KORUPSI DALAM BINGKAI HYPERDEMOCRACY
Oleh : Ahmad Mufid Bisri, S.H.I.*
Indonesia melawan korupsi, korupsi musuh kita bersama, say no to corruptions, go to hell Mr. Corruptor dan lain-lain adalah jargon yang sering kita dengar dan lihat satu setengah dekade ini. Demokrasi -buah reformasi 1998- yang nyaris diklaim sebagai ramuan paling mujarab untuk menyembuhkan bangsa Indonesia dari keterpurukan nyatanya menimbulkan beberapa penyakit baru yang tak kalah ganas. Demokrasi memang ibarat obat yang pada akhirnya harus diakui memiliki efek samping.
Minggu (26/10) Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) secara resmi mengumumkan susunan kabinetnya. Pengumuman kabinet dengan komposisi 34 menteri ini dilakukan pada hari keenam setelah Jokowi-JK dilantik. Kabinet Kerja, nama untuk sebuah kabinet melalui proses yang cukup menyita perhatian kita bersama baik sebagai aparat peradilan secara khusus maupun sebagai warga negara pada umumnya.
Uniknya, 34 menteri tersebut sebelumnya telah dikonsultasikan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk mendapatkan informasi yang akurat dan tepat kaitannya dengan integritas dan responsibilitas.
Oleh kedua lembaga tersebut, calon menteri yang terindikasi masalah hukum diberi label merah atau kuning dan direkomendasikan untuk tidak dijadikan menteri, sehingga diharapkan para menteri tersebut -setidaknya untuk penilaian awal- adalah orang-orang yang bersih. Semacam preventif step yang sama sekali baru dalam sejarah proses seleksi menteri terutama jika dinisbatkan dengan konteks upaya pencegahan eskalasi korupsi di Indonesia.
Korupsi (corruptio, Corruptus : Latin) bukan fenomena baru di Indonesia. Pada era orde baru sebenarnya sudah ada bahkan sangat besar potensi bahayanya. Hanya pada era tersebut praktek korupsi terpusat pada satu kekuasaan (korupsi sentralistik). Pada orde lama dan sebelum Indonesia merdeka juga ada korupsi, bahkan sejak zaman kerajaan dulu.
selengkapnya KLIK DISINI