BATASAN KEWENANGAN PENGADILAN DALAM SENGKETA HAK MILIK ATAS TANAH
Drs. H. ARIDI, SH., M.Si.[1] DAN M. NATSIR ASNAWI, S.HI.[2]
Abstrak
Persepsi yang selama ini dianut oleh sebagian yuris mengenai kewenangan pengadilan (Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama) dalam sengketa hak milik atas tanah adalah “menyatakan sertifikat hak milik tidak berkekuatan hukum”. Persepsi tersebut dikuatkan dengan yurisprudensi Mahkamah Agung nomor 383 K/Sip/1971 tanggal 3 Nopember 1971 yang pada pokoknya menghasilkan kaidah hukum bahwa kewenangan pengadilan dalam hal ini adalah menyatakan sertifikat tidak berkekuatan hukum. Hal tersebut perlu ditinjau ulang karena esensi dari peradilan perdata adalah menilai siapa yang berhak dan siapa yang tidak berhak atas sebidang tanah terperkara, bukan menilai keabsahan administratif penerbitan sertifikat dimaksud. Selain itu, ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah juga menggariskan bahwa kewenangan menyatakan suatu sertifikat tidak berkekuatan hukum adalah BPN dengan dasar putusan atau penetapan dari pengadilan
[1] Ketua Pengadilan Agama Yogyakarta
[2] Calon Hakim pada Pengadilan Agama Yogyakarta
selengkapnya KLIK DISINI
.
Namun sebelum itu (ini yang didiskusikan penulis)tentu ada pendahuluan sebelum menentukan siapa pemiliknya.
Katakanlah kedua belah pihak bersengketa masing2 punya SHM atas kepemilikannya, maka pengadilan (PN atau PA) harus memutuskan sertifikat siapa yang sah secara hukum sehingga berkekuatan hukum.
Memang sertifikat itu adalah produk lembaga BPN/Agraria, namun tidak berarti untuk membatalkan SHM itu harus melalui PTUN.
Yurisprudensi MA yang disebutkan penulis sudah menguatkan hal ini.
Terima kasih buat penulis atas tulisan artikelnya ini untuk menambah wawasan pengetahuan para hakim.
Sumbang pikir pembaca sangat diharapkan untuk mendapatkan kesimpulan terbaik dan tepat!
Memang, sistem peradilan di Indonesia mengenal pembagian kewenangan (umum, agama, militer dan TUN) tetapi dalam kasus tertentu yang terdapat titik singgungnya, harus ditempuh dengan acara yang lebih sederhana yang menguntungakn masyarakat.
Apa yang selama ini terjadi dalam praktik peradilan merupakan cara yang sudah tepat. Yang tidak dibolehkan apabila dalam amar PN/PA "Membatalkan sertifikat".
Untuk memperluas wawasan tentang sistem peradilan, anda bisa membandingkan dengan sistem peradilan di Perancis.
Thank's