MENERACA HUKUM POLIGAMI SUNNAH ATAU MUBAH
Oleh : Drs. H. Abd. Salam, S.H. M.H.
Wakil Ketua Pengadilan Agama Sidoarjo
Pendahuluan
Ketika masih di Sekolah Dasar atau di Madrasah Ibtidaiyah, guru agama kita menerangkan, “Sunah” adalah suatu perbuatan apabila dikerjakan mendapatkan pahala, apabila ditinggalkan tidak berdosa. Pengetahuan yang dasar tersebut, justru menjadi basis pemahaman kita, bahwa sesuatu perbuatan kalau dikatakan sebagai sunnah, mempunyai nilai baik, positip (plus) dan terhormat, paling tidak condong ke arah kebaikan dan berpahala.
Ketika mengkaji kitab-kitab fikih, kita menemukan pernyataan bahwa hukum poligami itu sunnah. Sehingga telah cammon law bagi kita bahwa pologami itu baik, positif bahkan berpahala. Karenanya dalam perspektif fikih, sunah berarti tindakan yang baik untuk dilakukan. Suami yang tidak berani berpoligami imannya lemah, bahkan mungkin dinilai martabat dan kedudukannya rendah. Karenanya poligami sering dipakai sebagai tolok ukur keislaman seseorang; Semakin lantang seseorang menyuarakan dan melakukan poligami dianggap semakin tinggi poisisi keagamaannya. Semakin bersabar seorang istri dimadu atau menjalani sebagia istri kedua, ketiga, atau keempat dinilai semakin tinggi kualitas imannya, Karenanya kaum ibu sering dinina bobokan dengan kata-kata, “wanita yang rela dimadu adalah calon penghuni sorga”. Bahkan ada sinyalemen seorang untadz pemangku pesantren belum kiai betulan jikalau belum berpoligami.
selengkapnya KLIK DISINI
.
Lalu mengapa mereka tidak berpoligami?
Apakah karena "takut" PP 10/83, atau takut dilabrak istri di rumah?
Pilihan ada pada Anda semua!
1. Secara redaksional, ayat poligami justru menawarkan poligami sebagai yang pertama, lalu kemudian diakhiri dengan pilihan monogami. ada sebentuk maksud menyampaikan info kepada manusia bahwa telah menjadi asal dalam Islam itu pernikahan boleh sampai empat. hanya saja manusia banyak yang tak sanggup/takut tdk adil. dalam situasi tak sanggup dan takut tdk adil itulah kemudian monogami menjadi solusi. meskipun dalam monogami itu tetap ada tantangan berlaku adil, namun lebih adna an laa ta'uulu.
2. Berbicara tuduhan dehumanisasi perempuan dalam poligami, harus diakui benar adanya. yaitu bahwa satu orang perempuan yang telah menjadi istri itu tersakiti hatinya karena keegoannya ingin memiliki seorang laki-laki seutuhnya, sementara sang laki-laki kemudian menikah lagi. padahal saat ia ingin memiliki laki-laki (yang mapan dan sanggu berlaku adil) seutuhnya itu untuk dirinya sendiri, di saat yg sama sedang terjadi dehumanisasi lebih dari sekadar satu orang perempuan, mereka malacurkan diri, mengganggu secara melawan hukum terhadap laki-laki dengan semua hal yang dapat ia lakukan bermaksud agar mendapatkan perhatian laki-laki, karenanya sangat disayangkan laki-laki rupanya tercipta sedikit saja yang sanggup berlaku adil, kebanyakan hanya yang ngaku-ngaku sanggup berlaku adil saja.
3. Oleh karena itu, hakikatnya, laki-laki yang sanggup berlaku adil (yang jumlahnya amat sedikit itu)bukan menjadi milik seorang perempuan, melainkan milik 4 orang perempuan. Poligami yang kemudian dilakukan oleh laki-laki yang ngaku-ngaku sanggup adil itulah yang menjadi penyebab tragisnya lembaga poligami ini.
4. Bahwa nabi melarang fatimah dipoligami, sejatinya bukan karena poligaminya, tapi karena fatimah itu anak Muhammad, yang nasab dan keturuannya, tidak cenderung menjadi ukuran hukum. bahkan banyak hal yang dikecualikan dari permepuan yang ada hubungannya dengan Nabi, bekas istrinya tidak boleh dinikahi siapapun, meski nabi sudah wafat. karenanya, agak tdak tepat bila larangan nabi ttg poligami fatimah itu lantas menjadi acuan primer dalam mendustakan lembaga poligami.
wallahu a'lam.
Ass. Ma kasih atas tulisan bagusnya,pak..s makin membuktikan bahwa Nabi saw.sangat peduli & pelindung perempuan,.. semoga dapat dibaca & dijadikan bahan renungan khususnya bagi calon pelaku dan para pelaku poligami di negeri ini yang bangga dengan "kehidupan ber- poligaminya"
tulisan ini justru mendiskreditkan Poligami, yang toh diamalkan oleh orang-orang sholeh terdahulu bahkan Rasulullah sendiri...
Allahu Ta'a A'lam
1.Perintah al-Quran tentang poligami sama sekali tidak berkaitan dengan halal-haram, wajib-sunnah. Al-Qur-an menyerahkan sepenuhnya kepada masyarakat kapan harus melaksanakannya dan kapan harus meninggalkannya.
2.Kebijakan poligami dalam Al-Qur-an berkait dengan keadilan dan kemaslahatan sebagaimana kebijakan Al-Qur-an menghadapi ada perbudakan yang sudah ada sebelum Islam untuk mereformasi;
3.Perintah poligami sama sekali tidak berkaitan dengan motifasi biologis atau sexual, agar yang dilakukan muslimin sesuai dengan ikrarnya “inna ash-shalaatiy wa nusuki wa mahyaaya wa maaty lillaahi rabbi al-aalamiin”.
Wallahu a'lam bish-shawab
"fas aluu ahladzdzikri in kuntum laa ta'lamuun"
Siapalah yang pantas menentukan hukum selain Allah dan Rasul_Nya, adapun untuk kita ummat yang datang belakangan hendaknya merujuk semua permasalahan (termasuk Hukum Poligami) kepada para Ulama (ahli Ilmu) yang Tsiqoh dan tak diragukan amanahnya,,, Karena ulama adalah pewaris para Nabi... Dengan tidak menganggap rendah keilmuan bapak, dan segala hormat kami, berikut beberapa kutipan dari Ulama mengenai permasalahan poligami ini
http://almanhaj.or.id/content/731/slash/0/poligami-itu-sunnah-dan-tafsir-ayat-poligami/
http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/poligami-wahyu-ilahi-yang-ditolak.html
Allahu Ta'ala A'lam.... Barokallahu Fiika
warisan Kolonial yang telah usang tersebut, semoga menjadi perhatian bersama.
Salut buat penulis...