GUGATAN ANAK ZINA KEPADA AYAH BIOLOGIS DAN KELUARGANYA KEWENANGAN SIAPA
Oleh : Drs. H. Abd. Salam, S.H. M.H.
Wakil Ketua Pengadilan Agama Sidoarjo
Pendahuluan
Koran Jawa Pos terbitan hari Selasa, tanggal 5 Pebruari 2013 menurunkan sebuah judul berita” Anak Hasil Nikah Sirri Berhak Bagian Harta”
Dari judul berita tersebut sekilas belum bisa dipahami, tetapi setelah disimak isi berita tersebut ternyata memuat adanya terobosan hukum oleh Mahkamah Agung untuk menetapkan hak-hak anak yang lahir dari hubungan di luar nikah dan pernikahan di bawah tangan (nikah sirri termasuk nikah muth’ah) berhak mendapakan nafkah dan pembagian sebagian harta peninggalan bapak biologisnya melalui wasiat wajibah. Dikatakan bahwa ketentuan tersebut telah dimuat dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor : 7 Tahun 2012 hasil pembahasan Komisi Bidan Peradilan Agama. Terobosan hukum tersebut sebagai konsekwensi yuridis atas putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 46/PUU-VIII/2010, dalam uji materiil atas pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dalam merilis berita tersebut Jawa Pos juga mengutip penjelasan Kepala Biro Hukum dan Humas MA (Bapak Ridwan Mansyur), bahwa berdasarkan Madzhab Hanafi, anak hasil zina berhak mendapatkan nafkah dari ayah biologis dan keluarga ayah biologisnya. Ketika ayah biologis dan keluarga biologisnya meinggal, anak hasil zina juga berhak mendapatkan pembagian wasiat wajibah yang besarnya ditentukan Pengadilan Agama. Dijelaskan pula bahwa hak anak zina tersebut bukan hak waris, tetapi menafkahi segala biaya hidup si anak sesuai dengan kemampuan ayah biologisnya dan kepatutan, SEMA ini menjadi pedoman hakim-hakim agama sehingga tidak terjadi perbedaan penerapan hukum.
selengkapnya KLIK DISINI
.
Tuisan yang memacu untuk diskusi,menurut saya perbedaan kita saat ini hanyalah sebuah kelanjutan perbedaan ulama fiqih,,jadi landasan kewenangan PA yang bapak paparkan telah tepat, oleh karenanya ketika pendapat abu hanifah yang dijadikan rujukan dan menjadi hukum positif maka Pengadilan Agama tidak boleh menghindar untuk menanganinya karena pendapat abu hanifah juga bagian dari positivisasi hukum syariah
Putusan itu hanya bermain di wilayah akal (nalar), tapi jauh dan kering dari naql (nash).
Peraturan per-UU-an tidak ada yang mengatur menjadi kewenangan pengadilan mana jika ada gugatan seperti itu.
Dengan demikian, mengacu pada aturan kompetensi absolult, otomatis perkara gugatan itu menjadi kewenangan PN sekalipun melibatkan pihak2 yang beragama Islam.
Wallahu 'alam bishshawab!
Namun atas pertimbangan manusiawi, Maka Cukuplah kiranya mempersempit hubungan perdata a quo hanya pada Nafkah/biaya Hidup saja. Selebihnya, hubungan waris, hubungan nasab, harus dinyatakan hanya pada ibu, agar dengan Demikian Sakralitas Pernikahan tetap luhur di Muka Bumi ini.
Dari sini agaknya batin Syariat lebih lngin mengatakan bahwa mengakui hubungan perdata anak-ayah bilogis, tidak lebih baik ketimbang melestarikan sakralitas perkawinan.
Wallahu ta'ala A'lam
Apakah ini bisa sya laporkan kepihak berwajib.
mengandung melahirkan stengah mati..
pas si bpk ank tak mau menafkahi gk ada t4 mengadu.