logo web

Dipublikasikan oleh Iwan Kartiwan pada on . Dilihat: 1262

KETIKA “YANG MULIA” TAK LAGI MULIA

Oleh : Firman Wahyudi *

Terhitung setiap tahunnya Majelis Kehormatan Hakim (MKH) menggelar persidangan atas kasus pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh hakim. Jenis Pelanggaran kode etik ini beragam, namun yang lebih mendominasi akhir-akhir ini adalah kasus perselingkuhan. Isu perselingkuhan seakan menjadi trending topic kedua setelah isu suap dan korupsi yang mewabah di korps cakra ini. Diawal tahun 2014, MA juga melansir pemberitaan bahwa terdapat 9 hakim yang diduga melanggar kode etik. Kemarin MKH telah menyidangkan 5 orang hakim yang terbukti melakukan perselingkuhan, 1 orang mendapat hukuman non palu selama 2 tahun dan sisanya dipecat dari jabatan hakim dengan hak pensiun.

Pasca terbitnya PP Nomor 94 Tahun 2012 tentang tunjangan jabatan hakim, seakan menjadi racun penggoda bagi para pengadil. Dengan meningkatnya kesejahteraan dan fasilitas yang diberikan, seakan menjadi bumerang yang bisa membunuh jenjang karir sang hakim ketika dia lupa akan jati dirinya sebagai wakil Tuhan dan hanyut dalam kubangan hedonisme syahwat dunia. Padahal amanat dalam PP tersebut adalah untuk meningkatkan integritas dan menjadikan hakim itu independen dalam memutus perkaranya.

Mencermati fenomena perselingkuhan dikalangan hakim, setidaknya hal ini ditengarai karena dua faktor yaitu pertama lemahnya integritas sang hakim dan kedua lemahnya sistem promosi dan mutasi.

Pembinaan dan Pengawasan

Rendahnya moralitas dan integritas sang hakim memang menjadi faktor intern pemicu terjadinya perselingkuhan. Hakim Agung Gayus Lumbuun menilai bahwa tingginya jumlah hakim yang melakukan tindakan asusila termasuk perselingkuhan dilatarbelakangi oleh lemahnya pembinaan. Ia menilai MA harus memperkuat pembinaan dari segi moralitas dan intergritas. Moralitas dan Integritas memang merupakan suatu keharusan yang harus dijunjung tinggi oleh hakim, baik dikantor maupun dimasyarakat. Selama ini antara pengawasan dan pembinaan yang dilakukan MA tidak berjalan balance, faktor pengawasan lebih banyak porsinya ketimbang faktor pembinaan, hal ini terlihat dari banyaknya kasus yang mencuat kepermukaan dan menyeret para pengetuk palu ke meja MKH, disatu sisi faktor pengawasan mungkin bisa dibilang lebih sukses, namun dari segi pembinaan, MA terkesan gagal membina para pengadil untuk menjadikan korps hakim sebagai lembaga yang berwibawa dimata publik.

Faktor pembinaan memang menjadi pekerjaan rumah bagi MA dan KY, kedua lembaga ini seharusnya bersinergi bagaimana menciptakan mentalitas para pengadil supaya bisa menjadi sosok ideal wakil Tuhan dimuka bumi. Selama ini MA lebih banyak berkutat pada pembinaan teknis yudisial ketimbang mengisi mentalitas para Hakim dengan spirit ketuhanan. Kosongnya nilai-nilai ruhani dan spritual para pengadil seharusnya jadi perhatian serius bagi MA dan KY karena hal inilah yang bisa menuntun para hakim dalam mencapai puncak kearifan dan membentengi diri mereka dari perbuatan asusila. Jika faktor pembinaan lebih ditingkatkan daripada faktor pengawasan, besar kemungkinan kasus perselingkuhan itu akan terminimalisasi. Ada pepatah yang mengatakan lebih baik mencegah daripada mengobati.

Pembenahan Pola Mutasi dan Promosi

Faktor kedua adalah lemahnya sistem mutasi dan promosi hakim. Selama ini sistem promosi dan mutasi hakim hanya terfokus pada penjenjangan karir tanpa melihat kondisi psikologis sang hakim. Adakalanya seorang hakim ditempatkan ditempat yang jauh dari keluarganya demi peningkatan karirnya kedepan tanpa memperhatikan kondisi keluarganya. Belum lagi dengan pasangan hakim yang juga bekerja diinstansi lain seakan menjadi hijab dan resiko terpisahnya hakim dari pasangannya. Hakim yang jauh dari keluarga dalam hal ini pasangan, rentan dengan aroma perselingkuhan. Tidak sedikit hakim yang diseret ke meja MKH karena kasus perselingkuhan yang dilatarbelakangi oleh faktor kesepian. Sistem promosi dan mutasi yang baik adalah yang mementingkan psikologis hakim itu sendiri dengan mengumpulkan atau mendekatkan jarak antara sang hakim dengan pasangannya. Sehingga kontrol dari pasangan bisa menjadi upaya preventif mencegah perbuatan asusila. Bagaimana mungkin hakim itu bisa dibilang fokus memutus perkara, sedang dia sendiri merasa kesepian dan terbebani dengan jauhnya jarak antara dia dan pasangan. Hakim juga manusia, dia berhak untuk mendapatkan sentuhan dan belaian dari pasangannya. Keberadaan pasangan paling tidak bisa menjadi faktor pencegah terjadinya perselingkuhan.

MA dan KY harus duduk manis membicarakan masalah ini, pembenahan sistem mutasi dan promosi yang masih kental dengan nuansa kekeluargaan seharusnya dibenahi. Jangan karena anak pejabat, sang hakim seenaknya ditempatkan dikota besar sedangkan hakim pinggiran dibuang kepelosok, jauh dari hiruk pikuk kota besar. Jangan karena sang hakim terlalu vokal dan menyuarakan kegelisahan hati, jenjang karirnya dipangkas bahkan dimatikan.

Hakim adalah wakil Tuhan dimuka bumi, keberadaannya laksana sesosok dewa yang mampu menyematkan mahkota keadilan dikorps cakra, namun ketika moralitas dan integritasnya ternoda, maka seketika kepercayaan publikpun akan pudar dan sirna. Akan kah kita membiarkan hal ini terjadi, semoga ini menjadi pelajaran berharga bagi kita.*

 

* Penulis adalah Hakim pada Pengadilan Bengkayang.

* Tulisan ini telah dimuat diharian Banjarmasin Post tanggal 12 Maret 2014 dengan judul “Godaan Sang Hakim”.

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice