logo web

Dipublikasikan oleh PA Tamianglayang pada on . Dilihat: 3082

Mengawal Marwah Mahkamah di Titik 1o 2’ Lintang Utara Dan 2o  5’ Lintang Selatan

(Catatan Kecil Dari Pengadilan Baru)

Tamiang Layang | PA Tamiang Layang

Bangunan di pojok lapangan luas menghadap Timur, berhimpitan dengan jalan kecil akses menuju komplek perumahan, dipoles cat kelam, berpadu hijau rimbun rerumputan liar sepinggang, 100 meter berjarak dari jalan raya Trans Kalimantan, dengan menara tandon air di sisi kanannya, lebat dibalut tumbuhan rambat, pintu retaknya seolah mengucapkan “welcome” di Pengadilan Agama Tamiang Layang, penanda yang tertulis pada plang nama satu setengah meter, berdampingan dengan papan nama lainnya yang lebih kusam bertulis “Sekretariat Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Barito Timur”.

Permulaan November 2018, 6 bulan lalu, beberapa  hari setelah gegap gempita peresmian 85 Pengadilan baru, di Kota Melonguane, di sebuah kepulauan berjarak 347 Km dari Kota Manado, 1 jam perjalanan  dari bandara Sam Ratulangi, di kepulauan eksotis yang dipimpin Bupati cantik yang beberapa jam lalu “diundang” Komisi Pemberantasan Korupsi ke Jakarta. Empat hari setelah dengan nama Allah Penulis dengan 7 rekan lainnya menguatkan langkah untuk mengemban amanah, memastikan akses terhadap keadilan hadir dan menjangkau setiap jengkal NKRI, tak terkecuali Bumi Jari Janang Kalalawah, Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah, di titik 1o  2’ LU dan 2o  5’ LS.

Berpuluh hari sebelumnya, diskusi singkat dengan mereka yang telah banyak mengenyam asam garam dunia peradilan, menggoreskan catatan penting, bahwa di titik koordinat ini, amanah yang diterima bukanlah ringan. Kuatkan tekad, luruskan niat, berjuang, dan tawakkallah. Demikian pesan akhir dari beliau yang goresan kerut wajahnya melukiskan perjuangan berat yang telah dilaluinya.

Bangunan 80 meter persegi ini memang tidak dirancang untuk memikul nama besar yang tertulis pada plang nama di depannya. Jangan dulu berangan 4 pilar peradilan berdiri gagah menyapa, setelah melewati deretan tanaman hias penyejuk pagar tinggi di ujung pos jaga. Jangan pula bermimpi hawa sejuk ber AC dengan backdrop dengan style milenial bertulis  Pelayanan Terpadu Satu Pintu, dengan ruang tunggu layanan penuh banner bertemakan “dunia hebat, akhirat selamat”. Atau kesampingkan saja hayalan menaiki banyaknya anak tangga dan kemudian melewati lorong-lorong dengan tulisan  Ruang Rapat, Ruang IT, Ruang Arsip, ruang Kepaniteraan, Ruang Panitera, Ruang Sekretaris, Ruang Perpustakaan, dan lain-lain. Karena semua itu terlalu berlebihan untuk sebuah satker perintis.

Tapi acuhkan dulu hal-hal remeh temeh yang memang sudah menjadi menu wajib pengadilan baru. Sejatinya tulisan ini dibuat bukan untuk itu. Karena tumpukan keluhan hanya akan mengubur dalam optimisme, menguras simpanan semangat, dan mengelemenasi predikat  “Syakirin” yang menjadi cita-cita banyak orang.

Rangkaian kata-kata ini memang tidak menggunakan sistematika penulisan ilmiah, formal atau berstruktur “kuliahan”. Dengan kalimat-kalimat tersusun “sirih” ini diharapkan hal-hal yang berkapasitas Maha Berat terekstrak menjadi sesuatu yang “biasa saja”, atau mengesankan hal-hal tajam terdegradasi menjadi ‘setengah tumpul’. Sehingga tidak menghanyutkan Penulis dan atau pembaca dalam pusaran ketidaknyamanan, sekaligus mengantisipasi aduan tentang delik “bacaan” yang tidak menyenangkan.

Kembali ke titik 1o  2’ LU dan 2o  5’ LS.

Jauh beratus  hari sebelum diresmikan operasionalnya oleh Ketua Mahkamah Agung RI, Yang Mulia Prof. Dr. M. Hatta Ali, SH., MH. Pada tanggal 18 Oktober 2018. Ketua Pengadilan  Agama Buntok, selaku pengadilan induk, telah melakukan upaya-upaya “sistematis, terstruktur, dan masif’, meminjam istilah yang lagi trend, terhadap Pemerintah Daerah setempat, di Kabupaten dengan semboyan Jari Janang Kalawah (menjadi jaya selamanya), tempat Layangnya (tersesatnya) seorang Damang bernama “Tamiang” dalam pencarian belahan jiwanya, menurut satu versi cerita rakyat tentang asal usul nama kota “Tamiang Layang”, yang kemudian melalui Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2016 (Revisi) tanggal 26 April 2016 disandingkan dengan salah satu nama pengadilan, sehingga selengkapnya tertulis “Pengadilan Agama Tamiang Layang”.

Upaya-upaya “Sitematis, Tersrtuktur dan  Masif” tersebut, konon kabarnya, berdasarkan testimoni pelaku sejarahnya, yang margin of errornya Penulis yakini 0,00 %, ternyata menghasilkan “gayung tak bersambut”, meskipun tidak sampai level kritis “bagai pungguk merindukan bulan”. Karena upaya yang semula bertujuan mengetuk sensitifitas kelembagaan “eksekutif”, agar menghamparkan karpet merah terhadap operasional PA Tamiang Layang, plus kalungan bunga “komitmen” penyediaan tanah untuk lokasi kantor dan atau meminjamkan gedung kantor dan sarana prasarana lainnya, ternyata masih sangat jauh dari harapan. Pengadilan Agama Tamiang Layang hanya mendapat tawaran satu lokasi tanah yang berkilometer jaraknya dari jalan protokol, di sebuah lokasi yang mungkin “puluhan” tahun kemudian “diharapkan” menjadi salah satu titik pengembangan wilayah kota. Satu tawaran yang kemudian jelas “ditolak” oleh bagian Biro Perlengkapan Mahkamah Agung Republik Indonesia, setelah melihat langsung lokasi dimaksud.

Sampai titik ini memang tidak ada persoalan sangat serius, karena puluhan alasan bisa diungkapkan untuk sebuah “keengganan”, sebagaimana ratusan dalih dapat dikemukakan untuk sebentuk “kesediaan”. Dan memang tidak sepenggal Pasal aturan perundang-undangan pun yang bisa digunakan sebagai media paksa terhadap “eksekutif”, untuk menyediakan sarana prasarana sebuah pengadilan, kecuali semata-mata “demi kepentingan masyarakatnya sendiri” dan “political will” prasyarat pemerintahan yang baik (good governance).

Persoalan yang mengemuka kemudian adalah terlontarnya kalimat “Katanya Mahkamah Agung kaya, anggarannya banyak!”, yang sepintas merupakan ungkapan yang cukup membanggakan. Namun dalam konteks orang, situasi, serta  kondisi “pelontaran” kalimat tersebut, mengundang tafsiran peyoratif dengan makna sebaliknya “Kenapa tidak beli sendiri” atau “Kenapa masih berharap dari pihak lain”. Satu tafsiran yang bisa jadi salah besar, namun Penulis yakini  “cukup benar”, dengan indikasi pendukung kebenarannya yang secara natural menampakkan diri di kemudian hari. Di mana sampai detik ini, PA Tamiang Layang tetap diperlakukan sebagai “orang kaya” yang tidak membutuhkan bantuan apapun.

Di titik inilah Penulis teringat prolog dalam sebuah diskusi Kemandirian anggaran Peradilan, di Hotel Sari Pan Pacifik, pada bulan Februari 2014, yang secara de facto masih sangat relevan dengan situasi saat ini.

“Meskipun Undang-undang menyatakan bahwa Mahkamah Agung adalah lembaga yang merdeka termasuk dalam hal anggaran, dalam praktiknya hingga kini usulan perencanaan anggaran yang diajukan oleh Mahkamah agung masih harus melalui proses pembahasan yang alot antara Bappenas dan Kementerian Keuangan, dan ironisnya seringkali hasilnya tidak mendapatkan alokasi dana sebagaimana yang diajukan dalam rencana”.

Prolog tersebut menggiring Penulis mengeksplorasi kembali konsep “Trias Politica” Montesquieu yang membagi kekuasaan pemerintahan negara menjadi tiga jenis kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Dalam sebuah pertimbangan putusan, Mahkamah konstitusi menyatakan bahwa dalam hubungan antara lembaga negara, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif, mengandung prinsip checks and balances, berdasarkan prinsip kekuasaan dibatasi kekuasaan (power limited by power) dan bukan kekuasaan mengawasi kekuasaan lain (power controls others power) (Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014 tanggal 13 Februari 2014). Prinsip demikian mengandung kaidah hukum, bahwa kekuasaan pemerintah dipandang sebagai mahadaya yang harus dibatasi, sehingga tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Check and balances menjaga agar suatu cabang pemerintah tidak terlalu kuat kekuasaannya.

Hal yang menarik pada pertimbangan hakim konstitusi adalah penafsiran checks and balances tidak ditujukan kepada kekuasaan kehakiman. Karena antara kekuasaan kehakiman dan cabang kekuasaan yang lain berlaku pemisahan kekuasaan, yaitu prinsip utama yang dianut oleh negara hukum maupun rule of law state adalah kebebasan kekuasaan yudisial atau kekuasaan kehakiman, sehingga setiap campur tangan terhadap kekuasaan kehakiman dari lembaga negara apapun yang menyebabkan tidak bebasnya kekuasaan kehakiman dalam menjalankan fungsinya akan mengancam prinsip negara hukum.

Hakim konstitusi berpendapat dalam putusan tersebut, bahwa dalam negara hukum kekuasaan kehakiman bahkan mempunyai kewenangan untuk melakukan koreksi atas  kekuatan eksekutif dan   kekuasaan legislatif, sehingga berdasarkan prinsip pemisahan kekuasaan dan kebebasan kekuasaan kehakiman, maka bentuk campur tangan apa pun kepada kekuasaan kehakiman adalah dilarang, tidak terdapat satu ketentuan pun yang membuka peluang kekuasaan lain untuk campur tangan kepada kekuasaan kehakiman.

Kemandirian yang “pure” seperti maksud ideal pertimbangan hukum tersebut tentu tidak dapat dilepaskan dari kemandirian anggaran, karena keterpasungan anggaran dari lembaga negara di luar kekuasaan yudikatif adalah sebuah upaya power of controls other power. Hal ini dapat mengakibatkan campur tangan lembaga negara lain terhadap kekuasaan kehakiman yang dapat menyebabkan tidak bebasnya kekuasaan kehakiman dalam menjalankan fungsinya, yang akhirnya akan mengancam prinsip negara hukum.

Kembali ke titik 1o  2’ LU dan 2o  5’ LS, sambil berandai-andai Mahkamah Agung Republik Indonesia telah mendapatkan kemandirian anggaran, dengan penetapan sekian persen APBN dikhususkan untuk anggaran Mahkamah Agung, maka ungkapan bernada peyoratif tentu tidak akan pernah ada lagi, karena sejatinya Mahkamah Agung memang mempunyai anggaran yang cukup dan mandiri, dan tidak  berharap pada “belas kasih” lembaga lain. Dengan demikian, sebagai “orang kaya” Mahkamah Agung tentu tidak akan membiarkan seluruh pengadilan yang berada di bawahnya, termasuk PA Tamiang Layang, harus melakukan tindakan yang berpotensi mengancam kemandiriannya, dengan “ritual” di setiap akhir tahun harus memperbaharui perizinan pinjam pakai gedung kantornya pada satu organisasi yang bernama Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Barito Timur, secara prodeo. Pastilah akan diambil langkah-langkah cepat dengan penyediaan gedung kantor dengan mekanisme sewa misalnya, atau langkah-langkah urgen lain, demi menyelamatkan marwah Pengadilan yang secara langsung atau tidak langsung terintegrasi dengan marwah Mahkamah.

Tetap dalam jalur berangan-angan akan kemandirian anggaran Mahkamah Agung, sambil mengacuhkan dulu defisit yang kabarnya mencapai 1,84% PDB, dengan pendapatan negara yang     mungkin terkunci di angka  dua ribu seratusan triliun berbanding dengan belanja negara di angka dua ribu empat ratusan triliun rupiah, marwah Mahkamah harus mendapat kawalan ketat di titik 1o  2’ LU dan 2o  5’ LS.

Sebagai sebuah lembaga besar dengan ribuan anggota korps Cakra di dalamnya, dengan puluhan ribu tenaga teknis dan non teknis, yang tersebar di 910 pengadilan dari Sabang sampai Merauke, maka harus dipastikan tidak ada satu pun yang tercecer dari barisan, atau terseok di antrian terujung, sambil terus berjihad  mempertahankan marwah Mahkamah seraya menyemangati diri sendiri dengan ujaran nenek moyang bahwa “Pelaut yang ulung tidak terlahir dari ombak yang tenang, tetapi yang senantiasa bergelut dengan badai dan gelombang”.

Keep Spirit rekan-rekan mujahid PA.Tamiang Layang...you are the best.   

Titik 1o  2’ LU dan 2o  5’ LS, 30 April 2019.

Penulis: Ahmad Padli, S.Ag., M.H.

Ketua Pengadilan Agama Tamiang Layang

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice