Ilmu Teknologi atawa Information Technology?
Oleh: Mohammad Noor
Dalam sebuah pelatihan SIADPA/SIADPTA Plus yang antara lain mendiskusikan problematika penerapan SIADPA Plus di masing-masing satker Pengadilan Agama, penulis berkesempatan mendapatkan keterangan yang cukup mendalam bagaimana agar SIADPA Plus dapat diimplementasikan dengan baik. Di sela-sela acara rehat untuk makan siang dan shalat zhuhur, seorang peserta yang sudah cukup berhasil mengembangkan SIADPA Plus di satkernya bercerita tentang rahasia suksesnya.
“Pimpinan kami memainkan peranan yang sangat besar dalam keberhasilan pelaksanaan implementasi SIADPA Plus di satker kami,” ujarnya memulai.
“Apakah pimpinan Saudara adalah seseorang yang mahir mengoperasikan SIADPA?” tukas saya.
“Tidak, beliau tidak mahir, hanya pernah mengikuti penjelasan-penjelasan dari berbagai pihak tentang SIADPA Plus.”
“Apa yang Saudara maksud dengan memainkan peranan besar dalam implementasi SIADPA Plus? Dapatkah saudara gambarkan peranan-peranan yang saudara maksud tersebut?”
“Pertama,” ia menjelaskan, “beliau ingin agar implementasi SIADPA Plus dan program-program IT lainnya terakomodasi dalam rencana strategis (renstra) satker. Beliau menyetujui ketika diusulkan agar salah satu missi pengadilan agama adalah mengoptimalkan peranan teknologi informasi dalam penyelenggaraan administrasi keperkaraan dan administrasi umum.”
“Wah, kenapa harus dimasukkan dalam posisi yang demikian penting di renstra?” tanya seorang kawan.
“Meskipun beliau hanya menyetujui dimasukkannya program-program IT dalam missi satker, menurut beliau hal tersebut memang seharusnya demikian. Menurut beliau, IT itu merupakan elemen yang strategis dan mendasar bagi pengadilan, karena itu kebijakannya harus diletakkan pada posisi yang strategis agar jabaran kebijakan dan program dibawahnya mengacu kepada kebijakan tersebut dan dalam pelaksanaannya dapat menjangkau sebanyak-banyaknya aparatur pengadilan. Atau paling tidak, dalam program pengadilan itu tampak jelas program-program yang menyentuh masalah IT, dari perencanaan sampai evaluasi.”
Mendengar penjelasannya saya terkagum-kagum, karena pimpinannya sudah berfikir sampai sejauh itu. Pimpinannya mampu memformulasikan gagasan penerapan IT sampai pada tataran renstra. “Luar biasa...!!!” Guman saya dalam hati.
“Apalagi yang dilakukan oleh pimpinan saudara setelah memasukkan rencana implementasi IT dalam renstra satker?” tanya saya lagi.
“Hhmmm, beliau selalu menyinggung tentang penerapan IT dalam berbagai kesempatan. Beliau mendorong semua kami untuk peduli dan mau belajar IT, minimal mengoperasikan SIADPA Plus. Beliau sampaikan dalam rapat-rapat rutin, bahkan beliau secara khusus mengadakan pertemuan membahas program-program IT. Dalam kesempatan pembinaan mental pun beliau selalu menyinggung tentang IT. Terkadang kalau beliau sesekali turun menemui kami di ruangan kerja, beliau juga menyempatkan untuk menanyakan masalah IT.”
“Apa maksud beliau banyak menyinggung masalah IT dalam berbagai kesempatan?” tanya seorang kawan yang lain sedikit penasaran.
“Pernah beliau cerita, katanya supaya kebijakan tentang IT yang sudah beliau setujui masuk renstra itu benar-benar sampai kepada semua orang di kantor.”.
“Ooo, giat sekali beliau,” puji saya.
Saya segera mengalihkan pembicaraan karena ingin mengetahui lebih jauh tentang strategi pimpinan mengimplementasikan IT di satker yang dipimpinnya.
“Ceritain lagi dong, strategi apa lagi yang dipakai beliau,” saya makin penasaran.
“Ya, paling jabaran pelaksanaan, seperti membangun tim IT yang mencerminkan keseluruhan bagian dari kerja pengadilan. Beliau memasukkan unsur hakim, unsur panitera pengganti, unsur jurusita, keuangan, dan umum dalam struktur pengelola IT.”
Menurut pimpinannya, pelibatan berbagai pihak dalam struktur pengelola IT tersebut dimaksudkan untuk mempermudah komunikasi ke semua jajaran. SIADPA Plus misalnya, ada yang merupakan kerja-kerja hakim, kerja-kerja panitera pengganti, kerja-kerja jurusita, dan kerja meja-meja. Bagian keuangan dan umum juga dilibatkan agar dalam perencanaan kerja dapat dengan mudah dipikirkan pendanaannya. Kalau ada jack connector yang rusak, misalnya, segera diputuskan dalam tim bagaimana menyelesaikannya. Atau untuk pengadaan komputer tambahan, bagian keuangan sudah bisa memperkirakan program tersebut mulai dari penyusunan RKAKL.
“Jadi terintegrasi sedemikan rupa lah,” ia menyimpulkan.
Seorang kawan kembali bertanya, “Masih ada lagi strategi yang beliau pergunakan?”
“Masih banyak, termasuk program-programnya. Seperti meluncurkan program Sukses SIADPA Plus, pelatihan-pelatihan melalui peer group training, verifikasi rutin hasil-hasil kerja SIADPA Plus, monitoring dan evaluasi jaringan, pengiriman anggota tim untuk pelatihan, dan membangun kerjasama dengan pihak-pihak terkait untuk peningkatan mutu SIADPA Plus.”
“Di tempat kami,” ia melanjutkan, “pintu terakhir pengecekan SIADPA adalah di Panmud Hukum. Sebelum berkas perkara dimasukkan di dalam box arsip, Panmud Hukum mengecek terlebih dahulu apakah perkara tersebut didalam SIADPA sudah lengkap datanya atau belum. Jika belum, maka staf Panmud Hukum akan melengkapinya, sehingga tergambar di dalam SIADPA Register sebagaimana dalam Buku Register manual. Data SIADPA Register untuk perkara tersebut selanjutnya diprint dengan versi pdf untuk penyimpanan. Sehingga secara tidak langsung kami memiliki dua register, yang manual dan digital.”
“Luar biasa.... !!!” seorang kawan memuji, “Sudah sangat maju pemikiran untuk mengimplementasikan SIADPA di tempat Saudara.”
“Tapi ngomong-ngomong, sebagai tim SIADPA Plus, apakah saudara diberikan insentif dari kantor?” tanya seorang kawan yang lain.
“Alhamdulillah, ada diberikan walaupun jumlahnya kecil. Tapi sudah lebih dari cukup untuk bukti perhatian,” ujarnya sambil tersenyum. “Yang terbaru, dari kebijakan beliau adalah memasukkan pekerjaan SIADPA Plus dalam job description aparatur pengadilan. Misalnya dalam tugas-tugas jurusita sekalian beliau masukkan penyelesaian kerja-kerja SIADPA Plus yang terkait dengan kejurusitaan.”
“Sempurna...!!!” kata saya sambil mengacungkan dua jempol kepadanya.
“Terima kasih, Mas,” ujarnya, penuh low profile.
***
Cerita sukses penerapan SIADPA oleh peserta pelatihan tersebut mungkin merupakan salah satu dari contoh-contoh terbaik (best practice) bagaimana SIADPA Plus sebagai program otomatisasi Bindalmin dikelola dan dibudayakan dalam kerja-kerja nyata di Pengadilan Agama. Saya bermimpi memperoleh cerita-cerita sukses lainnya dari satker-satker yang sudah mapan dalam penerapan SIADPA/SIADPTA Plus.
Paling tidak, dengan gambaran yang utuh sebagaimana diceritakan diatas dengan jelas terlihat bagaimana semua hal dilakukan secara terencana maupun siapa mengerjakan apa.
Dengan contoh-contoh terbaik yang ada, sedikit banyak akan tergambar pola umum yang menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan penerapan SIADPA Plus. Karena sejauh ini, sebagaimana terungkap dari pernyataan Pak Dirjen, semua satker Pengadilan Agama telah terinstalasi aplikasi SIADPA Plus, tetapi perkembangan masing-masing satker tidak sama, disebabkan berbagai faktor. Dan faktor yang paling penting, menurut Pak Dirjen, adalah perhatian dan komitmen pimpinan.
Saya berasumsi makna dari perhatian dan komitmen pimpinan sebagaimana sering didengung-dengungkan oleh Pak Dirjen di berbagai kesempatan akan tercermin dalam rangkaian kebijakan nyata dalam mengimplementasikan SIADPA Plus sebagaimana cerita sukses diatas. Mudah-mudah asumsi saya ini tidak terlalu keliru.
Kebijakan nyata dimaksud setidak-tidaknya meliputi penempatan kebijakan IT dalam posisi yang strategis, usaha yang terus menerus dan simultan untuk mengkomunikasikan program IT kepada semua pemangku kepentingan (stakeholders), pengembangan tim pengelola yang merefleksikan fungsi-fungsi pengadilan, pengembangan kapasitas (capacity building) dari semua aparatur terkait, monitoring dan evaluasi yang berkesinambungan, pengembangan kerjasama dengan pihak-pihak terkait, dan pengembangan reward and punishment.
Ukuran-ukuran di atas kelihatannya berbanding lurus dengan tips Pak Dirjen tentang pengembangan komitmen bawahan. Menurut Pak Dirjen dalam sebuah berita yang dilansir badilag.net, 15 Oktober 2011, setidaknya ada 6 (enam) tips untuk membangun komitmen, yakni: (1) peran dan keteladanan pimpinan; (2) peran serta seluruh aparat; (3) Konsisten dan kreatifitas; (4) Keterlibatan stakeholders; (5) Pemanfaatan sumber daya; dan (6) Pemberian reward dan punishment. Ini berarti perhatian dan komitmen dari pimpinan akan berimbas dan terbias menjadi pengembangan komitmen bagi bawahan.
Ukuran-ukuran tentang perhatian dan komitmen ini tentunya masih terbatas pada pemikiran saya. Mudah-mudahan ada pengembangan yang lebih sistematis dan terperinci agar ukuran perhatian dan komitmen tersebut dapat lebih jelas dan terukur.
***
Cerita sukses tentang penerapan SIADPA oleh sebuah satker tersebut “menggelitik” saya untuk mencari tahu cerita sebaliknya, yakni mengapa sebuah satker gagal mencapai tingkatan yang optimal dalam penerapan SIADPA.
Eh, tidak dinyana tidak diduga, mendengar cerita sukses tersebut, seorang peserta yang lain justeru mengeluh, karena satkernya belum mampu mencapai kesuksesan sebagaimana cerita di atas.
“Kalau di tempat saya, keadaannya terbalik seratus delapan puluh derajat,” ungkapnya.
“Kok bisa? Masalahnya bagaimana?” seorang kawan yang lain mencoba mempertanyakan.
“Sejak saya mulai ditempatkan di satker tersebut hingga satu setengah tahun lamanya, belum ada tim yang secara khusus mengelola SIADPA, terutama untuk mendorong supaya karyawan yang lain mau menerapkan SIADPA. Padahal server dan jaringan SIADPA sudah terpasang.”
“Kenapa bisa begitu? Bukankah setiap satker telah lama mempunyai tim SIADPA?”
“Entahlah, mungkin belum ada instruksi dari PTA, karena seingat saya SK pengelola SIADPA itu ada setelah Badilag menurunkan surat melalui PTA untuk mensosialisasikan SIADPA/SIADPTA Plus. Itupun dibentuk tanpa melalui proses musyawarah sebelumnya. Tiba-tiba sudah jadi. Dan kami dibagikan SK-nya.”
“Jadi, SK itu ada hanya setelah PTA memerintahkan untuk membuat Tim SIADPA Plus?” saya ikut nimbrung bertanya.
“Setahu saya begitu.”
“Apakah tim SIADPA Plus di tempat saudara pernah mengadakan pertemuan untuk membahas masalah-masalah SIADPA?” tanya saya lagi.
“Sampai hari ini sudah hampir satu tahun belum ada pertemuan.”
“Lalu bagaimana saudara menjalankan sosialisasi SIADPA Plus di tempat saudara?” kata saya, setengah menginterogasi.
“Ya, kan beberapa orang sudah pernah mengikuti pelatihan SIADPA di PTA. Pengetahuan mereka itulah yang kita kembangkan satu persatu. Mereka kita dorong secara pribadi untuk mau menerapkan SIADPA. Jika ada masalah kita bantu memberikan solusi.”
“Pernahkah ada pelatihan di tempat kerja?” sergah kawan yang lain.
“Pernah, itu pun tidak tuntas, karena waktunya tidak cukup.”
Saya pun penasaran, “Kenapa tidak ada pelatihan-pelatihan lain untuk menuntaskannya?”
“Kalau tidak ada izin pimpinan tidak mungkin jalan. Saya sebenarnya iri mengikuti berita-berita pelatihan SIADPA Plus di beberapa satker. Bahkan sampai ada yang menyelenggarakan berkali-kali, sampai-sampai dilaksanakan pada hari libur.”
“Apakah pimpinan saudara mendukung penerapan program SIADPA Plus di tempat saudara?” kawan yang lain bertanya.
“Secara lisan mendukung, tetapi dukungan kebijakannya belum terlihat.”
“Apakah pimpinan saudara sudah mengerti IT?” tanya saya.
“Kan pimpinan tidak harus mengerti,” ujarnya setengah tersenyum, “Yang penting punya komitmen dan perhatian. Beliau kan sudah sering mendapatkan pengarahan dari PTA. Masa tidak mengetahui arah kebijakan tersebut? Tapi saya juga tidak tahu persis, dalam sebuah surat resmi yang dikeluarkan saya baca IT diterjemahkan dengan Ilmu Teknologi, bukan Information Technology.”
“Hahahahaha.......!!!!” Mendengar jawaban yang terakhir sontak semua tertawa terbahak-bahak.
“Ah kayak Kepolisian aja, yang pernah mengartikan ICW dengan International Corruption World, bukan Indonesian Corruption Watch,” guman saya dalam hati.
***
Mendengar cerita yang terakhir ini, saya berdo’a semoga apa yang diceritakan kawan tersebut tidak semuanya benar. Atau setidaknya kawan itu telah menggunakan gaya bahasa hiperbola untuk menjelaskan keadaannya, padahal realitas di lapangan tidak sepenuhnya demikian.
Banyak hal yang melatarbelakangi kenapa saya harus berfikir demikian. Salah satunya adalah kenyataan sosialisasi tentang SIADPA tersebut sudah berlangsung lama dan saya yakin bukan merupakan barang baru. Mungkin kita sepakat, semestinya SIADPA sudah integrated dalam cara berfikir dan bertindak aparatur Pengadilan Agama.
Sebutlah beberapa langkah yang telah ditempuh di antaranya melalui pendidikan cakim. SIADPA telah menjadi salah satu mata ajarnya. Dalam kegiatan orientasi calon wakil ketua Pengadilan Agama, materi tersebut juga diberikan. Bahkan dalam kegiatan fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan) untuk calon Ketua Pengadilan Agama Kelas I A tertentu juga dijadikan sebagai salah satu mata uji. Dan tidak tanggung-tanggung pengujinya langsung Pak Dirjen.
Belum lagi kegiatan-kegiatan lainnya yang sering diadakan baik di tingkat PTA maupun Ditjen Badilag Mahkamah Agung. Dengan demikian tidak ada alasan untuk tidak menerapkan SIADPA secara optimal. Bahkan, sebagaimana yang akhir-akhir ini dibanggakan Pak Dirjen, berbagai komunitas dan forum di dunia maya untuk mendiskusikan masalah-masalah SIADPA sudah terbentuk.
Rasa-rasanya tidak ada alasan yang terlalu signifikan untuk tidak berkomitmen terhadap implementasi SIADPA. Jika masih ada yang masih belum berkomitmen untuk menerapkan SIADPA, patut dipertanyakan apakah mereka anggota keluarga besar Pengadilan Agama atau hanya “penumpang gelap” yang mendompleng di Pengadilan Agama. Beribu maaf jika pernyataan ini mungkin terlalu keras.
Upaya untuk memodernisasi lembaga peradilan Indonesia dengan memasukkan unsur IT dalam tata kelola peradilan sudah dicetuskan beberapa tahun yang lalu. Oleh karena itu persoalan remeh-temeh semacam kepanjangan IT pun semestinya tidak menjadi kebingungan yang membelenggu.
Saya sekali lagi juga berdo’a semoga penerjemahan yang keliru itu benar-benar hanya “tergelincir lidah” (slip of the tounge) yang tanpa disengaja kemudian tertuang dalam surat resmi. Pun juga saya tidak berpretensi untuk menyatakan bahwa itu juga bukan sebuah refleksi dari kesalahan berpikir tentang “budaya IT” di Pengadilan Agama.
Akan sangat sulit dibayangkan jika kesalahan itu adalah benaar-benar sebuah kesalahan berfikir. Bila memang benar adanya, bagaimana kemudian seorang pimpinan dapat mensistematisasi dalam benaknya langkah dan strategi untuk membudayakan IT?
Mungkin jadinya akan sama dengan apa yang dikatakan oleh orang Minangkabau:
Indak mungkin si bisu ka banyanyi,
Mustahil si lumpuah ka manari,
Ba’a rang buto ka mambimbiang,
Artinya:
Tidak mungkin orang yang bisu akan bernyanyi
Mustahil orang yang lumpuh akan menari,
Bagaimana orang yang buta akan menuntun (orang lain)
Nun jauh di dalam hati kecil saya yang paling dalam, husnuzzhan saya mengatakan pasti “cerita galau” itu tidak benar atau tidak sepenuhnya benar. Hemmm…. Bagaimana menurut Anda?
Penulis adalah Hakim Pengadilan Agama Painan, Sumatera Barat