HITAM DAN PUTIH
Oleh: Ahmad Fathoni
Kita mengetahui banyak warna yang terlihat di sekeliling kita, ada yang hitam, putih,merah, biru, kuning dan hijau serta campuran antara warna-warna dasar tersebut sehingga menjadi pink, kelabu, violet dan lainnya. Tetapi banyak di antara kita yang tidak memperdulikan makna dari setiap warna tersebut, tergantung tempat, waktu dan suasana warna tersebut digunakan.
Ketika hari valentine digambarkan dengan warna pink yang cerah, kelompok yang berduka dengan warna hitam atau putih, yang menunjukkan “keberanian” dengan warna merah atau lampu merah tandanya berhentinya kendaraan, kuning bersiap untuk berhenti atau berjalan dan warna hijau mengharuskan kendaraan untuk berjalan.
Karena pentingnya makna warna tersebut, sebuah stasiun televisi yang dipandu oleh Dedy Corbudzer memberi acara yang dipandunya dengan warna hitam dan putih. Ketika Penulis belajar kembali tentang ushul fiqh asuhan Prof. A. Djazuli di program pasca sarjana UIN Bandung 2006-2011, Penulis disuruh membahas tentang kaidah ushul:
الظاهر يدل على البا طن
“penampakan yang terlihat (lahir) menunjukkan penampakan yang di dalam (batin)”
Nampaknya kaidah ini sepintas mudah dicerna tetapi sesungguhnya sarat makna yang harus digali sesuai dengan tempat, waktu dan terhadap obyek yang berbeda.
Pada tahun 1970 an, Penulis masih duduk di SMAN 12 Jakarta (hampir saja tidak melanjutkan karena tidak mampu membayar SPP yang hanya Rp. 2.000,-) mengajarkan membaca al-qur’an bagi anak-anak di mesjid al-Wasthiyah (dimaksudkan agar para jama’ah dan masyarakat sekitar memiliki sikap moderat dan tawasuth dalam segala hal) kampong Jati Pulogadung. Dalam kegiatan belajar mengajar tersebut, ketika menjelang adzan shalat dzuhur, ashar, maghrib bahkan subuh, ada seorang jamaah yang dipanggil dengan sebutan bang Samin (mungkin karena lahir kulitnya hitam dan licin seperti minyak maka diberi nama Samin). Laki-laki tengah umur ini tinggal sekitar 200 m dari mesjid al-wasthiyah ini, tinggalnya tidak layak disebut rumah karena terdiri dari bilik bambu di lingkungan pohon bamboo kepunyaan orang kaya H. Mahmud namanya. Dia selalu bersiap untuk mengikuti jamaah shalat terlebih dahulu mengisi bak kolam untuk air wudlu dengan cara mengerek ember dari sumur dan memompa air dengan tangannya yang berotot. Setelah terisi penuh, ia mandi, berwudlu lalu ke mesjid untuk ikut berjamaah. Begitu seterusnya, sampai Penulis pergi dari lingkungan tersebut merantau ke Kota Ketapang sebagai Cakim tahun 1984.
Orangnya lugu, tidak mau tahu urusan orang lain, yang ia jalani meski rumahnya hanya gubuk bamboo dan tanahnya di atas lahan orang lain, dia bisa menghidupi keluarganya dengan cara apa adanya (qana’ah), dengan berjualan pisang di pasar, kuli panggul atau apa saja yang disuruh orang lain. Dari segi penghasilan, mestinya dia serba kekurangan, tetapi ototnya masih tetap kekar, bak air wudlu mesjid al-wasthiyah tidak pernah kering (karena setiap waktu shalat dia berusaha datang sebelum saatnya), dia ikhlas menerima yang didapatnya setiap hari, dia tidak pernah terdengar mengeluh, yang Penulis lihat selalu riang dan murah senyum bak syair dari Maluku: “Sinyo hitam giginya putih, kalau tertawa manis sekali”.
Dalil hukum “al-Dhahir yadullu ‘ala al-Bathin” terhadap kepribadian bang Samin ini, kiranya tidak bisa diterapkan begitu saja tanpa menafsirkan dengan keberadaan yang sesungguhnya, karena meski kulitnya hitam legam (seperti hitamnya Bilal bin Rabah, RA), dia memiliki hati yang suci bersih dengan giginya yang putih (meski dengan sabut kelapa dan tumbukan genteng, karena sikat gigi dan deodorant belum ada) dan selalu ikut shalat berjamaan dan menyediakan air wudlu.
Ketika Penulis bertugas di Pengadilan Agama Ketapang Kalimantan Barat sejak tahun 1984 sampai tahun 1992, ada salah seorang hakim honorer (waktu itu masih dimungkinkan, karena belum banyaknya hakim yang diangkat), namanya KH. Musthafa, orangnya kecil, kurus, murah senyum tetapi berkulit putih dan tentunya giginya juga putih dengan sorban putih terkadang sorban hijau yang selalu terhinggap di pundaknya.
Tinggalnya di kota, padat penduduk tetapi milik sendiri tidak menumpang seperti halnya bang Samin ini. Ia sering ceramah (karena memang pekerjaannya). Apabila ceramah, ia selalu memulai dengan menyebut asmaul husna secara runtut. Hal mana kemudian tahun 1990 an Prof. KH. Anwar Musaddad salah seorang Mustasyar NU mengingatkan kepada para sarjana, bahwa “tidaklah disebut sebenar-benarnya sarjana apabila tidak dapat hafal atau setidak- tidaknya menerapkan makna asmaul husna secara benar”.
Dengan sikap yang tawadhu’, murah senyum, rajin ibadah dan mengajarkan ilmunya serta menerapkan hukum melalui putusannya di Pengadilan Agama, maka KH. Musthafa ini layak dan bersesuaian dengan kaidah ushul di atas: “al-Dhahir yadullu ‘ala al-Bathin”= penampakan yang terlihat (lahir) menunjukkan penampakan yang di dalam (batin)” Bagi seorang hakim dalam memeriksa dan memutus perkara yang diajukan kepadanya haruslah menerapkan (tathbiq) hukum sesuai dengan fakta dalam persidangan dan dengan dasar ilmu yang dimilikinya untuk menganalisis perkara, sehingga diharapkan seorang hakim tidak berlaku unprofessional conduct, karena tidak cakap ilmunya dan tidak termasuk yang digambarkan oleh Rasul dalam hadisnya dua hakim masuk neraka, karena memutus perkara karena tidak cakap ilmunya dan karena cakap ilmunya tetapi tidak menerapkannya dan berharap menjadi hakim yang masuk surga, karena cakap ilmu dan menerapkan ilmunya dalam memutus perkaranya.
Dari apa yang Penulis paparkan di atas, hendaknya kita berusaha menghafal asmaul husna dengan menerapkan dalam kehidupan dan pekerjaan kita sehari-hari, dan apabila kita berada dalam posisi yang hitam maupun putih tetapi kita tetap berusaha menjadi orang yang putih, baik perbuatan lahir mapun perbuatan hati (batin). Allahumma Sahhil umurona wa Sallim fi amrina waj’alna min al-shalihin. Amin.
Serang, 04 April 2013 M/23 Jumadil Awal 1434 H
ahmad fathoni hakim tinggi pta Banten