logo web

Dipublikasikan oleh Iwan Kartiwan pada on . Dilihat: 3423

Petatah Petitih Atasan-Bawahan

Oleh: Ahmad Fathoni

(Hakim Tinggi PTA Banten)

Dalam kamus bahasa Indonesia kalimat petatah petitih tidak dijumpai, mungkin berasal dari kata pepatah yakni peribahasa yang mengandung nasihat atau ajaran dari orang tua-tua (biasanya dipakai atau diucapkan untuk mematahkan lawan bicara), seperti tong kosong nyaring bunyinya, orang yang tidak berilmu banyak bualnya; sedangkan kata pepatah petitih berarti berbagai-bagai peribahasa. Karena salah lidah maka berkembang menjadi istilah petatah petitih.

Berbagai daerah di Indonesia sangat banyak memiliki pepatah petitih ini, di antaranya dari Sumatra Selatan tepatnya wong Palembang bicaro. Pepatah ini Penulis dapati bukan dari wong kito dimana Penulis pernah bertugas (dua tahun di PTA Palembang), tetapi dari urang awak sebagai KPTA Lampung dan kini KPTA Banten Sudirman Malaya. Ada tiga pepatah yang selalu dikemukakan oleh beliau baik dalam sambutan resmi (pelantikan Pejabat) maupun dalam pembicaraan santai dengan para hakim. Yaitu: Jangan melawan wong bekuaso; jangan iri dengan wong benasib; dan jangan kecik hati kalau tidak diperhatikan wong.

Jangan melawan wong bekuaso; dimaksudkan ketika seseorang berada dalam posisi di bawah, sebagai staf atau bawahan, hendaknya dia bekerja dan berposisi sebagai orang bawahan, mau disuruh dan diperintah atasan (sesuai tupoksi, tentunya). Sebagai seorang jurusita, dia melaksanakan perintah majelis hakim untuk melakukan panggilan kepada para pihak, melakukan teguran atau melaksanakan penyitaan dan atau pelaksanaan isi putusan. Sebagai seorang panitera sidang melaksanakan persidangan sesuai perkara yang diserahkan kepada Majelis Hakim dimana kita ditunjuk untuk mendampinginya. Tugas dia adalah mempersiapkan persidangan secermat mungkin, agar sidang menjadi lancar dan membuat Berita Acara Persidangan selesai setelah sidang berlangsung atau setidaknya ketika sidang berikutnya BAP telah selesai. Begitu juga sebagai hakim, melaksanakan persidangan dengan teliti, seksama dan hati yang lapang, sehingga fakta persidangan dia gali dengan cermat dan akhirnya membuat putusan dengan moto putusan sebagai mahkota hakim.

Dengan memahami posisi seseorang dengan benar dalam bertugas, maka dia tidak berpikir dari seorang jurusita menjadi seorang panitera pengganti. Dari seorang panitera pengganti, tidak berpikir menjadi seorang hakim. Begitu juga dari seorang hakim tidak berpikir menjadi seorang pimpinan pengadilan (sebagai wakil ketua dan ketua). Dan sebagai wakil ketua, kita tidak berpikir menjadi seorang ketua.

Karena masa itu secara alami akan teraih, baik karena melalui tes dan pendidikan yang lebih tinggi juga karena sudah saatnya pimpinan menganggap seseorang sudah pantas berubah. Yang semula sebagai jurusita naik menjadi panitera (pengganti) atau bahkan langsung menjadi hakim (untuk masa sekarang aturannya tidak memungkinkan karena harus mengundurkan diri sebagai PNS sebagai syarat mengikuti tes calon hakim). Dari seorang hakim berdasarkan undang-undang berhak menjadi seorang wakil ketua dan dari seorang wakil ketua berhak menjadi seorang ketua. Hal inipun berdasarkan kriteria dan penilaian atasan. Meski sudah memenuhi syarat sebagai wakil ketua (baik pendidikan, golongan kepangkatan maupun lamanya sebagai hakim), tetapi kalau tidak memenuhi syarat dikenal dan diketahui oleh pimpinan yang berwenang untuk itu, apalagi ada cacatnya, maka tidak akan mungkin akan berubah.

Oleh karena itu, hendaknya seseorang tidak bersikap sebagai seorang panitera pengganti, sebagai hakim bahkan sebagai pimpinan pengadilan, kalau memang Surat Keputusan kepegawaiannya hanya berstatus sebagai juru sita (jurusita pengganti), begitu seterusnya.

Dalam melaksanakan tupoksi di berbagai satuan kerja peradilan, apabila tidak menyadari posisi masing-masing, maka akan terjadi persinggungan atau bahkan benturan, terkadang terjadinya benturan fisik, antara Hakim dengan Ketua antara Ketua dengan Wakil Ketua, antara Ketua dengan Panitera/Sekretaris.

Dalam masyarakat Indonesia, apabila kita berposisi sebagai rakyat biasa dan tidak berkuasa, maka hendaknya kita ikuti aturan yang ada, jangan lantas kita rubah aturan itu dengan membabi buta dan melawan kekuasaan pemerintah tanpa hak, kiranya kita akan dimasukkan sebagai orang-orang oposan dan apabila mengganggu ketertiban umum, maka kita bisa dikatagorikan berbuat makar.

Untuk terjadinya harmonisasi dengan wong bekuaso, adalah adanya imam (atasan, wong bekuaso) yang perkataan, sikap dan perbuatannya dinilai adil dan menyayangi bawahan (rakyat)nya. Begitu juga bagi bawahan (rakyat), selalu mendoakan imam (atasan, wong bekuaso) agar selalu dapat berbuat adil dan menyayangi bawahan (rakyat)nya.

Jangan iri dengan wong benasib; maksudnya apabila posisi kita sekarang sebagai staff, ada teman yang lain seangkatan tetapi dia lebih dahulu menjadi pejabat (misalnya jurusita, panitera atau lainnya) jalannya mulus-mulus saja, maka tidak perlu memikirkan nasib orang itu dan nasib kita, karena pada dasarnya nasib seseorang itu akan dengan sendirinya terjadi dengan qudrat dan irodat Allah.

Begitu juga apabila kita sebagai hakim, ada teman seangkatan atau bahkan pengangkatan hakimnya di bawah kita, tetapi dia lebih dahulu menjadi pimpinan (wakil ketua bahkan ketua) Pengadilan, hal itu wajar, karena prestasi ditentukan melalui kapabilitas, kemampuan keilmuan dan ketrampilan juga kedekatan dengan pimpinan atasan.

Apabila kita tidak rela dan ikhlas menerima kedudukan dan posisi kita sekarang sebagai apa, maka yang terjadi kemudian adanya intrik dan provokasi serta kasak kusuk untuk memperoleh posisi dan jabatan sehingga suasana kerja tidak kondusif dan kecemburuan sosial akan terjadi. Hal ini karena aturan tidak ditegakkan dan mempunyai standar ganda.

Ada istilah yang senada dengan ini adalah berkat garis tangan, buah tangan, dan tanda tangan. Yakni kalau memang sudah qudrat dan irodah Allah yang terlihat dari garis tangan, kemudian dia sering membawa buah tangan kepada atasannya yang akhirnya atasannya itu (yang berwenang) membuat tanda tangan tentang pengangkatan jabatannya, maka jadilah ia wong yang benasib (orang yang bernasib baik).

dan jangan kecik hati kalau tidak diperhatikan wong. Dalam posisi atau jabatan seseorang sekarang, sudah melakukan pekerjaan sesuai tupoksi, sudah berpengalaman sekian lama dalam posisi tertentu, sudah mempunyai pendidikan tinggi bahkan tertinggi, serta tidak ada cacat atau sesuatu yang menyebabkan seseorang itu dihukum, tetapi juga tidak naik jabatannya karena tidak diperhatikan wong (atasannya), maka hal ini wajar-wajar saja. Boleh jadi qudrat dan iradah Allah itu belum menentukan seseorang itu akan naik kedudukan dan jabatannya, tetapi dia dipersiapkan oleh Allah akan naik derajatnya dalam posisi dan kedudukan yang lain. Sebab Allah berjanji dalam ayat-Nya: “Yarfa-‘illẫhu al-ladzìna Ámanű minkum wal ladzìna Ùtul ‘ilma daroját” (Allah mengangkat derajat orang yang beriman, sedangkan orang yang menuntut ilmu dan beriman dengan beberapa derajat).


Serang, 12 April 2013 M/01 Jumadil Akhir 1434 H

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice