MENGGUGAT NEGARA
(PASAL 34 AYAT 1 UUD TAHUN 1945)
Oleh : Hidayat, S.H.I, S.H[1]
Konstruksi hukum yang lemah bangsa ini kembali menjadi sorotan tajam bahkan menjadi topik utama di media-media, kearoganan Negara sebagai penguasa yang Lalai semakin menjadi sosok nyata dengan realitas sisi hukum yang tidak masuk akal, bagaimana mungkin seseorang individu ketika melanggar Undang-undang dapat diproses pidana namun ketika Negara yang melanggar hanya menjadi bahan diskusi yang tak berujung. Dimana letak letak asas Kepastian Hukum dan Asas untuk mendapatkan Keadilan? Dalam tulisan ini penulis tidak akan menggugat Negara melalui jalur hukum tapi penulis ingin menggugat naluri Negara, kebingungan dalam menggugat melalui jalur hukum cukup bias dijadikan alasan ketika Mahkamah Konstitusi yang diharapkan menjadi garda terdepan dalam penegakan konstitusional menjadi pesakitan dan mendapat sanksi moral karena terlibat skandal suap. Perlu dipahami Negara Indonesia adalah Negara Hukum dan itu tercantum jelas dalam konstitusi pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945 “negara Indonesia adalah Negara Hukum” dan penegakan hukum tentu tidak bisa dipisahkan dengan penegakan HAM di Negara tersebut.
Miskin dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan kondisi tak berharta serba kekurangan namun secara global istilah miskin memiliki difinisi suatu keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian , tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Pengertian, istilah dan diefinisi diatas hanya contoh kata miskin dalam tataran teori namun lebih gamblangnya akan Penulis gambarkan dalam sosok yang abstrak, fenomena, dan fakta riil agar sebagian dari kita lebih faham kata miskin tersebut yaitu penulis ingin mendefinisikan “miskin” adalah Aisyah bocah berumur 8 tahun hampir 2 tahun memelihara ayahnya yang sakit dalam becak tua jika malam hanya tidur di emperan toko atau teras mesjid jika lapar hanya menunggu belas kasihan orang lain selalu mengambil air dimesjid untuk membersihkan tubuh ayahnya agar selalu kelihatan bersih dan tidak gerah karena panas, dimana Negara?. Miskin adalah Iqbal bocah 3,5 tahun yang dipaksa mengamen oleh pacar ibunya sehingga mengalami siksaan yang luar biasa akibatnya tangan bocah tersebut patah dan banyak luka leban dan sulutan api rokok, dimana Negara. Fenomena Aisyah dan Iqbal menjadi gambaran kecil bahwa rakyat miskin dan anak terlantar seakan-akan hidup tanpa Negara.
Dalam fakta hukum Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 “fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara” ini merupakan bukti tertulis yang otentik dan fakta hukum. Dalam tafsir hukum sendiri pasal ini merupakan jelmaan dari sisi positif dari bangsa ini bahwa ada jaminan konstitusional yang mengatur kewajiban Negara di bidang kesejahteraan sosial ini dapat dijadikan dasar dalam penegakan HAM bagi masyarakat miskin yang menuntut pemeliharaan dari Negara. Kemiskinan merupakan kondisi yang tidak bisa ditolak oleh manusia sehingga sangat wajar jika dalam situasi tersebut harus dan wajib ada pembelaan serta perlindungan oleh Negara. Kita yakin bahwa filosofi lahirnya Pasal 34 ayat (1) UUD RI tahun 1945 adalah untuk melindungi mereka yang mengalami kemiskinan, sehingga sudah selayaknya makna yang terkandung dalam Pasal tersebut dapat di ejawantahkan dalam pembelaan, pemeliharaan serta perlindungan.
Filosofi lahirnya pasal 34 ayat 1 dalam konstitusi Indonesia tentu tidak lepas dari keinginan untuk menegakan HAM dalam tatanan bernegara, sebagaimana hak semua manusia untuk dapat menjalankan hidup dengan selayaknya. Dalam kemiskinan ada 3 hak yang tentunya sangat sulit untuk didapatkan 1. mendapatkan hak tempat tinggal, 2. hak untuk mendapatkan pendidikan dan 3. Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, Hak-hak ini hanya dapat terpenuhi dengan kekuatan ekonomi. Lahirnya konsep Negara hukum dalam tatanan bernegara di Negara ini tentu saja sebagai semangat untuk memastikan bahwa rakyat bisa mendapatkan ketiga hak tersebut, namun dalam berjalanya waktu semangat penegakan HAM semakin terkikis oleh sikap apatis oleh setiap individu manusia dan lebih tragis juga diikuti oleh Negara yang notabene sebagai penguasa, Tentu ada hal lain yang sering mengusik kita semua yaitu ketika terjadi sikap ingkar dari Negara kenapa sampai saat ini tidak ada satupun yang berani menggugat pasal ini? Padahal kemiskinan semakin nyata, anak-anak jalanan bekeliaran sangat mudah ditemukan dan hal itu di biarkan oleh Negara.
Dalam penegakan Pasal ini tentu tidak lepas dari kritik karena selama ini Negara selaku penguasa terlihat sangat lamban dan terkesan tidak peduli, sebagai contoh yang penulis sebutkan diatas yaitu kasus Aisyah dan Iqbal adalah contoh terbaru bahwa Negara baru bertindak ketika sudah jatuh korban dan juga kita sangat berterima kasih kepada media yang berperan penting dalam mengungkap fakta tersebut. Fenomena ini sudah sering terjadi berulang kali, tentu fakta ini menunjukkan kelalaian Negara dalam penegakan hukum. Dalam persepektif hukum Pidana kelalaian sering di istilahkan dengan Kesalahan, kekurang hati-hatian, dan kelapaan sebagaimana tercantum jelas dalam Pasal 359 KUHP ““Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.” Dalam hukum perdata kelalaian dikenal dengan arti wanprestasi yang terjadi di dalam kontrak. Dalam kaitanya dengan tulisan ini penulis lebih sepakat Negara telah melakukan wanprestasi, pasal 34 ayat (1) UUD RI Tahun 1945 dapat diasosiasikan sebagai kontrak antara Negara dan Rakyat, jika Rakyat melakukan wanprestasi maka Negara dapat melakukan tindakan hukum demikian sebaliknya jika Negara yang wanprestasi karena kelalaiannya dalam melayani rakyat maka Negara juga dapat dituntut.
Mungkin saat ini kita sangat merindukan sosok pemimpin layaknya Amirul mukminin Umar bin Khattab r.a. yang mengetahui kelaparan rakyatnya langsung melalui mata dan telinga beliau sendiri. Beliau pernah memikul sendiri beras untuk dihantarkan kepada seorang ibu yang memasak batu agar anaknya berhenti menangis kelaparan karena mengira sang ibu memasak makanan, kita tidak tahu entah berapa kali sosok bocah seperti Aisyah dan Iqbal menangis menahan lapar menunggu seonggok batu berubah menjadi makanan lezat. Sejenak kita renungkan makna Hadist Nabi “Ibnu Abbas r.a. “saya pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, bukanlah orang yang beriman yang ia sendiri kenyang sedang tetangganya dalam kelaparan” mungkin hanya kepadaMU Tuhan rakyat bisa menggugat penguasa karena lalai, amin.
[1] Jurusita Pengganti Pengadilan Agama Putussibau