Kabar dari Riyadh (1): Doaku Dikabulkan Allah Ketika Pengumuman itu Tiba
(Catatan Harian Hakim PA Nunukan)
Oleh: H. Mulyadi, Lc., M.H.I.
Pengantar Redaksi
Sebanyak 40 orang peserta yang berasal dari Hakim-hakim PTA dan PA seluruh Indonesia, mulai tanggal 10 April 2015 s/d tanggal 14 Mei 2015, telah, sedang dan akan menjalani masa-masa pembelajaran di Al-Ma’had Al-‘Aly lil Qadla (Sekolah Tinggi Peradilan), yang menjadi bagian dari dan terletak di kompleks kampus Universitas Islam Imam Muhammad Ibnu Saud (UI-IMIS) yang cukup luas di Riyadh, Arab Saudi.
Selain mendapatkan tempaan dan gemblengan ilmu ekonomi syariah dari para akademisi dan praktisi di sana, selama 35 hari itu pula mereka harus menjalani kehidupan sehari-hari dengan segala suka-dukanya di negara yang beriklim berbeda dengan Indonesia itu.
Bahkan jauh sebelumnya, mereka seolah sudah ‘dipersiapkan’ untuk menerima pelajaran-pelajaran dari negeri tempat syariah Islam dilahirkan, termasuk di antaranya peserta dari PA Nunukan H. Mulyadi, Lc., M.H.I.
Selain merupakan pengalaman berharga bagi pribadi bersangkutan, hal-hal yang telah dialami Hakim PA Nunukan itu kemudian ‘dilaporkan’ kepada netizen (publik), khususnya warga peradilan agama, untuk sharing dan berbagi ilmu dan informasi.
Maka hal ini harus dipahami sebagai sisi lain atau “tambahan-pelengkap” dari reportase/berita yang sudah dan akan di-publish ‘wartawan’ badilag.net yang juga berkesempatan mengikuti Diklat tersebut. Sehingga, maaf, dalam “Catatan Harian Hakim PA Nunukan” ini boleh jadi ada hal-hal yang kurang atau bahkan tidak ada kaitannya sama sekali dengan kegiatan Diklat yang sedang berlangsung.
“Catatan Harian Hakim PA Nunukan”, yang sejatinya berisikan pengalaman-pengalaman sebelum, selama dan sesudah mengikuti kegiatan Diklat Ekonomi Syariah dengan segala pernak-pernik ‘cita-rasa’-nya itulah yang dicobalaporkan H. Mulyadi, Lc., M.H.I. dalam bentuk tulisan bersambung di website badilag.net.
Selamat menikmati “oleh-oleh” dari Riyadh, Arab Saudi!
Semoga bermanfaat!
(Renafasya - www.pa-nunukan.go.id)
“Hidup itu bagaikan air mengalir”. Atau “hidup itu laksana kapas beterbangan”. Mungkin itulah filosofi hidup yang tengah kujalani saat ini. Mengikuti ke mana saja arah perjalanan garis-tangan bernama “qadha” dan “qadr” yang telah ditentukan-Nya untukku. Membawaku menghabiskan sisa-sisa umur dan waktu yang diberikan-Nya kepadaku dalam mengarungi bahtera ‘permainan’ nasib yang sudah digariskan-Nya.
Bermula saat-saat aku masih kecil dan berada di bawah lindungan kedua ibu-bapak yang melahirkan, merawat dan membesarkanku dengan penuh kasih sayang. Itulah saat-saat aku masih bisa merasakan langsung sentuhan hangat kasih-sayang mereka berdua.
Ya, itulah saat-saat aku menghabiskan seluruh masa kanak-kanakku di kampung halaman tempat aku dilahirkan. Ya, itulah masa-masa aku masih bisa bermain dan bersenda gurau, bermanja-manja dengan kakak-kakakku. Ya, itulah saat-saat aku masih berseragam merah-putih di MIS-NU Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
Setelah itu, perjalanan nasibku menentukan lain. Hidupku, hampir seluruhnya kuhabiskan di perantauan, di luar kampung halaman tempat aku dilahirkan. Sejak itu aku terpaksa harus hidup berjauhan dari kedua orang tua yang dulu mengasuh dan merawatku. Aku terpaksa harus jauh dari sanak-saudara yang mengasihiku dan menyayangiku sebagai anak bungsu dari 12 orang bersaudara. Juga terpaksa aku harus menjauh dari sanak-famili dan teman-teman sepermainan.
Itu semua gara-gara masa-masa pendidikan menengahku, Tsanawiyah dan Aliyah, harus kujalani di Pondok Pesantren Al-Falah, Landasan Ulin, Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Bahkan setelah itu, bukannya aku semakin mendekati kampung halaman. Malahan aku harus pergi lebih jauh lagi, merantau ke luar negeri, ke negeri taklukannya ‘Amru bin ‘Ash.
Di sana aku diterima sebagai mahasiswa di Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, salah satu universitas tertua di dunia. Setelah berada di Mesir, mau tak mau, penguasaan bahasa Arabku semakin terasah karena sehari-hari aku menggunakannya sebagai bahasa pengantar di kampus dan pergaulan. Dan itu menjadi modal dasar aku bisa lulus assessment test untuk mengikuti Diklat Ekonomi Syariah Angkatan III di Al-Ma’had ‘Aly lil Qadla, UI-IMIS, Riyadh, Arab Saudi, ini.
Setelah lulus dan pulang ke Indoneseia dengan menyandang gelar Lc. (setingkat S.1) di belakang namaku, aku kemudian melanjutkan pendidikan S.2 di IAIN Antasari Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
PA Palangkaraya, Tempat Pertamaku Bertugas sebagai CPNS
Perjalanan hidupku rupanya tak cukup berhenti sampai di situ. Takdir kemudian menuntunku untuk bekerja di Pengadilan Agama (PA), lembaga peradilan yang tempat tugasnya mengharuskanku sering berpindah-pindah tempat tugas (mutasi).
Kuawali pekerjaanku dengan diterima sebagai CPNS di PA Palangkaraya. Setelah kurang lebih setahun di sana ternyata sistem pendidikan calon hakim (Cakim) yang baru mengharuskanku mutasi ke PA Bekasi untuk magang sebagai Cakim dan ke Balitbang Diklat Kumdil MA, Megamendung, Bogor, untuk mengikuti Diklat Cakim. Sejak itu bolak-balik Bekasi-Bogor Bogor-Bekasi pun harus kujalani selama kurang-lebih 2 tahun.
Setelah lulus pendidikan Cakim dan menerima SK Definitif sebagai Hakim, Oktober 2013 takdir kembali menuntunku merantau lagi ke luar PA Bekasi untuk bertugas sebagai Hakim pertama kalinya di “Bumi Penenkindi Debaya,” Kabupaten Nunukan. Sebuah daerah paling utara di provinsi baru Kalimantan Utara (Kaltara), yang berbatasan langsung dengan negeri jiran Malaysia. Hingga saat ini pun aku masih bertugas di PA Nunukan.
Sebagai PA baru, PA Nunukan sangat membutuhkan SDM pegawai baru, termasuk Hakim baru. Saat aku masuk bertugas di sini, usia PA Nunukan belum lagi genap 2 tahun. Di PA inilah aku ikut barisan teman-teman berjuang di bidang penegakan hukum di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia, membenahi segala sesuatunya dan memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat perbatasan yang sangat antusias dengan adanya pengadilan agama.
Dulunya untuk berperkara dan mendapatkan keadilan mereka harus menyeberang ke pulau Tarakan yang ditempuh dengan waktu 2-3 jam perjalanan laut dengan speed-boat, dengan biaya sekitar 1 juta rupiah pulang-pergi.
Seperti teman-teman yang lain, dengan bertugas di PA Nunukan inilah aku sempat “Semalam di Malaysia” untuk jalan-jalan di negeri jiran Malaysia. Karena untuk menuju ke Bandar Tawau, Negara Bagian Sabah, Malaysia, hanya butuh waktu 1 jam perjalanan laut dari pulau Nunukan.
Namun sekali lagi perjalanan hidupku yang “laksana air mengalir”, itu tak cukup hanya berhenti sampai di situ. Kini, di bulan Maret 2015, aku termasuk salah satu dari 40 Hakim yang dinyatakan lulus untuk mengikuti Diklat Ekonomi Syariah di Riyadh, Arab Saudi.
Sebelumnya, pada tahun 2008 aku memang pernah pergi ke Arab Saudi untuk menunaikan rukun Islam kelima. Saat itu aku masih tercatat sebagai mahasiswa di Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir. Tapi saat itu kisaran perjalananku hanya seputaran Makkah, Madinah dan Jeddah.
Saat Jadi Mahasiswa di Al-Azhar University, Kairo, Mesir
Pada saat itulah aku berdoa di hadapan Ka’bah, “Ya Allah semoga aku akan selalu mengunjungi Baitullah ‘rumah-Mu’, tidak hanya sekali ini saja!”
Rupanya Allah mengabulkan doa yang kupanjatkan saat itu. Melalui Diklat Ekonomi Syariah di Riyadh, Arab Saudi, yang aku ikuti saat ini, dapat kembali mengantarkanku berkunjung ke Baitullah, Makkah Al-Mukarramah. Karena di akhir masa kegiatan Diklat nanti, seluruh peserta akan diberikan bonus menunaikan ibadah Umrah di tanah suci.
Alhamdulillah, hanya sujud syukur yang bisa kulakukan untuk mensyukuri segala nikmat yang telah Allah berikan untukku dalam hidup yang singkat ini!
(Bersambung)