logo web

Dipublikasikan oleh Iwan Kartiwan pada on . Dilihat: 8944

PENCATATAN NIKAH SEBAGAI KEWAJIBAN SYAR’IYAH

Oleh: Masrum M Noor

(Hakim Pengadilan Tinggi Agama Banten)

I. PENDAHULUAN

Di kalangan ahli hukum islam dikenal adanya istilah syari’at dan fiqh. Dua istilah ini oleh masyarakat Indonesia sering dimaknai sama sebagai hukum islam,padahal masing-masing mempunyai karakteristik yang berbeda. Akibatnya ummat islam selalu salah faham, bahkan kadang-kadang salah anggapan, syari’at dianggap fiqh dan fiqh dianggap syai’at. Karakter syari’at adalah bersumber dari nash qoth’iy, sedang fiqh bersumber dari nash dhonniy. Syari’at merupakan ketentuan baku dari Allah sebagai syari’, sedang fiqh merupakan hasil ijtihad fuqoha’ terhadap dalil-dalil nash, syari’at bersifat tetap, sedang fiqh dapat berubah sesua8i dengan tempat dan zamannya. Syari’at tidak boleh dikurang dan ditambah, sedang fiqh dapat dikurang dan ditambah, bahkan sama sekali baru berdasarkan ‘illatnya.

Memang dalam menentukan hukum baru sebagai fiqh, para ulama telah sepakat harus menggunakan kaidah-kaidah fiqhiyah yang ditetapkan berdasarkan kaidah-kaidah dasar yang berseumber dari syari’at, akan tetapi hasil dari syari’at itu tetap tidak dapat disamakan atau naik ke tingkat syari’at, dia tetap sebagai fiqh atau lebih tepatnya disebut syar’iyat (dinisbatkan sebagai syari’at). Contohnya dalam hukum syarat dan rukun nikah, seperti ijab qabul adalah syari’at, sedangkan dalam hal shighat nikah, apakah harus menggunakan kalimat “ankahtu-ka” dan atau “saya nikahkan anakku kepadamu” adalah masalah fiqh. Tentang pencatatan pernikahan bagi orang islam Indonesia dengan demikian masuk dalam ranah fiqh atau syar’iyat, bukan syari’at.


selengkapnya KLIK DISINI


 

