logo web

on . Dilihat: 3611

 

Niat Baik Jurusita Berakibat Fatal

Oleh :

Ade Husnul Khotimah Hasan, SE

Jurusita Pengganti PA Bogor

 

Tugas jurusita adalah tugas yang sangat penting dalam menunjang kelancaran persidangan. Seperti halnya jurusita pengganti lainnya, salah satu tugas saya  adalah mengantarkan Panggilan kepada para pihak yang berperkara sesuai dengan perintah Ketua Majelis. Banyak pengalaman menarik yang saya dapatkan dari tugas ini. Di antara semua pengalaman itu ada satu yang paling membuat jantung  saya degdegan sekaligus memberikan pelajaran berharga untuk saya.

Siang itu dengan mengendarai sepeda motor, saya bergegas menuju sebuah rumah disalah satu perumahan di kota Bogor. Seperti biasa dalam mencari sebuah alamat biasanya saya banyak bertanya pada orang yang saya temui di sepanjang jalan. Maklum, saya belum lama tinggal di Kota Hujan ini. Alhamdulillah, tidak terlalu sulit mencari alamat para pihak kali ini.

Sesampainya di sana, saya langsung menuju pintu rumah yang kebetulan tak berpagar itu.

“Assalamu’alaikum,” ucap saya sambil mengetuk pintu rumah.

“Wa’alaikum salam,” terdengar suara dari dalam rumah. Tak lama kemudian pintu dibuka, terlihat seorang wanita yang cukup lanjut usia membukakan pintu untuk saya.

“Permisi, Bu, apakah ini benar rumah Bapak Faris?” Tanya saya. Faris adalah nama samaran.

“Benar, itu menantu ibu,” kata wanita itu. “Mari silahkan masuk, Neng.” Saya pun duduk di ruang tamu yang cukup besar.

“Pak Faris ada, Bu?”

“Pak Faris sedang tidak ada di rumah. Ada keperluan apa, Neng? Mungkin nanti bisa ibu sampaikan.

“Saya dari Pengadilan Agama. Ada sedikit keperluan dengan Pak Faris, tapi kalo nggak ada, biar nanti saja saya kembali lagi.”

Sang nenek seperti tidak puas dengan jawaban saya. “Tidak ada. Neng kasih tahu saja, biar ntar ibu sampein,” dia mendesak.

Saya pun berpikir kalau saya langsung menyampaikan panggilan ini ke kelurahan tanpa berpesan kepada ibu ini tentang adanya panggilan persidangan untuk pihak tergugat, bisa-bisa nanti pihak tergugat tidak tahu tentang adanya sidang karena panggilan yang disampaikan melalui kelurahan belum tentu diteruskan kepada para pihak yang berperkara.

Kemudian saya menjelaskan kepada beliau bahwa kedatangan saya adalah untuk menyampaikan surat panggilan sidang perceraian antara ibu mawar(nama samaran)yang tak lain adalah anak sang nenek, dengan Pak Faris (menantunya).

Sesaat nenek itu hanya diam menatap saya. Mendadak dia memeluk saya dan menangis sejadi-jadinya. Dalam keadaan masih kaget, saya berusaha menenangkan si nenek dengan mengelus-ngelus pundaknya.

“Sabar, ya, Bu. Nggak apa-apa kok. Di pengadilan belum tentu bercerai. Masih ada kemungkinan damai.”

Saya bilang begitu, tangisan sang nenek kian menjadi. Kali ini dia tidak lagi memeluk saya, tetapi juga memegang dada sebelah kirinya sambil mengeluh, “Aduh, Neng, dada ibu sesek. Ibu nggak bisa napas.”

Sang nenek terus tersengal sengal berusaha menarik napas tapi tidak bisa. Saya sangat panik kala itu, tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Dalam keadaan panik langsung saja saya memanggil pembantu rumah itu. Seketika si pembantu keluar.

“Ada apa, Bu?” tanyanya tak kalah panik.

“Bi, tolong, saya minta air putih dan minyak panas, atau apa aja deh!”

Sang pembantu pun bergegas mengambil  air putih dan minyak panas yang saya maksud. Dengan hati yang masih cemas saya mengambil gelas yang berisi air putih itu dan membaca salawat tiga kali, lalu saya minumkan ke sang nenek.

Sang nenek berusaha meminum air itu namun dia tidak mampu menelan air putih itu. Kepanikan saya bertambah tatkala dia seperti tak sadarkan diri. Dia pingsan.

Langsung saja saya baluri bagian dadanya dengan minyak panas yang ada sambil berdoa, “Ya Allah, tolong sadarkan nenek ini. Jangan ambil dia saat ini, ya Allah.”

Mungkin agak berlebihan berpikiran bahwa sang nenek akan diambil sang kholik, tapi itulah yang terbersit dalam ketakutan hati saya saat itu. Tak lama kemudian dia mengerang kesakitan lagi. Nafasnya belum normal. Hati saya sedikit lega, setidaknya dia sudah sadar dari pingsannya.

Mendengar suara gaduh di ruang tamu, sang cucu yang berada di lantai dua langsung turun. “Ada apa nih, Mbak? Mbak siapa? Kenapa nenek saya?” dia melontarkan pertanyaan bertubi tubi.

Dilanda kebingungan, saya berkata, “Saya dari pengadilan Agama. Mohon maaf, tidak ada waktu untuk menjelaskan  detailnya sekarang. Nenek harus dibawa ke rumah sakit. Tolong telepon mama dan papamu.”

Akhirnya si anak menelphon ayah dan ibunya. Tak lama kemudian Pak Faris dan Bu Mawar datang dan langsung membawa ibu mereka ke rumah sakit.

Surat panggilan yang seyogyanya saya sampaikan saat itu malah urung saya sampaikan karena kejadian ini. Untung saja tanggal sidangnya masih lama sehingga penyampaian panggilan bisa saya tunda di hari lain.

Tiga hari berikutnya saya datang lagi untuk menyampaikan panggilan. Beruntunglah, kedua belah pihak ada di rumah sehingga  panggilan bisa saya sampaikan dengan baik dan patut. Kala itu Bu Mawar mengabarkan bahwa ibunya dalam keadan membaik namun masih butuh perawatan di rumah sakit hati. Saya lega mendengarnya.

Itulah pengalaman berharga yang tidak akan saya lupakan. Belajar dari pengalaman itu, jika di rumah yang kita tuju tidak ada para pihak berperkara, sebaiknya langsung saja kita ke kelurahan. Biarlah pihak kelurahan yang menyerahkan panggilan itu, sesuai hukum acara yang berlaku.

Kepada para jurusita, saya hanya ingin mengingatkan, niat baik dapat berakibat fatal kalau kita kurang berhati-hati menjalankan niat tersebut. Pengalaman saya adalah salah satu buktinya.

 

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice