BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan merupakan sunnatullah yang menjadi hukum alam, yang tidak hanya dilakukan oleh manusia tetapi juga dilakukan oleh hewan, bahkan tumbuhan. Hal ini tercantum dalam Al Quran surah Yasin ayat 36 yang berbunyi :
سُبۡحَٰنَ ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلۡأَزۡوَٰجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنۢبِتُ ٱلۡأَرۡضُ وَمِنۡ أَنفُسِهِمۡ وَمِمَّا لَا يَعۡلَمُونَ ٣٦
Artinya :
Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.[2]
Perkawinan dalam hukum adat tidak hanya semata-mata ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri untuk maksud mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi juga berarti hubungan hukum yang menyangkut para anggiota kerabat dari pihak suami dan dari pihak istri.[3]
[1]Gawan (jawa) biasa dipergunakan dalam masyarakat Jawa terhadap barang bawaan berupa perhiasan emas dari seorang laki-laki yang akan menikahi seorang perempuan, yang diberikan saat mbesan (menyerahkan uang dan barang-barang keperluan resepsi pernikahan) sehari atau dua hari menjelang akad nikah.
Peningset (Jawa) pemberian sebagai “tanda pengikat” pra pernikahan yang biasanya berupa perhiasan emas namun dalam kadar sedikit, yang diberikan saat lamaran atau tunangan (khitbah),
Uang Panaik/Dui Menre (Bugis-Makassar) : uang belanja untuk pengantin mempelai wanita yang diberikan oleh pengantin pria untun membiayai pesta perkawinan.
[2]Departemen Agama RI. Al Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: CV Peneribt Diponegoro, 2005), h.353
[3] Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Raja Frafindo Persada, 1996, h.100
Selengkapnya KLIK DISINI