.
Comments  
# Erfani 2013-01-09 11:02
Benarkah sesuatu yang wajib dalam suatu hal lantas menjadi rukun/syarat keabsahan hal itu?
ada tidaknya Pencatatan benarkah "يدل على فساد فى ذات العبادة؟"
ketika fatihah jadi rukun shalat, itu diambil dari redaksi "لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب؟"
Tidak ada keraguan tentang harusnya sebuah nikah dicatat, namun untuk sampai pada level bahwa pencatatan sebagai syarat sah dan atau rukun nikah, perlu instrumen epistimologis yang memadai dan cocok. bahwa pencatatn kemudian menjadi wajib, lewat jalur epistimologis, dapat diterima. lantas apakah dengan demikian karena dia wajib lalu kalo tidak dilakukan memengaruhi keabsahan?
upaya labelisasi pencatatn sbg kewajiban/hukum nya wajib,adalah dalam kerangka hukum taklifi, yg berarti nilai dari bobot beban syariat terhadap sesuatu itu. dan bukan dalam kerangka penemuan hukum wadh'i terkait syarat, rukun, sah, batal, sebab, mani', dll. wallau a'lam.
Reply | Reply with quote | Quote
# Nurdin PA Subang 2013-01-11 07:01
syari'at dengan hukum negara tidak bisa dipisahkan, bagaikan rel kerta api, kereta api tidak bisa berjalan dalam satu rel, hubungan dengan wajibnya pencatatan nikah, sama dengan wajibnya mahar ( maskawin) dalam nikah, memang mas kawin tidak termasuk rukun dan syarat nikah, tetapi wajib adanya, demikian pula dengan mencatatkan pernikahan. Mari kita tengok bagaimana Nabi Muhammad SAW menikah, beliau dicatat dalam sejarah melalui hadits2 atau qishoh2,contoh; dalam catatan, beliau diterangkan ketika nikah dengan Siti khodiijah usia 25 tahun, statusnya jejaka, dll.juga dengan istri2 yng lainnya, demikian pula Siti Khodijah usia 40 tahun, ayahnya Khuwailid, status janda, itu ada catatan,hanya saja belum ada buku nikah (kutipan akta nikah atau akta nikah), juga ketika Nabi SAW, mau nikah lagi dengan wanita lain, beliau selalu terbuka meminta izin kepads istri2nya, tidak sembunyi2 seperti yang dilakukan oleh sebahagian kecil umat Islam yang tidak tanggung jawab. Karena pada zamn Nabi SAW, jangankan akta nikah, ayat2 Al Quran saja masih berserakan disana sini,belum dibukukan, ada yang ditulis di batu, kayu, dikain dll,tetapi catatn Nabi SAW nikah sudah ada, bukankah itu sebuah isyarat bahwa Nabi saja ada catatannya. Nah, dengan pencatatan nikah sekarang yang produknya surat nikah, isinya sama, terdiri dari identitas pihak2, Nama, bin, umur, status, alamat dll. Maka, untuk lebih tertib, lebih teratur dan kedisiplinan umat islam pencatatn dan pembukuan itu suatu keharusan, dalam usul fiqh dikenal dengan "maalaayatimul wujub illa bihi fahuwa wajibun", klo pencatatan itu merupakan hal yang penting, maka wajib adamnya, dan tidak sembarang orang bisa mengeluarkan buku tsb, melainkan diatur mekanismenya melalui pemerintah yang berwenang, sehingga yang mencatat adalah orang yang punya kewenangan dan orang ditunjuk oleh pemrintah, dalam hal ini Kemntrian Agama. Jadi mestinya umat Islam bangga dengan punya UU No.1 tahun 1974 tetnatng perkawinan, PP No.9 tahun 1975 tentang mekanisme pelaksanaan perkawinan, KHI No.1 tahun 19191 dan bangga dengan UU no 7 tahun 1989 Peradilan Agama, yang sudah dua kali perubahan menjadi UU No. 50 tahun 2009. Sudah tidak pantas lagi membicarakan nikah dicatat atau tidaknya, apalagi mereka yang bekerja di Kementrian Agama, PA, Lembaga Negara, Intansi Pemerintah, dan institusi lainnya, karena pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) itu stu nafas yang tidak dipisahkan, dalam arti hanya sah, melainkan dicatat sesuai dengan perundanag yang berlaku dalam hal ini UU No.1 tahun 1974.
Reply | Reply with quote | Quote
# Erfani 2013-01-11 11:01
Tidak ada msalah dengan urgennya pencatatan. kita semua "ijma`" sepakat. tp sampainya pencatatan sebagai yang mempengaruhi sahnya nikah, ini msh perlu analisa epistimologis yang COCOK/RELEVAN. SEJAUH INI YG SDH ADA, ADALAH ANALISA PENCATATAN NIKAH SEBAGAI KEWAJIBAN. DAN ITU COCOK ANALISANYA. INSTRUMEN/PIRAN TINYA BENAR MENUJU RUMUSAN HUKUM TAKLIFI (WAJIB, HARAM, NADB,DLL). TP STATUS WAJIB ITU UNTUK SAMPAI PADA RUMUSAN HUKUM WADH`I (SYARAT, SAH, BATAL, SEBAB, DLL)MENINSCAYAK AN INSTRUMEN ANALISA YG RELEVAN PULA. CONTOH ANALISA BAHWA PENCATATAN ITU DINILAI SEBAGAI PERINTAH WAJIB DAN MERUPAKAN UNSUR INSTRINSIK DARI NIKAH, SEHINGGA JIKA TDK DILAKUKAN, PERPENGARUH PD KEABSAHAN NIKAH. "الأمر دليل الصحة"
WALLAHU A'LAM.
Reply | Reply with quote | Quote
# Erfani 2013-01-16 22:50
Mari kita kaji bersama mana yang termasuk muatan ushul fikih mana yang termasuk muatan fikih. Termasuk masing-masing pirantinya/inst rumennya, agar tidak campur aduk kajiannya, sehingga meminimalisir kekeliruan. Atau bisa jadi, kita kaji pula persesuaian antara keduanya secara runut dan sistemik, yg penting tdk di'gado', meskipun gado gado itu enak rasanya...
Tdk ada maksud apapun, di balik komentar ini, kecuali keinginan ikut berpartisipasi dalam kegiatan belajar lewat dinding ini. Karena apapun itu, dinding ini hanyalah lahan komentar, yang merupakan wujud bahwa komentator benar-benar membaca artikel terkait... apalagi siang tadi (16/1/13) redaktur badilag.net melansir fakta tentang komentar, yang bermaksud pula memacu gairah baca dan partisipasi khususnya keluarga besar peradilan agama terhadap artikel artikel dan berita lainnya di badilag net.
Reply | Reply with quote | Quote
# Faizal Kamil,KPA.Bengkalis 2013-01-09 14:41
Bicara syari'at adalah Islam, benar tidak ada dikotimi antara hukum agana dan hukun negara (sekuler)...say a sependapat dengan penulis Yth, bp. Masrum Noor ( keep spirit pak )
Reply | Reply with quote | Quote
# Faizal Kamil,KPA.Bengkalis 2013-01-09 14:44
Syari'ah adalah Islam atau hukum Islam yang notabene tidak ada dikotomi antara hukum agama dan hukum negara, olehnya opini penulis Yth. bp. Masrum Noor sudat tepat, (keep spirit pak)
Reply | Reply with quote | Quote
# setio 2013-01-12 15:19
kalaupun itu dianggap sebagai tambahan syarat sah nikah, lalu kenapa masih banyak PA yang mengitsbatkan Nikah padahal terjadi setelah tahun '74?!nikah tidak tercatat lalu disahkan pdhl lewat thn '74, dan tidak ada negara Islam lainnya yg memasukkan ini sbg syarat sah nikah, wallahu a'lam
Reply | Reply with quote | Quote
# ayep SM PA Tasikmalaya / Singaparna 2013-01-12 16:41
Ya sependapat, pencacatan wajib, dan yang mengatakan nikah siri itu sah, itu juga harus dilihat nikah siri yang mana ? bisa jadi nikah siri haram, klau istri masih terikat perkawinan denga laki lain.
Reply | Reply with quote | Quote
# MUHAMMAD 2013-01-13 09:49
MUHAMMAD

Kepada para komentator dari lingkungan PA terutama dari para hakim, baik yang berkomentar atas artikel maupun yang berkomentar atas komentar, sebaiknya disertai dengan alasan dan dalilnya, syukur-syukur ditulis dalam artikel sebagai pembanding. Jangan bikin bingung orang awam.
Reply | Reply with quote | Quote
# ABDULLAH 2013-01-13 17:11
apa beda antara syariat dan syar'iyah? coba kaji ulang asal katanya. Bukankah perubahan ke syar'iyaah karena adanya ya' nisbah
Reply | Reply with quote | Quote
# Fauzan/MS-Idi 2013-01-16 11:08
Pencatatan nikah itu sebagai bagian dari sistem administrasi saja, dan dalam negara hukum perkawinan itu memang wajib tercatat, tetapi tdk ada kaitannya dengan sah atau tidaknya pernikahan (menurut saya)
Reply | Reply with quote | Quote
# daswir tanjung 2013-01-17 09:03
Tanpa mempersoalkan masalah perbedaan fiqh dengan syari-at, dan tanpa meengali asal usulnya, sekarang yang perlu masalah pencatatan nikah yang dilaksanakan umat Islam Indonesia termasuk kewajiban syari'yah atau bukan, selama warga negara Indonesia yang baik dan patuh kepada peraturan perundang - undangan yang berlaku di Wilayah Republik Indonesia, maka pencatatan pernikahan yang dilakukan oleh umat Islam adalah termasuk kewajiban Syar'iyah , biasanya yang tidak atau enggan melakukannya adalah perkawinan yang bermasalah,mung kin melakukan poligami liar,dsbnya.kal aupun ada terjadi, tidak melakukan pencatatan nikah bagi perkawinan yang tidak bermasalah, pada tempat - tempat yang sulit dijangkau oleh petugas PPN.
Reply | Reply with quote | Quote
Add comment

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice