Manajemen Cemburu
Oleh: Wachid Yunarto
Ketika tulisan saya yang berjudul “GARA-GARA PAK DIRJEN” muncul dalam Suara Pembaca Badilag.Net (9/11) serta pendapatkan apresiasi dari Pak Dirjen dan banyak rekan-rekan pembaca, protes yang pertama saya dengar justru dari staf di Pengadilan Agama Masohi sendiri. Para staf yang terdiri dari orang-orang muda yang baru 2-3 tahun yang menjadi pegawai tadi berkata “Bapak kan sudah memimpin Pengadilan Agama Masohi dan membawa Pengadilan Agama Masohi meraih juara I pengelolaan website di Provinsi Maluku, tapi mengapa masih menulis tentang Pengadilan Agama Tual? Pengadilan Agama Masohinya mana Pak?” Pertanyaan senada sebenarnya sudah pernah diajukan kepada saya, ketika saya baru saja mempresentasikan hasil-hasil Rakernas 2011 September lalu. Mereka menanyakan, mengapa Pengadilan Agama Masohi bisa kalah dari Pengadilan Agama Tual dan Pengadilan Agama Ambon dalam hal pelayanan publik dan meja informasi. “Padahal,” kata mereka, “Kita siap diuji wawasan yang terkait dengan tugas meja informasi dan pengaduan berhadapan dengan Pengadilan Agama Ambon dan Tual!”
Saya tidak kaget mendengar pertanyaan dan protes dari para staf saya tersebut, justru saya merasa bangga terhadap “kecemburuan” mereka dan menganggapnya sebagai cerminan semangat menggelora yang tumbuh dari kepedulian dan kecintaan mereka terhadap Pengadilan Agama Masohi. Mereka tidak rela jika ketuanya menjadi sebab Pengadilan Agama Tual yang mereka anggap sebagai kompetitornya selama ini disebut-sebut dan mendapatkan apresiasi lagi dari Pak Dirjen.
Tanpa mereka sadari, sebenarnya modal awal yang saya pergunakan untuk melakukan berbagai pembenahan di Pengadilan Agama Masohi hanyalah semangat dan kebersamaan yang mereka miliki. Saya teringat narasi sejarah singkat Kota Masohi yang dibacakan pada setiap peringatan Hari Ulang Tahun Kota Masohi tanggal 3 November. Ketika Bung Karno datang ke daerah ini tahun 1957 dan melihat betapa warga masyarakat begitu bersemangat, bergotong royong untuk membuka hutan dan mempersiapkan lahan untuk perumahan dan perkantoran, maka ketika itu beliau meresmikan sekaligus memberi nama daerah ini Masohi yang artinya gotong royong.
Saya tidak tahu apakah pemberian nama masohi ada relevansinya atau tidak, yang jelas saya melihat masyarakat Masohi pada umumnya dan pegawai Pengadilan Agama Masohi pada khususnya memiliki karakter semangat bergotong royong tadi. Dan saya sadar, bahwa dengan segala keterbatasan dan kekurangan yang ada pada saya, tidak mungkin saya bekerja sendiri menyelesaikan semua tugas dan permasalahan yang ada dengan menerapkan manajemen ”tukang cukur”. Saya suka jika semangat saya bisa singkron dengan semangat mereka.
Memang dalam sebuah organisasi tidak mungkin semua strukur memiliki semangat dan kemampuan yang sama. Kendala utama dalam melakukan reformasi peradilan (dan birokrasi pada umumya, bukan hanya Pengadilan Agama Masohi) adalah pola kerja yang sudah dilakukan secara terus-menerus dan membentuk suatu kebiasaan (habitual action) yang diyakini (sudah membetuk pola pikir/mind set) sebagai kebenaran. (Apalagi jika sudah memberikan keuntungan materi?)
Ketika datang orang melakukan koreksi atas pola kerja keliru namun sudah mapan tadi, maka dalil yang keluar adalah, “Pekerjaan ini sudah biasa kami kerjakan dari dulu, dan ini adalah arahan dari pimpinan-pimpinan yang terdahulu. Apakah tiap kali berganti pimpinan harus berganti kebijakan?” Suatu logika berpikir yang “absurd”, karena sebenarnya pimpinan cuma mengarahkan agar semua pekerjaan dilakukan sesuai dengan aturan, dan kebetulan beberapa aturan itu telah diperbaharui, namun sayang mereka tidak mengetahui. Persis sama jawaban ini dengan jawaban suatu kaum yang diabadikan dalam Al-Qur’an surat Az-Zuhruf (43) ayat 22.
Memang tidak mudah mengubah pola pikir keliru yang sudah mendarah daging. Ada saja alasan untuk tidak menyelesaikan tugas pada waktunya. Jurusita yang terlambat menyampaikan panggilan; Panitera Pengganti yang terlambat menyelesaikan berita acara persidangan (sehingga terkadang saat putusan dibacakan berita acara belum selesai diketik); Hakim yang cuma membacakan konsep putusan, sehingga pihak yang tidak puas harus sabar menunggu sampai putusan selesai diketik beberapa hari kemudian; dan berbagai masalah serupa, selalu saja kekurangan sarana yang dikambinghitamkan. Ada benarnya juga, bagaimana mereka akan menyelesaikan pekerjaan tepat pada waktunya, kalau komputer dan printernya harus antre? Sementara Panitera/Sekretaris bingung bagaimana cara menambah sarana kalau anggaran tidak ada? Tetapi itu dulu!
Sampai ketika tahun 2009 Pengadilan Agama Masohi mendapatkan anggaran untuk memasang jaringan antar komputer (local area network) dan membuat website, rasanya mendapatkan karunia “lailatul qodr” dan sebuah lompatan besar dalam akselerasi perubahan pun dimulai.
Dengan adanya LAN (local area network), saya dan teman-teman hakim, kepaniteraan, kesekretariatan berguru kepada Hendra Cipta (saat itu masih CPNS) bagaimana caranya menggunakan sistem jaringan untuk mengkopi atau memindahkan data dari satu komputer ke komputer yang lainnya, tanpa harus antre ataupun mengganggu pekerjaan orang lain. Kami juga belajar mencetak dokumen di printer yang berada di ruang lain, dan sebagainya. Sungguh kerja jaringan amat praktis dan memudahkan pekerjaan para hakim, panitera, dan pegawai.
Berkat terpasangnya LAN dan WAP (Wireless Acces Point), internet bisa diakses dari setiap unit komputer yang telah ada di setiap ruangan, baik dengan PC ataupun laptop dan netbook. Alhamdulillah semua ingin belajar internet, saya gembira melihat semangat mereka untuk belajar berselancar di dunia maya.
“Euphoria” terhadap internet tidak mungkin saya bendung. Soal waktu, saya memberi kebebasan kepada siapa saja, bahkan kepada tenaga kontrak sekalipun untuk mengakses internet di kantor, baik siang maupun malam, hari kerja atau hari libur, terserah mereka. Saya hanya “wanti-wanti” memberi batasan dua hal saja yaitu : 1). Tugas pokok harus diutamakan; 2) Jaga kehormatan diri sendiri, jangan mengakses konten pornografi.
Selanjutnya, saya tinggal mengarahkan teman-teman bahkan saya wajibkan untuk sarapan menu-menu bergizi yang disajikan di “resto” Badilag dan Mahkamah Agung, karena biasanya informasi penting, berita dari daerah, surat-surat pemberitahuan, peraturan-peraturan yang terkait tupoksi sering muncul di waktu pagi. Dan kita yang berada di wilayah Indonesia Timur yang lebih dahulu memasuki waktu pagi seharusnya lebih dahulu mendapatkan informasi dari Pengadilan Agama lain di wilayah barat (kecuali jika informasi itu dirilis sore hari, ketika kami sudah pulang kantor, tentunya).
Alhamdulillah, ternyata kebiasaan teman-teman di Pengadilan Agama Masohi sarapan menu-menu bergizi dari “resto” Badilag.net benar-benar meningkatkan wawasan dan kecerdasan mereka, sehingga mereka yang semula menganggap pola kerja mereka lakukan selama ini sebagai suatu kebenaran, pelan-pelan mulai berubah dengan sendirinya. Ternyata pernyataan Dr. Dory Reiling dalam buku berjudul Technology for Justice yang sering dibawa-bawa Pak Dirjen, bahwa “Information Technology is the most striking factor in changing the world in our era’ benar adanya. Akrab dengan teknologi informasi telah merubah pola pikir, pola sikap dan pola tindak seseorang dengan sendirinya. Benar, mereka telah berubah karena kemauan dan pengetahuan yang mereka dapatkan sendiri, bukan saya yang merubahnya!.
Di luar dugaan saya, semangat untuk memperbaiki kinerja, tidak mau ketinggalan informasi karena kendala terbatasnya fasilitas kantor tidak ada lagi, karena mereka beramai-ramai membeli laptop sendiri (sekalipun dengan cara kredit) untuk menunjang pekerjaan mereka.
Mengenai pengelolaan website Pengadilan Agama Masohi, kami beruntung mempunyai tenaga operator/admin seperti Hendra Cipta, seorang alumnus D3 manajemen informatika. Sekalipun akhir tahun 2009 itu dia baru mulai belajar menjadi admin ketika ada pelatihan singkat di Pengadilan Tinggi Agama Ambon, akan tetapi berkat kerja keras dan ketekunannya, website Pengadilan Agama Masohi bisa eksis, bahkan memperoleh penghargaan Dirjen Badilag sebagai pengelola website terbaik di tingkat provinsi.
Memang Hendra Cipta tidak bekerja sendiri, tahun 2010 mulai dibantu rekannya, Suharti. Untuk urusan data perkara yang harus dimasukan ke dalam website menjadi tanggung jawab para panitera muda, dan untuk data bidang kesekretariatan menjadi tanggung jawab para kepala urusan. Untuk urusan berita kegiatan Pengadilan Agama Masohi menjadi tanggung jawab reporter TI Rosita Pelu dan teman-temannya yang begitu enerjik.
Saya tahu persis bagaimana gelisahan mereka ketika di Masohi mengalami gangguan jaringan sampai beberapa hari sehingga tidak bisa meng “up-date” menu-menu di situs Pengadilan Agama Masohi. Lebih-lebih ketika server pusat mengalami gangguan selama kurang lebih tiga minggu, padahal sudah diumumkan akan ada penilaian.
Untuk motivasi, seringkali saya sampaikan kepada seluruh hakim dan pegawai Pengadilan Agama Masohi, bahwa kita telah mempunyai dua kantor sekarang. Satu yang kita pergunakan sebagai tempat kerja kita dan di Jalan Kuako, No. 4, Kota Masohi dan yang satu beralamat di www.pa-masohi.go.id. Lihatlah, kepala urusan kepegawaian, kepala urusan keuangan dan kepala urusan umum beserta seluruh staf di situ. Ada pula para hakim dan panitera, panitera muda, panitera pengganti. Bahkan apa yang dikerjakan jurusita untuk memanggil para pihak pun ada di situ. Tapi bedanya, kantor kita di Masohi hanya dikunjungi orang-orang di sekitar Masohi saja, sedangkan kantor kita di dunia maya bisa dikunjungi oleh orang dari seluruh dunia. Semua itu tidak bisa ditangani hanya oleh satu dua orang operator/admin saja. Semua data harus berasal dari Bapak/Ibu sekalian!
Mengenai SIADPA, memang agak terlambat Pengadilan Agama di Maluku menerima program ini, yaitu sekitar tahun 2008. Akan tetapi karena banyak “trouble”, dan saat itu tidak satupun sarjana komputer di setiap Pengadilan Agama sehingga program SIADPA praktis mengalami “mati suri.” Baru tahun 2010 aplikasi SIADPA pada setiap Pengadilan Agama di Provinsi Maluku mendapatkan kembali ruhnya dan bangkit dari “mati suri” ketika Pengadilan Tinggi Agama Ambon mengadakan pelatihan SIADPA.
Guna mendukung percepatan impelementasi SIAPDA di Pengadilan Agama Masohi, saya membentuk tim yang dikomandani oleh Pak Amran dan Pak Ibrahim, dua orang hakim muda bertugas mengadakan diklat di tempat kerja (DDTK) serta mengevaluasi blangko/dokumen yang akan dipergunakan sehari-hari di Pengadilan Agama Masohi, saya bersyukur atas kerja keras tim sehingga dalam waktu relatif singkat, SIADPA telah dipergunakan untuk menunjang pelayanan prima, dari pendaftaran, putuan sampai monitoring dan pelaporan perkara.
Membatasi pertemuan dengan para pencari keadilan dengan memberi jalan tersendiri di luar gedung menuju loket pelayanan “one stop service” telah dilaksanakan. Demikian pula pengkaderan petugas meja informasi dan pengaduan pun telah dilakukan. Karena merasa sudah mantap persiapan mereka berkompetisi sampai mereka berani menantang tes uji wawasan antar petugas meja informasi dan pengaduan.
Satu-satunya kendala yang dihadapi Pengadilan Agama Masohi dalam melaksanakan pesan-pesan reformasi peradilan, saya kira hanya tata ruang yang tidak memungkinkan lagi untuk dikembangkan. Pegawai yang berjumlah 45 orang harus bisa berbagai tempat di gedung yang luasnya 470 m2, sehingga loket pelayanan perkara pun masih disekat dengan rak perpustakaan, dan berbagi dengan ruang mediasi. Alhamdulillah, saya melihat keterbatasan ruangan dan kendala-kendala lain yang ada telah ditutupi oleh semangat mereka memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.
Semangat dan kesiapan para staf saya untuk berkompetisi dengan Peradilan Agama lain, khususnya di Provinsi Maluku, itulah yang mendorong mereka melontarkan protes kepada saya ketika saya menulis artikel “Gara-gara Pak Dirjen”. Kalaupun semangat itu lahir dari perasaan cemburu karena kompetitornya disebut-sebut dan diapresiasi Pak Dirjen, saya bersyukur ternyata tulisan saya itu telah membangkitkan kecemburuan rekan-rekan di Pengadilan Agama Masohi. Saya bangga dengan semangat mereka semua untuk mengimplementasikan pesan-pesan dari Mahkamah Agung/Badilag dan membuat mereka berani berkompetisi dengan peradilan agama lainnya dalam memberi pelayanan terbaik kepada masyarakat. Sekalipun seandainya predikat juara apapun tidak didapatkan, dengan istiqomahnya semangat dan kekompakan kalian, di hati saya, kalian tetaplah juara. Fastabiqul khoirot!