PENGEMBANGAN MAKNA “WALAD” PADA AYAT KEWARISAN DALAM YURISPRUDENSI
(Kajian Sosiohistoris Fikih Kewarisan Klasik dan Kontemporer)
Oleh : Drs. H. Abd. Salam, S.H. M.H
Wakil Ketua Pengadilan Agama Sidoarjo
Pendahuluan
Meskipun masalah kewarisan telah dikupas tuntas oleh nash tasyri’, yaitu al-Qur-an dan as-Sunnah, namun untuk mempraktekkan Al-Qur-an dan As-Sunnah tersebut tidaklah gampang, terbukti bahwa sejak pada masa sahabat banyak yang menemui kesulitan dan memunculkan sejumlah perbedaan pemahaman dalam memutuskan masalah kewarisan karena perbedaan interpretasi mereka terhadap nash (teks) walaupun lafazh yang dibahas adalah sama. (Bidayatul Mujtahid, Juz II, hal. 290) dan yang cukup menarik untuk dijadikan kajian kali ini adalah tentang interpretasi kata walad dalam ayat-ayat waris.
Terma “walad” dalam ayat-ayat mawaris dalam kajian fikih klasik diartikan “anak laki-laki” yang dalam perspektif hukum waris berkedudukan sebagai ashabah, yaitu pihak yang tidak menerima bagian tertentu (ashhaabu al-furudl) sehingga ia menjadi sebab terhalang dan tertutupnya pewarisan pihak tertentu.
Pemaknaan tersebut diterima oleh umat Islam dan diterapkan selama berabad-abad dalam menjalankan hukum kewarisan Islam. Karena meluas dan masyhurnya pendapat tersebut dianggap sebagai ijma’ ulama ahlul ilmi atau sebagai pendapat mayoritas (jumhur) ulama dan dianggap sebagai pendapat yang telah mapan (estabiliset), karena pemahamannya digali (istimbath) dari nas yang qoth’i baik wurud (transmisi) maupun dalalahnya, yang berimplikasi pada makna yang pasti, sehingga menurut nalar (episteme) tidak boleh lagi terjadi perbedaan kesimpulan hukum maupun penerapannya.
selengkapnya KLIK DISINI
.
Pertama saya belum tau putusan tersebut;
Kalau mmg begitu, tidak berarti Mahkamah Agug kembali kepada pendapat "jumhur", tiap perkara mmg harus kita adili sendiri-sendiri ;
Salah satu tulisan yang pernah saya baca tentang makna "walad" menegaskan seperti ini:
Pemaknaan kata "walad" sebagai "anak laki-laki" dalam struktur masyarakat yang diayomi konsep Patrilineal mungkin akan lebih adil dan bermanfaat, tetapi tidak dengan masyarakat yang strukturnya dibangun atas dasar konsep "parental". Yang disebutkan terakhir ini, pemaknaan kata "walad" lebih adil dan bermanfaat jika dimaknai sebagai "anak laki-laki maupun anak perempuan". Karena itu, memaknai kata "walad" teidak mululu prsoalan menafsir teks-teks hukum secara filosofis, tetapi juga melihat konstruksi sosial yang ada. Terima Kasih