logo web

Dipublikasikan oleh Iwan Kartiwan pada on . Dilihat: 3297

Pethruk Ngarep Semar mesem

Oleh: Muhamad Choirudin

(Calon Hakim PPC Angkatan II MA-RI. Satker Pengadilan Agama Kab. Kediri)

Pethruk, Gareng, dan Bagong baru saja rampung menyelesaikan sidang Peninjauan Kembali sang buronan kelas kakap Prabu SIMAN. Mereka bertiga mulanya hanyalah hakim biasa, namun

sekarang sudah naik derajat. Berkat keteguhannya menegakkan keadilan dan kebenaran selama menjadi hakim di kerajaan Ayodya, pangkat kehakimannya pun naik menjadi Hakim Agung, kastanya yang dulu Ksatria biasa kini melejit menjadi Brahmana Widi_setara dengan para dewa Kraton Kahyangan. Pethruk bak titisan Puntadewa, Gareng bak cerminan Begawan Bagaspati, dan Gareng bak bayangan Resi Subali.

Hooo…

Kraton kahyangan mendadak gempar.. hono Goro-goro.., bahkan kegemparan itu sudah merambah di seluruh penjuru kraton “dunya”. Bagaimana tidak, Prabu SIMAN dari kerajaan Alengka yang telah divonis bersalah oleh Mahkamah Agung Kahyangan, justru sekarang divonis bebas setelah Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh Permaisuri sang Prabu dikabulkan oleh Majelis Hakim Agung yang diketuai oleh Pethruk. Putusan yang sangat kontroversial dan Mahkamah Agung Kahyangan kembali menuai kritik bertubi-tubi dari banyak kalangan, tak terkecuali dari Komisi Yudisial Kahyangan.

“Hakim agung yang memutus perkara ini tidak punya harga diri, putusannya ngawur...menurut dugaan kami dari Komisi Yudisial Kahyangan, ada aroma-aroma suap dalam perkara ini. apa lagi ini aneh, seseorang yang tidak sedang menjalanken pidana ngajuken PK kok tidak ditolak PK-nya. opo ora ngerti hakim agung ini dengan hukum acara..”

Kata-kata tersebut jelas terdengar oleh Pethruk dan kedua rekannya. Pethruk sebagai Hakim Agung Kahyangan memang dianugrahi kanuragan yang luar biasa, ia mampu melihat beberapa kejadian di luar sana hanya melalui “kaca bengala” miliknya. jelas-jelas bahwa yang mengungkapkan pernyataan-pernyatan itu tidak lain adalah Eyang “Semar Eman Sunaraga”. Eyang Semar Eman Sunaraga adalah mantan Ketua Komisi

Yudisial Kahyangan dan kini menjadi ketua Bidang Pengawasan Prilaku Hakim dan Investigasi di Komisi tersebut. Ketiganya kini tertunduk lesu, Pethruk, Gareng, dan Bagong seakan tidak percaya bahwa yang mengeluarkan statemen itu adalah sang eyang Semar Eman Sunaraga;

“sudah aku bilang kan kang.. kita harus mencermati dampak sosial putusannya” tegas Bagong.

“iya benar.. kang Pethruk kan juga tau sendiri kalau Prabu SIMAN itu buron kelas Kakap, rakyat dr pelosok dunya pun sudah sama-sama sepakat kalau si Siman adalah koruptor dana Badan Laluhur Bataraning Indi (BLBI)” kata Gareng.

“jadi kalian berdua tidak yakin dengan putusan kalian sendiri?” sergah Pethruk.

“lo bukan begitu maksudnya kang.. tapi kita ini benar2 menantang arus, bahkan menentang badai Tsunami lo kang..” Bagong menenangkan.

“Pernyataan dan sikap eyang Semar Eman yang salah.. salah besar.. saya harus ngomong ke eyang langsung sebelum semuanya jadi fitnah” jelas si Pethruk.

Tiba-tiba saja Pethruk duduk sila sambil bersedekap, mulutnya komat-kamit, aura putih pun muncul di sekitar tubuhnya disertai kabut tipis.. sejenak kemudian sukmanya keluar.. terbang seperti angin, melintasi pekatnya alas roban dan samudra.. bukan “moksa” seperti yang dilakoni oleh Prabu Brawijaya, melainkan hanya sekedar “laku Sukma”. Tujuh menit kemudian sukma Pethruk sudah berada bermil-mil jauhnya meninggalkan raga, dan kini berada tepat di depan sang eyang “Semar Eman Sunaraga”.

