logo web

Dipublikasikan oleh Iwan Kartiwan pada on . Dilihat: 5484

HUKUM PIDANA ISLAM PELUANG DAN TANTANGAN

Oleh: Alimuddin,. SHI,. MH.[1]

PROLOG

Sejak awal pembentukan Negara Republik Indonesia ini, para pendiri bangsa (founding fathers) telah sepakat memancangkan dasar dan falsafah negara adalah Pancasila dan UUD 1945, di mana sila pertama Pancasila itu adalah Ketuhanan Yang Mahaesa, dan salah satu pasal dari UUD 1945 itu menjamin kemerdekaan seluruh penganut agama untuk dapat menjalankan ajaran agamanya. Indonesia dalam bentuk ini dinyatakan sebagai negara dalam dimensi duniawi, namun tetap memberikan tempat bagi setiap warganya untuk melaksanakan ajaran agama. [2] Dengan demikian pluralitas warga dari berbagai aspeknya harus tunduk dan patuh terhadap Hukum Nasional yang berlaku secara universal bagi seluruh komponen bangsa di mana pun mereka berada dengan tanpa kecuali.

Secara historis terlihat adanya upaya simultan kelompok Islam sebagai penduduk mayoritas Indonesia untuk berkeinginan mewarnai dasar negara dengan nuansa keisalaman. Hal ini telah dimulai sejak awal kemerdekaan diperoleh dan berkesinambungan sampai era reformasi sekarang ini, misalnya; a). Perbincangan Piagam Jakarta pada tanggal 18 Agustus 1945 yang berakhir dengan kesepakatan penghapusan tujuh kata “… dengan kewajiban menjalankan syari`at Islam bagi pemeluknya”, dan penghapusan ini diganti dengan klausa “Ketuhanan Yang Mahaesa”, sebagai prinsip monotheisme yang sama-sama dimiliki seluruh anak bangsa sebagai penganut agama.[3] Dengan hal ini, kelompok Islam juga turut merasa memiliki di dalamnya., b). Perdebatan sengit Majelis Konsituante (1956-1959). Partai-partai Islam yang dimotori oleh Masyumi, NU, dan PSII berupaya untuk menghidupkan kembali ide islamisme ini, tetapi karena kelompok ini tidak cukup kuat dibanding dengan kelompok Nasionalis, mereka hanya memperoleh 43 persen suara (114 kursi dari 257 kursi yang ada) lalu ide ini pun kandas juga.,[4] c) Terakhir, ide menghidupkan kembali Piagam Jakarta lewat amandemen ke IV pasal 29 UUD 1945 tentang agama yang muncul di era reformasi ini oleh beberapa partai, juga tetap gagal. [5] Dengan demikian, sampai saat ini bangsa Indonesia tetap konsisten dengan dasar negara yang netral agama tersebut.

 


[1] Hakim Pengadilan Agama Pandan/Redaktur Majalah Digital Peradilan Agama (Badilag)/Editor Buku Hukum Islam Dua Negara Indonesia dan Malaysia (PTA Medan & Universiti Malaya, 2012), Penulis Buku Peran Jaksa di PA dalam Perkara Pembatalan Perkawinan (Penerbit PA Pandan & Limas), Penulis Buku Bunga Rampai Hakim Progresif (Penerbit Limas dan PTA Medan), Penulis Buku Retaknya Bahtera Cinta Kompilasi Cerita Seputar Perceraian (penerbit PA Pandan), Penulis Buku Panduan Menulis Berita Hukum Bagi Operator Website (Penerbit Limas dan PTA Medan).

[2] Bagi pengamat semisal Boland (1982), ia mencermati bahwa Indonesia adalah sebagai negara yang unik, Indonesia ditempatkan sebagai suatu negara yang bukan sekuler, dan bukan pula negara teokrasi, tetapi menciptakan konfergensi, di mana Indonesia dinyatakan sebagai Negara Demokrasi Pancasila., Bagi Fachry Ali dan Bahtiar Efendi memandang bahwa ini adalah bentuk kekalahan kelompok Islamis yang mereka nilai sebagai kurang mampu meyakinkan pihak Nasionalis., Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik ORBA, Jakarta : Gema Insani Press, 1996, hlm. 156-157.

[3] Kelompok Islam dapat menyetujui penghapusan tujuh kata Piagam Jakarta itu dengan pemikiran bahwa; 1). Rasa optimisme akan tercapainya kemenangan Islam lewat pemilu yang segera akan dilaksanakan pada waktu yang tidak lama lagi., 2). Tingginya suhu politik di Jakarta saat itu sehingga mereka tidak ingin menciptakan suasana ketidaktenteraman., Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, Jakarta : Grafiti Press, 1987, hlm. 41-43.

[4] Bahtiar Efendi, Islam dan Negara: Transrformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta : Paramadina, 1998, hlm. 102, Juga, Endang Saepuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juli 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional Antara Nasionalis Islamis dan Nasionalis Sekuler tentang Dasar Negara RI 1945-1959, Jakarta : Rajawali, 1986, hlm. 99.

[5] Pada mulanya panitia amandemen MPR Bidang Agama telah melakukan penelitian penjejakan akan hal ini dengan cara memperoleh masukan dari organisasi-organisasi keagamaan yang ada di Indonesia, seperti; MUI (Majelis Ulama Indonesia), DDII (Dewan Dakwah Islamiyah), WALUBI, PGI, dan KWI, dan yang lainnya, ternyata kecuali DDII, semua mereka  berpendapat dalam rangka mempertahankan NKRI, integrasi bangsa, persatuan dan persatuan, harus mempertahankan dasar negara tetap dalam kenetralannya., Hal ini dikemukakan oleh Wakil Katib Syuriah PB NU Masdar Farid Mas`udi di kantor PB NU Jakarta pada tanggal 13 Februari 2002, PW NU Jawa Tengah, AULA, No. 4, Surabaya : Majalah Nahdlatul Ulama, Tahun XXIV April 2002.


selengkapnya KLIK DISINI

.

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice