BATAS USIA DEWASA DALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN PENERAPANNYA PADA PENGADILAN AGAMA
oleh : Asrofi (Hakim PA Gresik)
I. PENDAHULUAN
Dalam perspektif hukum, tiap manusia secara kodrati adalah subjek hukum (pemegang hak dan kewajiban) sejak dilahirkan sampai meninggal dunia, bahkan bayi yang masih berada dalam kandungan pun bisa dianggap sebagai subjek hukum bila terdapat urusan atau kepentingan yang menghendakinya, seperti dalam hal pembagian harta peninggalan. (http://id.wikipedia.org/ diakses tanggal 4 Juni 2013).
Meskipun tiap manusia sebagai subjek hukum tetapi tidak semua manusia dipandang cakap melakukan perbuatan hukum. Ada beberapa golongan yang oleh hukum dipandang sebagai subjek hukum yang "tidak cakap" hukum, sehingga dalam melakukan perbuatan hukum, mereka harus diwakili atau dibantu oleh orang lain, seperti: 1. anak yang masih dibawah umur, belum dewasa, atau belum menikah. 2. orang yang berada dalam pengampuan orang lain yaitu orang yang sakit ingatan, pemabuk dan pemboros, walaupun dari sisi usia sudah dewasa (vide : Pasal 1330 KUH Perdata).
selengkapnya KLIK DISINI
namun demkian, memang perlu ada keseragaman batas usia dewasa, khususnya, dari segi kecakapan hukum; apakan 18th atau 21th.
problem kedua adalah arus sosial yang mempengaruhi aspek biologis-psikol ogis yang terus berubah meniscayakan batas dewasa akan pepotensi ikut berubah.
misalnya BKKBN saat ini sedang mengkampanyekan usia dewasa dengan ukuran 21 dan 25 ?
hanya saja mhn ma'af, kalau solusi janda/duda (yg dibawah usia 16 atau 19th) untuk mengajukan perkara permohonan pencabutan/pena rikan penolakan perkawinan oleh KUA,
dalam amar ke 3 petitumnya memerintahkan kepada instansi lain???
apa aturan Skrg kita msh diiperbolehkan (tinjauan kewenangan)untu k memerintah kepada instansi lain secara lgsg sprti itu?... trimakasih...