logo web

Dipublikasikan oleh Hermansyah pada on . Dilihat: 5765

Sudah Saatnya Tim IT di Pengadilan Disejahterakan

Oleh: Hermansyah

“Ngomong-ngomong, sewaktu mengelola website di PA, kamu dapat honor berapa sebulan?”

“300 ribu, Bang.”

“Wah, bagus sekali.”

“Kebijakan pimpinan di tempat kami memang begitu.”

Itu adalah sepenggal obrolan saya dengan seorang pengelola website sebuah PA di Jakarta. Kami berbincang di kantin Badilag, di lantai 7 Gedung Sekretariat MA, beberapa waktu lalu. Kawan kita itu kini pindah tugas ke Badan Pengawasan. Di tempat baru itu dia juga dipasrahi mengelola website.

Tentu saja saya senang mendengar pengakuannya. Sebab, faktanya, tak semua pengelola website pengadilan semujur dia.

Pernah saya mendapat cerita—dan cerita ini dapat diverifikasi—seorang pengelola website di sebuah PA harus merogoh koceknya sendiri untuk membangun website. Alih-alih menerima honor, dia malah mengongkosi website milik satuan kerjanya. Dia bilang, pimpinannya adalah tipe pejabat yang super cuek terhadap website. Baru ketika website itu mewujud, dan tentu saja turut mengharumkan nama institusi, sang pimpinan merasa terpanggil untuk ikut cawe-cawe.

Belum lama ini saya juga trenyuh membaca komentar salah seorang pembaca badilag.net. "Dengan dalih atas nama pengabdian dan keikhlasan, sering para operator diperas tenaganya sampai anak istrinya (bisa dikatakan) sama sekali tidak terfikirkan," tulis komentator bernama Kangir Wantoro itu di sini.

***

Di era keterbukaan informasi, website lembaga publik—termasuk lembaga peradilan di dalamnya—dibikin bukan untuk sekadar gaya-gayaan atau gagah-gagahan. Website sudah menjadi elemen vital untuk menyuplai informasi kepada publik sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti UU Keterbukaan Informasi Publik, UU Pelayanan Publik, SK KMA 144/2007, SK KMA 1-144/2011 dan yang terbaru SK KMA 26/2012 tentang Standar Pelayanan Publik di Pengadilan.

Dengan demikian, pekerjaan mengelola website pengadilan harus dipandang sebagai pekerjaan yang penting pula. Beban kerja dan tanggung jawab pengelola website pengadilan tidak boleh dipandang sebelah mata.

Merupakan fakta tak terbantahkan, kian hari pekerjaan mengelola website di lembaga peradilan kian tidak ringan. Penilaian terhadap website di empat lingkungan peradilan yang dilakukan oleh AIPJ (Australia-Indonesia Partnership for Justice) baru-baru ini merupakan salah satu indikasinya. Sebelum ini, hanya 16 kriteria yang dinilai, tapi sekarang melonjak menjadi 47 kriteria untuk pengadilan tingkat pertama dan 46 kriteria untuk pengadilan tingkat banding. Banyak informasi yang sebelumnya tidak wajib dipublikasikan di website kini harus dipublikasikan. Tentu, tuntutan ini kian menguras waktu dan tenaga pengelola website pengadilan.

Dengan kondisi demikian, sudah sewajarnya pengelola website pengadilan perlu mendapatkan penghargaan yang layak. Dengan kata lain, mereka perlu juga disejahterakan.

Pemerintah melalui Kementerian Keuangan sadar betul akan hal itu. Karena itu tidak mengherankan, dalam beberapa tahun terakhir, Kementerian Keuangan memasukkan ketentuan khusus mengenai honorarium tim pengelola website dalam Standar Biaya Umum (SBU).

Mari kita baca Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.02/2011 tentang Standar Biaya Tahun Anggaran 2012. Kita cermati Lampiran I poin 15 tentang Honorarium Tim Pengelola Website. Di situ terinci jenis pekerjaan yang berkaitan dengan pengelolaan website dan besarnya honorarium.

Penanggung jawab, menurut Permenkeu itu, berhak mendapat honor Rp 500.000 per bulan. Di bawahnya berturut-turut adalah Redaktur (Rp 450.000/bulan), Editor (Rp 400.000/bulan), Web Admin (Rp 350.000/bulan) dan Web Developer  (Rp 300.000/bulan).

Selain itu, ada juga Pembuat Artikel  dan Penerjemah. Berdasarkan Permenkeu itu, Pembuat Artikel berhak mendapat honorarium Rp 100.000 per halaman. Sementara itu, Penerjemah berhak mengantongi Rp 90.000 tiap menerjemahkan teks 1500 karakter.

Dalam penjelasan Permenkeu itu disebutkan, honorarium tim pengelola website diberikan kepada pegawai negeri yang diberi tugas untuk mengelola website, berdasarkan surat pejabat yang berwenang. Website yang dimaksud di sini adalah yang dikelola oleh unit eselon I/setara.

Nah, sekarang timbul beberapa pertanyaan: Bagaimana kalau pengelola website itu tidak berstatus PNS? Bagaimana bila pejabat yang berwenang tidak pernah mengeluarkan SK tentang Tim Pengelola Website? Bagaimana pula bila website tidak dikelola unit kerja eselon I, melainkan oleh pengadilan?

Daftar pertanyaan itu bisa kita perpanjang, misalnya: Bagaimana jika di DIPA tidak ada anggaran khusus untuk pengelolaan website? Bagaimana dengan honorarium pengelola SIADPA dan SIMPEG atau Tim IT pada umumnya?

Sebelum merakit jawaban atas pelbagai pertanyaan tadi, mari kita cermati kembali hasil survei kesiapan otomasi pengadilan yang diselenggarakan Mahkamah Agung bekerjasama dengan USAID. Hasil survei itu menyebutkan, hampir 25 persen staf IT di pengadilan berstatus tenaga honorer. Rinciannya, dari total 4891 staf IT, 966 staf atau 19,75 persen merupakan honorer DIPA dan 249 staf atau 5,09 merupakan honorer non-DIPA.

Khusus di lingkungan peradilan agama, meski tidak dirinci dalam hasil survei itu, saya yakin prosentase staf IT yang berstatus honorer lebih tinggi. Artinya, jerih payah mereka sangat menentukan jalan atau tidaknya implementasi teknologi informasi di PA/MS dan PTA/MSA.

Berikutnya, perlu kita pahami bahwa pada umumnya pengelolaan teknologi informasi di lingkungan peradilan agama ditangani oleh orang-orang yang sama. Mereka yang berstatus staf IT biasanya tak hanya mengelola website, tapi juga SIADPA, SIMPEG, bahkan mengurusi berbagai hal yang berkaitan dengan hardware, software, jaringan dan sebagainya.

Dengan demikian dapat kita simpulkan, di lingkungan peradilan agama, pengelolaan website hanya satu aspek saja dari sekian banyak aspek yang ditangani oleh mereka yang biasa kita kenal sebagai Tim IT.

***

Untuk menyejahterakan pengelola website atau Tim IT pada umumnya, selain memberikan honorarium sesuai SBU bagi PNS, ada baiknya kita ikuti kiat-kiat Pak Dirjen kita.

Suatu hari, ketika menjadi pembicara di Kejaksaan Agung, Dirjen Badilag Wahyu Widiana mengungkapkan bahwa peradilan agama dikenal sebagai institusi di bawah Mahkamah Agung yang sangat konsen terhadap pemanfaatan IT. Hampir seluruh pengadilan di lingkungan peradilan agama telah memilki website. SIADPA—sebagai case management system—juga makin banyak dimanfaatkan. Berbagai aplikasi turunan SIADPA seperti jadwal sidang dan mesin antrian sidang juga kian banyak dipakai.

Pemanfaatan TI yang sedemikian massif, terarah dan terbukti telah menuai apresiasi dari berbagai kalangan, menurut Pak Dirjen, tak lepas dari komitmen pimpinan, baik pimpinan pengadilan tingkat pertama, pimpinan pengadilan tingkat banding, maupun pimpinan di level pusat.

Komitmen itu, salah satunya, ditandai dengan pemberian reward kepada Tim IT. Penghargaan itu diberikan dalam wujud materi dan non-materi, dalam suasana formal maupun non-formal, baik kepada staf yang berstatus PNS maupun honorer. Tentu saja, pemberian reward itu tetap harus dilakukan sesuai koridor yang benar.

Ya, kebijakan dan perhatian pimpinan adalah kunci untuk menyejahterakan Tim IT di pengadilan. Saya kira, itulah jawaban sapu jagat untuk sekian banyak pertanyaan yang saya pajang di atas.

Khusus mengenai penghargaan dalam bentuk materi, saya ingin mengajak Anda menengok kembali Permenkeu tadi. SBU, sebagaimana kita ketahui, adalah batas tertinggi. Artinya, lebih dari itu tidak boleh. Kalau kurang dari itu, silakan saja, asal tidak keterlaluan. Misalnya dalam SBU tertera Rp 400 ribu, tapi yang diberikan hanya Rp 25 ribu. Itu dzolim namanya!

So, bagaimana menurut Anda?

Jakarta, 24 Maret 2012

Penulis adalah alumni Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya. Sejak 2009 bekerja di Sub Bagian Dokumentasi dan Informasi Ditjen Badilag.

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice