logo web

Dipublikasikan oleh Iwan Kartiwan pada on . Dilihat: 5416

HITAM DAN PUTIH

Oleh: Ahmad Fathoni

Kita  mengetahui banyak warna  yang  terlihat  di sekeliling  kita,  ada yang hitam,  putih,merah, biru, kuning dan hijau serta campuran  antara  warna-warna  dasar  tersebut sehingga menjadi pink, kelabu, violet dan lainnya. Tetapi banyak di antara kita yang tidak memperdulikan makna  dari  setiap  warna  tersebut,  tergantung  tempat,  waktu  dan  suasana  warna  tersebut digunakan.

Ketika  hari  valentine  digambarkan  dengan  warna  pink  yang  cerah,  kelompok  yang berduka  dengan  warna  hitam  atau  putih,  yang  menunjukkan  “keberanian”  dengan  warna merah atau lampu merah tandanya berhentinya kendaraan, kuning bersiap untuk berhenti atau berjalan dan warna hijau mengharuskan kendaraan untuk berjalan.

Karena  pentingnya  makna  warna  tersebut,  sebuah  stasiun  televisi  yang  dipandu  oleh Dedy Corbudzer memberi acara yang dipandunya dengan warna hitam dan putih. Ketika Penulis belajar kembali tentang ushul fiqh asuhan Prof. A. Djazuli di program pasca sarjana UIN Bandung 2006-2011, Penulis disuruh membahas tentang kaidah ushul:

الظاهر يدل على البا طن

“penampakan yang terlihat (lahir) menunjukkan penampakan yang di dalam (batin)”

Nampaknya  kaidah  ini sepintas  mudah  dicerna tetapi sesungguhnya  sarat makna  yang harus digali sesuai dengan tempat, waktu dan terhadap obyek yang berbeda.

Pada  tahun  1970  an,  Penulis  masih  duduk  di  SMAN  12  Jakarta  (hampir saja tidak melanjutkan karena tidak mampu membayar SPP yang hanya Rp. 2.000,-)  mengajarkan membaca  al-qur’an  bagi anak-anak di  mesjid  al-Wasthiyah (dimaksudkan agar para jama’ah dan masyarakat sekitar memiliki sikap moderat dan tawasuth dalam segala hal) kampong Jati  Pulogadung.  Dalam  kegiatan  belajar  mengajar  tersebut,  ketika  menjelang  adzan shalat dzuhur,  ashar, maghrib bahkan  subuh,  ada  seorang  jamaah  yang dipanggil dengan  sebutan bang Samin  (mungkin  karena lahir  kulitnya  hitam dan  licin  seperti minyak maka diberi nama Samin).  Laki-laki tengah umur  ini tinggal  sekitar  200 m dari mesjid  al-wasthiyah  ini, tinggalnya tidak  layak  disebut  rumah  karena  terdiri  dari  bilik  bambu  di  lingkungan  pohon  bamboo kepunyaan orang kaya H. Mahmud namanya. Dia selalu bersiap untuk mengikuti jamaah shalat terlebih dahulu mengisi bak kolam  untuk air wudlu dengan cara mengerek ember dari sumur dan memompa air  dengan tangannya yang  berotot.  Setelah terisi penuh, ia  mandi, berwudlu lalu  ke mesjid  untuk  ikut berjamaah.  Begitu seterusnya, sampai Penulis  pergi dari lingkungan tersebut merantau ke Kota Ketapang sebagai Cakim tahun 1984.

Orangnya  lugu,  tidak mau  tahu urusan  orang  lain,  yang ia  jalani meski rumahnya hanya gubuk bamboo dan tanahnya di atas lahan orang lain, dia bisa menghidupi keluarganya dengan cara apa adanya  (qana’ah), dengan berjualan pisang  di pasar, kuli panggul atau  apa  saja yang disuruh orang lain. Dari segi penghasilan, mestinya  dia serba kekurangan, tetapi ototnya masih tetap kekar, bak air wudlu mesjid  al-wasthiyah tidak pernah kering (karena setiap waktu shalat dia  berusaha datang sebelum saatnya),  dia ikhlas  menerima  yang didapatnya setiap hari, dia tidak pernah terdengar mengeluh,  yang  Penulis lihat selalu riang dan murah senyum bak syair dari Maluku: “Sinyo hitam giginya putih, kalau tertawa manis sekali”.

Dalil  hukum  “al-Dhahir yadullu ‘ala al-Bathin”  terhadap  kepribadian  bang  Samin  ini, kiranya  tidak  bisa  diterapkan  begitu  saja  tanpa  menafsirkan  dengan  keberadaan  yang sesungguhnya, karena  meski kulitnya  hitam legam (seperti hitamnya Bilal bin  Rabah,  RA),  dia memiliki  hati  yang  suci  bersih  dengan  giginya  yang  putih  (meski  dengan  sabut  kelapa  dan tumbukan  genteng,  karena  sikat  gigi  dan  deodorant  belum  ada)  dan  selalu  ikut  shalat berjamaan dan menyediakan air wudlu.

Ketika Penulis bertugas di Pengadilan Agama Ketapang Kalimantan Barat sejak tahun 1984 sampai tahun 1992,  ada salah  seorang hakim honorer (waktu itu  masih dimungkinkan, karena belum banyaknya hakim yang diangkat),  namanya KH. Musthafa, orangnya kecil, kurus, murah senyum  tetapi berkulit putih dan  tentunya giginya juga putih dengan sorban putih  terkadang sorban hijau yang selalu terhinggap di pundaknya.

Tinggalnya di kota, padat penduduk  tetapi milik sendiri tidak menumpang seperti halnya bang Samin ini. Ia sering ceramah (karena memang pekerjaannya).  Apabila  ceramah, ia selalu  memulai dengan  menyebut asmaul husna  secara  runtut. Hal mana  kemudian  tahun 1990 an Prof. KH. Anwar Musaddad salah seorang  Mustasyar  NU mengingatkan kepada  para  sarjana, bahwa  “tidaklah  disebut  sebenar-benarnya  sarjana  apabila  tidak  dapat  hafal  atau  setidak- tidaknya menerapkan makna asmaul husna secara benar”.

Dengan sikap yang tawadhu’, murah senyum, rajin ibadah dan mengajarkan ilmunya serta menerapkan hukum melalui putusannya di Pengadilan Agama, maka KH. Musthafa ini layak dan bersesuaian  dengan  kaidah  ushul  di  atas:  “al-Dhahir yadullu ‘ala al-Bathin”= penampakan yang terlihat (lahir) menunjukkan penampakan yang di dalam (batin)” Bagi seorang hakim dalam memeriksa  dan memutus  perkara yang  diajukan kepadanya haruslah  menerapkan (tathbiq)  hukum  sesuai dengan  fakta  dalam  persidangan  dan  dengan dasar  ilmu yang dimilikinya  untuk menganalisis perkara, sehingga diharapkan  seorang hakim tidak  berlaku  unprofessional conduct, karena  tidak cakap  ilmunya  dan  tidak  termasuk yang digambarkan oleh Rasul  dalam  hadisnya dua hakim masuk neraka, karena memutus  perkara karena  tidak  cakap  ilmunya  dan  karena  cakap  ilmunya  tetapi  tidak  menerapkannya  dan berharap menjadi hakim yang masuk surga, karena cakap ilmu dan menerapkan ilmunya dalam memutus perkaranya.

Dari apa yang Penulis paparkan di atas, hendaknya kita berusaha menghafal asmaul husna dengan menerapkan dalam kehidupan dan pekerjaan kita sehari-hari, dan apabila kita  berada dalam posisi yang hitam maupun putih tetapi kita tetap  berusaha menjadi orang  yang putih, baik perbuatan  lahir  mapun perbuatan hati (batin).  Allahumma Sahhil umurona wa Sallim fi amrina waj’alna min al-shalihin. Amin.

Serang, 04 April 2013 M/23 Jumadil Awal 1434 H

ahmad fathoni hakim tinggi pta Banten

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice