PENCATATAN NIKAH SEBAGAI KEWAJIBAN SYAR’IYAH
Oleh: Masrum M Noor
(Hakim Pengadilan Tinggi Agama Banten)
I. PENDAHULUAN
Di kalangan ahli hukum islam dikenal adanya istilah syari’at dan fiqh. Dua istilah ini oleh masyarakat Indonesia sering dimaknai sama sebagai hukum islam,padahal masing-masing mempunyai karakteristik yang berbeda. Akibatnya ummat islam selalu salah faham, bahkan kadang-kadang salah anggapan, syari’at dianggap fiqh dan fiqh dianggap syai’at. Karakter syari’at adalah bersumber dari nash qoth’iy, sedang fiqh bersumber dari nash dhonniy. Syari’at merupakan ketentuan baku dari Allah sebagai syari’, sedang fiqh merupakan hasil ijtihad fuqoha’ terhadap dalil-dalil nash, syari’at bersifat tetap, sedang fiqh dapat berubah sesua8i dengan tempat dan zamannya. Syari’at tidak boleh dikurang dan ditambah, sedang fiqh dapat dikurang dan ditambah, bahkan sama sekali baru berdasarkan ‘illatnya.
Memang dalam menentukan hukum baru sebagai fiqh, para ulama telah sepakat harus menggunakan kaidah-kaidah fiqhiyah yang ditetapkan berdasarkan kaidah-kaidah dasar yang berseumber dari syari’at, akan tetapi hasil dari syari’at itu tetap tidak dapat disamakan atau naik ke tingkat syari’at, dia tetap sebagai fiqh atau lebih tepatnya disebut syar’iyat (dinisbatkan sebagai syari’at). Contohnya dalam hukum syarat dan rukun nikah, seperti ijab qabul adalah syari’at, sedangkan dalam hal shighat nikah, apakah harus menggunakan kalimat “ankahtu-ka” dan atau “saya nikahkan anakku kepadamu” adalah masalah fiqh. Tentang pencatatan pernikahan bagi orang islam Indonesia dengan demikian masuk dalam ranah fiqh atau syar’iyat, bukan syari’at.
selengkapnya KLIK DISINI
.
ada tidaknya Pencatatan benarkah "يدل على فساد فى ذات العبادة؟"
ketika fatihah jadi rukun shalat, itu diambil dari redaksi "لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب؟"
Tidak ada keraguan tentang harusnya sebuah nikah dicatat, namun untuk sampai pada level bahwa pencatatan sebagai syarat sah dan atau rukun nikah, perlu instrumen epistimologis yang memadai dan cocok. bahwa pencatatn kemudian menjadi wajib, lewat jalur epistimologis, dapat diterima. lantas apakah dengan demikian karena dia wajib lalu kalo tidak dilakukan memengaruhi keabsahan?
upaya labelisasi pencatatn sbg kewajiban/hukum nya wajib,adalah dalam kerangka hukum taklifi, yg berarti nilai dari bobot beban syariat terhadap sesuatu itu. dan bukan dalam kerangka penemuan hukum wadh'i terkait syarat, rukun, sah, batal, sebab, mani', dll. wallau a'lam.
WALLAHU A'LAM.
Tdk ada maksud apapun, di balik komentar ini, kecuali keinginan ikut berpartisipasi dalam kegiatan belajar lewat dinding ini. Karena apapun itu, dinding ini hanyalah lahan komentar, yang merupakan wujud bahwa komentator benar-benar membaca artikel terkait... apalagi siang tadi (16/1/13) redaktur badilag.net melansir fakta tentang komentar, yang bermaksud pula memacu gairah baca dan partisipasi khususnya keluarga besar peradilan agama terhadap artikel artikel dan berita lainnya di badilag net.
Kepada para komentator dari lingkungan PA terutama dari para hakim, baik yang berkomentar atas artikel maupun yang berkomentar atas komentar, sebaiknya disertai dengan alasan dan dalilnya, syukur-syukur ditulis dalam artikel sebagai pembanding. Jangan bikin bingung orang awam.