persoalan baru menyangkut hukum yang belum ditegaskan dalam Al-qur’an dan Sunnah maupun kitab-kitab dalam pemikiran fiqih klasik. Ahli hukum menyebut kondisi ini sebagai kehampaan hukum (vacuum of law). Mereka juga berpendapat harus (segera) diadakan pembaruan.
Dalam literatur Islam kontemporer, kata “pembaruan” silih berganti dipergunakan dengan kata reformasi, modernisasi, reaktualisasi, dekonstruksi, rekonstruksi. Namun yang paling banyak dipergunakan adalah kata reformasi dari bahasa Inggris (reformation) yang berarti membentuk atau menyusun kembali.
Sebenarnya, ide Pembaruan Hukum Islam (baca : Reformasi Hukum Islam) bukanlah hal baru di Indonesia. Pada tahun 1986 misalnya, Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) melegitimasi (meskipun prosesnya memakan waktu tiga tahun) pernikahan beda agama (interfaith marriage) antara Adrianus Petrus Hendrik (Kristen) dengan Andy Voni Gani Parengi (seorang Muslimah) yang sebelumnya ditolak oleh KUA dan Kantor Catatan Sipil (Ratno Lukito : 2008). Pada pertengahan 1990-an MA-RI juga memberi jatah warisan kepada ahli waris non muslim melalui sarana wasiat wajibah yang sebelumnya tidak dikenal dalam kitab-kitab fiqih manapun. Baca juga putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan nomor 1751/Pdt.P/1989 tentang perkawinan melalui telepon (Abdul Manan : 2013, 59-60).
[1]Calon Hakim Angkatan II PPC Terpadu MA-RI, Satker Pengadilan Agama Kab. Kediri. Mentor/Pembimbing; Drs. H. M. Masykuri, M.HI
selengkapnya KLIK DISINI
.