“sugeng siang (selamat siang) eyang, saya Pethruk datang menghadap” Pethruk berucap salam.

“oo.. Pethruk.. kamu masih berani-beraninya menghadap saya, ora nduwe isin blas..(tidak tahu malu sama sekali)” tegas eyang Semar.

“lo kenapa harus malu eyang, bahkan saya merasa terhormat dan berwibawa saat ini” bantah Pethruk.

“walah yo jelas to.. kamu ini hakim ngawur, nggak punya harga diri, memalukan..” lanjut eyang Semar.

“kenapa eyang berbicara seperti itu, bahkan dengan menghadap ke langit, tidak sadarkah eyang dengan berbicara menghadap ke langit seperti itu suara eyang akan menggema seperti “petir batara” yang mudah didengar oleh seluruh rakyat kahyangan bahkan dunya” jelas si Pethruk.

“harga diri kamu itu ditaruh di mana, kok bisa-bisanya menerima pengajuan PK dari permaisuri Koruptor kelas kakap itu” gertak sang eyang Semar.

Pethruk hanya tersenyum dengan sikap eyang Semar Eman yang seperti “Semar mendhem” itu. lalu dengan rendah hati Pethruk bertanya; “atas dasar apa eyang mengeluarkan statemen itu?”

“kamu ini Hakim Agung apa bukan sih, sudah jelas kan pasal 263 ayat (1) kitab Dharma Gandhul itu, bahwa yang bisa mengajuken PK hanyalah Terpidana, La ini yang ngajuken permaisurinya kamu terima aja. Saya yakin pasti ini ada apa-apanya, bahkan aroma kedatanganmu sudah tercium aroma suap” jelas eyang Semar.

Pethruk pun kemudian duduk tasahud di hadapan sang eyang “Semar Eman Sunaraga”, telapak tangannya dia tempel tinutup sikap sinembah tepat di atas ubun-ubunnya sendiri sebagai bentuk sikap hormat kepada sang eyang, kemudian dengan lugas namun santun Pethruk berkata; “ampun pangapunten eyang.. hak pengajuan PK dalam pasal 263 kitab Dharma Gandhul bukan hanya diperuntukkan untuk Terpidana melainkan juga ahli warisnya, dan istri Terpidana adalah termasuk ahli waris. Tentunya si ahliwaris bisa mengajukan PK itu jika memang keadaannya memungkinkan, bisa jadi karena Terpidana itu tidak ada (hilang), sakit keras, atau bahkan mati, dan saya berkeyakinan demikian, terlepas Eyang sependapat atau tidak.”

Suasana berubah sunyi, desir angin pun tidak terdengar, yang terdengar hanyalah suara detak jantung sang eyang, ya.. detak jantung sang eyang “Semar Eman Sunaraga”. kemudian Pethruk pun kembali menjelaskan;

“Eyang, bukankah Pethruk ini hanya seorang hakim? bukankah seorang Hakim harus dilindungi kebebasannya dalam memutus? bukankah tidak boleh ada campur tangan dari pihak lain dalam putusan Hakim, bahkan oleh sang Penguasa atau sang Mahabarata sekalipun? bukankah Hakim tidak boleh terpengaruh desakan apapun dalam memutus, bahkan oleh seluruh penghuni jagad sekalipun?” kata Pethruk lugas.

Eyang Semar Eman Sunaraga hanya membisu, sejenak kemudian menelan ludah, lalu sedikit mampu berkomentar; “tapi Pethruk.. kamu harus paham dengan Dampak Sosial putusanmu itu, kamu sudah banyak melawan arus.. seluruh jagad ini akan membencimu..karena kau dianggap hakim durjana” Pethruk kembali tersenyum, dengan kepala tetap merunduk..;

“eyang..dampak sosial hanyalah sebuah konsekuensi logis dari lahirnya suatu putusan, dan itu bukan termasuk alasan untuk mengkerdilkan putusan hakim bukan? bahkan kami selaku Hakim sudah mampu memprediksi itu jauh sebelum kami menerima perkara itu, bukankah “kanjeng Kamil Batara Darma sang Founding Father Mahkamah pernah berpesan, “sebagai seorang hakim kudu lelaku koyo Puntadewa, suci ambeg Brahmana, tidak perlu pujian dari siapapun, sebaik apapun mahkota putusannya, sebaliknya Hakim tdk boleh mundur, apa lagi berbalik arah melawan keadilan dan kebenaran, seburuk apapun cemoohan dan ejekan sebagai konsekuensi dampak sosial putusannya”

Tubuh Pethruk kemudian tiba2 bergetar, keringat dingin keluar, kepalanya terasa mau pecah.., Pethruk sadar bahwa kanuragan “alih sukma”-nya hanya mampu bertahan sekitar 10 menit lagi, dan untuk terbang kembali ke dalam raganya melintasi samudara dan hutan belantara beratus-ratus mil jauhnya membutuhkan waktu 7 menit. Itu berarti waktu Pethruk berdialog dengan eyang Semar hanya tinggal sekitar 3 menit. Pethruk harus segera menuntaskan percakapannya;

“Eyang.. Pethruk amat paham, jika memang Pethruk salah dalam menerapkan hukum acara, berarti Pethruk telah Unprofesional Conduct, dan itu jelas menyalahi pasal 10 Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Atau jika memang Pethruk benar-benar terlibat Suap seperti yang eyang tuduhkan, juga akan menyalahi Kode Etik itu, bahkan bisa dipidanakan. Tapi bukankah semua itu ada mekanismenya yang sah eyang? bukankah Komisi Yudisal itu tugasnya “5 M” eyang; 1)melakukan pemantauan dan pengawasan, 2)menerima laporan, 3)melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi, 4)memutus benar atau tidaknya laporan, dan terakhir 5)mengambil langkah hukum. Mekanisme itu sama sekali belum dilakukan oleh Eyang bersama jajaran-jajaran panjenengan, tapi eyang sudah membuat pernyatan yang menggemparkan seluruh jagad.. lihatlah kerajaan Ayodya dan Amarta kini geger, begitu juga istana Hastinapura, bahkan kerajaan Majalengka yang ribuan mil jauhnya dari sini ikut riuh gempar karena pernyataan eyang.. ndak sadarkah eyang?”

“Eyang.. bukankah eyang dulu pernah bilang_melalui para patih_bahwa kalau pun ada pemeriksaan terhadap kami para hakim, sifatnya akan tertutup dan rahasia, bahkan teliksandi kerajaan anoman yang terkenal sakti itupun tidak akan tahu menahu, dan kini panjenengan justru membeberkan sebuah kedurjanaan yang sama sekali belum terbukti ada, di depan para leluhuring jagad, para ksatria, para rakyat, para jelata sudra, semuanya mendengar eyang. Lalu di mana sloga-slogan Komisi itu yang dulu menempel di tiang-tiang Pancasona, bahwa akan “menjaga dan menegakkan Kehormatan, Keluhuran Martabat serta Perilaku hakim..?”

“Eyang.. bahkan kini Kehormatan dan Keluhuran Martabat kami seakan telah ternodai, bukan karena putusan kami yang kontroversi, melainkan justru oleh pernyataan-pernyatan eyang yang seakan mengandung “bisa” bagi kami.. benarkah pernyataan-pernyataan itu berasal dari sang eyang “Semar Eman Sunaraga” sang panembahan Komisi Yudisial Kahyangan?”

blaar…wuissshh.. tiba-tiba sukma Pethruk hilang.. lenyap seperti tersapu lesus, dan yang tersisa hanyalah tetesan air mata Pethruk yang menetes di atas batu “Yoda”. Sementara eyang “Semar Eman Sunaraga” berbalik badan, kepalanya lalu mendongak sebentar ke atas sambil mesem dan berucap, “duh gusti.. Sang Hyang Kuosoning Jagad nyuwun agunging pangapunten sedoyo kalepatan kawulo” (duh.. yang Maha Kuasa.. ampunilah segala dosa-dosa hamba). Sejenak kemudian kepalanya tertunduk meski dengan mimik tetap mesem, tangan kiri dilipat di atas pinggangnya, kemudian berjalan agak membungkuk menuju longaning jagad..

ooh.. Semar begitulah panjenengan seharusnya.. tetap mesem bukan mendhem.. bukankah “Semar Mesem” merupakan simbol kebajikan dan kebijaksanaan, dengan demikian tentu yang keluar adalah statemen kearifan dan keluhuran…

Senin Wage 26 Sawal-1946 Jimakir, Kuntara Klawu

*cerita ini hanyalah kisah pewayangan fiktif belaka, jika ada kesamaan nama lakon, latar, dan peristiwa adalah suatu kebetulan saja dan mohon maaf yang sebesar-besarnya.

 

Daftar Istilah:

Ngarep :berharap

Mendhem : ling-lung, bicara ngelantur

Rampung : selesai

hono goro-goro: ada kejadian menggemparkan

sukma : jiwa, roh

dunya : dunia

longaning jagad : kolong semesta

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice