logo web

Dipublikasikan oleh Iwan Kartiwan pada on . Dilihat: 4842

YANG TERABAIKAN OLEH HAKIM PERADILAN AGAMA

Oleh : Ahmad Choiri[1]

PENDAHULUAN

   Seminar 10 tahun kerjasama Mahkamah Agung RI dengan Family Court Of Australia dengan Tema:” Perjalanan 10 tahun Kerjasama Dalam Memberi Keadilan Bagi Para Pencari Keadilan” yang berlangsung pada tanggal 2 – 3 September 2015 di Aula Badilag, telah memunculkan satu masalah yang menjadi salah satu agenda kerjasama Mahkamah Agung RI dengan Family Court Of Australia pada tahun-tahun yang akan datang yaitu tentang perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban perceraian orang tuanya.

Kerjasama Mahkamah Agung RI dengan Family Court Of Australia yang difasilitasi oleh IALDF (Indonesia Australia Legal Divelopment Facility) yang dimulai pada tahun 2005 membawa perubahan ke arah kemajuan yang sangat signifikan terutama bagi kemajuan Peradilan Agama dalam ikut serta mewujudkan visi Mahkamah Agung RI yaitu terwujudnya Badan Peradilan yang Agung, yaitu memberikan layanan keadilan yang prima bagi seluruh masyarakat pencari keadilan sesuai dengan perkembangan dan kemajuan teknologi informasi global sehingga dapat memberikan kemudahan dan kepuasan bagi masyarakat terhadap pelayanan Pengadilan.


[1] Hakim PTA Jakarta.


Selengkapnya KLIK DISINI


 

Comments  
# Ahmad Syafruddin 2015-09-14 09:49
Judul tulisan YM. Ahmad Choiri yang dikunci dengan kalimat penutup angka 1, hemat saya terlalu sangat dini, dangkal, non komprehensif kohesif, terbuka didiskusikan, diperdebatkan secara tajam. Tujuan dan maksud tulisan sungguh tidak diragukan sedikitpun. Namun perspektif yang dibangun cenderung menyudutkan. Bukankah negara saja wajib memberikan perlindungan kepada anak?. Bahkan siapa saja. Apalagi ayah ibunya, tidak peduli sudah cerai atau tidak. Jika unsur menurut hukum terpenuhi, pemidanaan siap menanti. Belum lagi jika dibedah dari sudut analisis "pemidanaan sebagai upaya terakhir". Oleh sebab itu, terlebih menyorot putusan, wajib mengetahui lebih dalam posisi kasus yang diputus hakimnya. Sangat tidak mudah apalagi serta merta melahirkan pernyataan "blunder" yang kaitannya sebuah sistem dalam tatanan harmonisasi hukum di Indonesia, normatif maupun sosiologis. PA. Sungai Penuh, 14092015.
Reply | Reply with quote | Quote
# harijah PA. Makassar 2015-09-15 13:44
memang perlu untuk didiskusikan dari berbagai sudut pandang, perlu sosialisasi ke berbagai kalangan dan perlu analisis-analis is untuk mengambil sebuah kesimpulan
Reply | Reply with quote | Quote
# Abd Salam/PA Magetan 2015-09-25 09:29
Dalam perspektif hukum Islam, perintah mensejahterakan keluarga termasuk anak (al-ahl)adalah perintah umum. Berlaku bagi ayah yang bercerai atau tidak.
Peristiwa di depan peradilan adalah peristiwa khusus. yaitu adanya sengketa.
Maka jika ada hakim yang tidak menghukum seorang untuk memberikan hadlonah, nafkah, biaya pendidikan,mask an dll dalam putusannya, tidak bisa dikatakan serta merta abai terhadap perlindungan anak.Itu bukan perintah kepada hakim. Hakim wajib memutuskan hak-hak tersebut jika di sengketakan (murafaat) dihadapannya;at as dasar perintah-perint ah tersebut.
Hal ini sangat berbeda dengan apa yang disebut hak ex officio istri, karena perintah memberikan nafkah iddah, muth'ah adalah perintah khusus/tertentu bagi laki-laki yang hendak menceraikan istrinya.
Untuk pengayaan Ada baiknya jika kita baca Bab Ahkamul Murafaat oleh Syaikh Muhammad Mu'izzuddin Al-Qudwani (Kepala Jurusan Qadla' Unif Al-Azhar-Mesir)
Begitu yg saya pahami.
Reply | Reply with quote | Quote
# zakwan daiman 2015-10-27 15:05
Saya sangat setuju, dgn Judul "Perlindungan hukum terhadap anak korban perceraian yg terabaikan oleh Hakim Agama". Hakim Agama itu adalah hakim negara ri, yg seharusnya menerapkan uu perlindungan anak, meskipun ada Hakim yg setuju bila ada dlm posita, disebut anak, meskipun dlm petitum tdk ada, dlm putusan disebut ada yg bertanggung jawab thd anak, ibu yg merawat ayah memberi nafkah, bahkan mrk sudah bersepakat pada waktu di mediasi, tetapi juga hakim yg tidak setuju, karena ultra petitum. Dan yg paling miris sekali adalah dalam putusan verstek, anak langsung menjadi anak yatim menjadi beban ibunya, karena salah satu pihak tdk pernah hdr dipersidangan dan tidak dimediasi, sehingga betul2 tdk memperoleh perlindungan hukum dari orang tua mereka, oleh krn itu ada usaha paksa utk menghadirkan orangtua mereka dipersidangan/m ediasi,kalau negara betul2 ingin memberikan perlindungan terhadap anak.
Reply | Reply with quote | Quote
Add comment

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice