logo web

Dipublikasikan oleh Iwan Kartiwan pada on . Dilihat: 7132

BERBAGAI ARGUMENTASI HUKUM DALAM PENGESAHAN NIKAH

Oleh: Muhamad Isna Wahyudi

(Hakim PA Kotabumi)

Sebagai bentuk dukungan terhadap program pelayanan terpadu kepemilikan identitas hukum, yang mencakup akta nikah, akta kelahiran, dan akta cerai, dan melibatkan setidaknya tiga instansi terkait yaitu Peradilan Agama, KUA, dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, maka penulis dalam hal ini sebagai hakim ingin berbagi pengalaman dalam menangani perkara permohonan pengesahan (itsbat) nikah. Perkara permohonan pengesahan nikah ini merupakan pintu masuk bagi terbitnya berbagai akta identitas hukum sebagaimana disebut di atas.

Dari berbagai perkara permohonan pengesahan nikah yang pernah penulis tangani, maka dapat dipetakan sebagai berikut:

1. Berdasarkan waktu terjadinya perkawinan di bawah tangan, ada yang terjadi sebelum berlaku dan sesudah berlaku UU No. 1 Tahun 1974.

2. Berdasarkan alasan melakukan perkawinan di bawah tangan, ada yang karena faktor kesadaran hukum yang rendah, ada yang karena faktor ketidakmampuan ekonomi, ada yang untuk melakukan penyelundupan hukum, ada yang karena faktor kelalaian P3N, dan ada yang karena statusnya dulu duda atau janda dari perkawinan di bawah tangan.

Tentu, dalam menangani perkara permohonan pengesahan nikah, hakim perlu ekstra hati-hati untuk menghindari manipulasi dan penyelundupan hukum. Selama perkawinan di bawah tangan yang dilakukan tidak melanggar hukum, dalam pengertian telah memenuhi syarat dan rukun, maka peluang dikabulkannya permohonan pengesahan nikah sangat besar.


selengkapnya KLIK DISINI

Comments  
# abdul latif - pa.sit 2013-11-06 15:09
pada kasus II. bagaimana kalau ternyata suatu ketika pihak lain (suami/istri/an ak) mengajukan itsbat nikah untuk perkawinan yang pertama, yang mana pemohon tersebut sudah ditetapkan sebagai janda/duda ketika mengajukan itsbat untuk nikah dibawah tangan yang kedua
Reply | Reply with quote | Quote
# Isna Wahyudi 2013-11-07 07:48
Bisa saja, namun dalam hal diajukan itsbat nikah, harus digabung dengan itsbat cerai. Hal ini dilakukan untuk menghindari ketidakjelasan status perkawinan seseorang, juga menghindari ketidakadilan terhadap pihak istri yang sengaja digantung statusnya oleh suaminya dalam waktu yang lama. Dalam kasus ini,perkawinan di bawah tangan dan cerai di luar pengadilan, yang masih menggejala di masyarakat, perlu disikapi secara bijaksana, dan tidak bisa secara sepihak menyalahkan masyarakat ketika negara belum juga mampu menjadi fasilitator yang baik bagi ketertiban administrasi perkawinan dan perceraian.
Reply | Reply with quote | Quote
# M.Yusuf PA Kendari 2013-11-07 08:06
Argumentasi penulis pada kasus ke 2 secara hukum agak sulit untuk dipertanggung jawabkan.Sebab mana mungkin pasangan suami istri hanya karena pisah beberapa lama lalu kemudian dijastifikasi sebagai bukti perceraian.Seca ra normatif sudah jelas bahwa perceraian hanya bisa dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama.
Reply | Reply with quote | Quote
# Isna Wahyudi 2013-11-07 11:11
Kita tidak boleh hanya melihat law in book, dan mengabaikan law in action. Di sinilah pertimbangan social justice menjadi penting
Reply | Reply with quote | Quote
# abdurrahman_pa_dompu 2013-11-11 07:53
Ass..
saya hanya pertanyakan pernyataan penulis yang mengatakan bahwa jika memungkinkan hakim dapat meminta para Pemohon mengucapkan sumpah pemutus (kasus III), setahu saya, sumpah pemutus adalah sumpah pihak yang diminta salah satu pihak bukan diminta hakim dan biasanya pada perkara contentius yang bersifat kontradiktoir,
Reply | Reply with quote | Quote
# Isna Wahyudi 2013-11-12 07:22
Kalo kita hanya berpegang pada praktek yg berlaku selama ini tentu jawabannya tidak. Tapi tidak ada salahnya jika mempertimbangka n sumpah decisoir dalam permohonan. Kalau dlm sengketa saja bisa, apalagi dlm hal tdk ada sengketa. Kemudian, dalam kasus seorang suami yg menuduh istrinya berbuat zina, maka jika tdk dapat membuktikan dg 4 orang saksi, suami dapat mengucapkan sumpah li'an. Dlm tradisi Islam, sumpah menjadi alat bukti bagi pihak yang membantah. Dalam sumpah ada dimensi religiusitas yang menghadapkan seorang hamba utk mempertaruhkan apa yang dikatakannya kepada Tuhannya. Dalam masyarakat yg religius dan jujur sumpah sudah cukup untuk meyakinkan akan kebenaran sesuatu, yang sulit utk dibuktikan secara riil, karena ketiadaan saksi. Hakim dalam hal ini tdk boleh berprasangka terhadap pihak selama tdk didukung oleh alat bukti.
Reply | Reply with quote | Quote
# abdurrahman_pa_dompu 2013-11-12 12:04
saya sangat setuju sekali dengan inisiatif anda, tapi perlu menjadi perhatian bahwa persoalan permohonan sangat limitatif sekali baik secara formil maupun materil, oleh karenanya untuk perkara permohonan itu sendiri dibatasi oleh Undang-Undang, tidak seperti gugatan yang kita tidak boleh menolak perkara. ini merupakan konsekwensi perkara permohonan, yang sifatnya rentan terhadap penyelundupan hukum. karena tidak ada pengujian pihak lawan seperti pada perkara kontensius, maka hemat saya, dengan tanpa berprasangkan pada pihak, bila ingin menerapkan sumpah decisioir atau pemutus pada permohonan, harus hati2 sekali karena manfaat hukum dalam sebuah permohonan bukan hanya untuk pihak tapi juga bagi masyarakat umum lainnya yang tidak menjadi pihak
Reply | Reply with quote | Quote
# PRAKTISI 2013-11-12 08:11
Lagi-lagi soal nikah dibwah tangan, sesungguhnya tidak akan terjadi nikah dibawah tangan manakala umat Islam disiplin dalam kehidupannya. Karena aturan suadah jelas, disamping hablumminallah, karena nikah perintah Allah, maka mekanismenya manusia yang ngatur, dalam hal ini pemerintah kita yang penghuninya mayoritas umat Islam telah melahhirkan UU No. 1 tahun 1974, pelaksaannya diatur dalam PP no. 9 tahun 1975. Makanya bagi mereka yang nikah seblum undang2 lahir, tidak punya surat nikah diisbatkan. dan yang dilakukan setelah lahir undang2 tersebut, bisa diisbatkan untuk perceraian. Namun dalam kenyataannya sehari-hari di PA banyak isbat nikah yang nikahnya dilaksanakan setelah undang2 tsb, bahkan tahun 2000 kesini. Berdasarkan fakta dalam pemeriksaaan ternyata nikah dibawah tangan, karena laki2 tersebut sudah punya istri, dengan memanipulasi data, mengaku bujangan, atau duda mati. bahkan ada beberapa PNS, yang melakukan nikah dibawah tangan tsb. Nah apakah kasus2 semacam ini yang harus diisbatkan ? kalau alasan kurang ekonomi, ternyata biaya nikah itu yang resmi berdasarkan Kementrian Agama hanya Rp 30.000, ( tiga puluh ribu rupiah). kenapa nikah dala m prakteknya sampai ratusan ribu, bahkan ada yang nilai juta rupiah. Jadi kemana biaya2 yang tidak resminya ? sehingga orang yang nikah masih beralasan, tidak dicatat karena biaya. Kasus lain mengenai isbat nikah, berdasarkan pemeriksaan, dan pengakuan para pihak, ternayat mereka nikah, daftar dulu, bayar dan melengkapi keterangan lain2, tetapi karena oknum petugasnya yang tidak jujur, mereka tidak dapat surat nikah.
Reply | Reply with quote | Quote
# rokiah mustaring PA Luwuk 2013-11-12 09:45
itsbat nikah merupakn salah satu upaya pemenuhan hak-hak anak dalam memperoleh akta kelahiran sebagai hak identitas mereka. Hak identitas bagi seorang anak dinyatakan tegas dalam pasal 5 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.Selain itu UUD 1945 juga memberikan jaminan atas status kewarganegaraan sebagaimana diatur dalam 28 D ayat (4) yang menyatakan, “setiap orang berhak atas status kewarganegaraan ”. saya sepakat dgn penulis bahwa dalam permohonan itsbat nikah asas kemanfaatan dan keadilan sosial harus dikedepankan utamanya menyangkut kepentingan anak-anak dari Pemohon yg belum mendapatkan akta kelahiran akibat kelalaian orangtuanya yg tidak mencatatkan pernikahanya. utk itu UU Perlindungan Anak dapat dimasukkan dlm membuat pertimbangan hukum.
Reply | Reply with quote | Quote
# Juga Praktisi 2013-11-12 13:47
Kita laksanakan sesuai Syari'at Islam utk keteraturannya dan kita penuhi adm nya sesuai UU yang berlaku agar tercapai ketertiban, namun jika ada kendala dan rintangan disitulah pintu ijtrihad dan pertimbangan hakim,karena hakim bukan sekedar corong undang2 tp dapat sebagai pelaksana dan melahirkan hukum baru thd kasus yang macam2
Reply | Reply with quote | Quote
Add comment

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice