DIYAT ATAU PEMERASAN TERHADAP NEGARA
(Refleksi Terhadap Kasus Hukum Satinah di Pengadilan Arab Saudi)
Oleh: Muhamad Choirudin, S.HI.
Prolog
Telah kita ketahui bersama, dalam kasus Satinah, pemerintah pada akhirnya memutuskan untuk memenuhi uang diyat yang disyaratkan oleh keluarga majikan Satinah sebesar 7 juta riyal atau sekitar 21 miliyar rupiah. Keputusan tersebut diambil melalui rapat terbatas kabinet pada hari Rabu, 2 April 2014, yang dipimpin oleh Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), di mana hadir pula pada rapat terbatas tersebut Menlu Marty Natalegawa dan Menakertrans Muhaimin Iskandar2.
Keputusan pemerintah tersebut tentu patut untuk diapresiasi, meskipun sebenarnya banyak pihak yang justru bersikap apriori terhadap keputusan itu karena dua alasan mendasar. Pertama, keputusan Pemerintah tersebut lebih terlihat sebagai langkah politik (parpol) penguasa atas nama negara untuk mendapat simpati spontan publik menjelang Pemilu Legislatif 9 April kemarin. Kedua, keputusan tersebut justru mengindikasikan lemahnya diplomasi antar negara di bidang ketenagakerjaan terutama dengan Arab Saudi, karena seringkali Pemerintah Indonesia seolah tidak berdaya menghadapi kasus hukum yang menimpa sebagian TKI di Arab Saudi.
selengkapnya KLIK DISINI
.
Maka, kebijakan strategis harus segera dilakukan. Pemerintah melalui Kemenlu, Kemenkertrans, berikut Kemenkumham segera mengambil tindakan sebagaimana diuraikan dalam epilog artikel (bag. pertama). Selain itu, Kementrian Agama bisa bekerjasama dg MUI, karena masalah ini termasuk dalam dimensi pemberlakuan Hukum Islam. Daripada kedua lembaga tersebut berseteru ttg siapa yg berhak mengeluarkan "sertifikasi halal", akan lbh baik jika keduanya bekerjasama menyelesaikan masalah TKI ini ke organisasi islam internasional seperti OKI atau pun Konferensi Ulama Internasional.
Melihat kenyataan ini, kita jadi bertanya, selama ini diplomasi apa yang sudah dijalankan oleh pihak terkait (Kemenakertrans , kemenlu dan BNP2TKI)... karena seringkali mereka terlambat mengatasi persoalan yang menimpa TKI kita di luar negeri. Sebenarnya, moratorium yang pernah dijalankan, bisa menjadi momentum untuk melakukan penataan sistem untuk TKI yang sedang bekerja di LN. Cuman, sayangnya ketiga lembaga tersebut terkesan "mati komunikasi". sehingga jangankan untuk jemput bola ke tempat TKI bekerja, tapi malah sibuk "cari muka" merasa paling berjasa...