logo web

Dipublikasikan oleh Iwan Kartiwan pada on . Dilihat: 8484

Hakim [Masih] Wakil Tuhan?

Oleh: Ahmad Z. Anam

(Hakim Pratama Muda PA Mentok)

Wajah korps hakim kembali tercoreng. 10 Juli 2015 kemarin, KPK menangkap tiga hakim dan seorang panitera Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan. Keempat pejabat peradilan tersebut dicokok KPK dalam sebuah operasi tangkap tangan (OTT). Inilah “parcel pahit” dunia peradilan, jelang perayaan Idul Fitri 1436 H.

Tiga hakim yang tertangkap dalam operasi tersebut adalah Tripeni Irianto Putro (Ketua PTUN Medan), Amir Fauzi (Hakim Anggota), Dermawan Ginting (Hakim Anggota), serta seorang panitera, Syamsir Yusfan. Turut digelandang pula dalam operasi tersebut seorang pengacara dari kantor advokat ternama, O.C. Kaligis & Associates, M Yagari Bhastara Guntur alias Gerry.

Belakangan diketahui, KPK menetapkan status tersangka kepada nama-nama tersebut atas dugaan suap terkait pengurusan perkara dana Bansos di PTUN Medan, yang diajukan oleh Achmad Fuad Lubis, Kabiro Keuangan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara.

Hingga saat ini, kasus tersebut masih dalam penyidikan KPK. Buntut panjangnya, O.C. Kaligis dan Gubernur Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho pun telah ditetapkan sebagai tersangka.

Meski belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (incraht) atas kasus penyuapan hakim PTUN tersebut, namun setidaknya kasus ini telah menodai wibawa peradilan Tanah Air, khususnya korps hakim. Konsekuensinya, Visi Mahkamah Agung untuk mewujudkan peradilan Indonesia yang agung, tampaknya harus ditunda terlebih dahulu.

Hakim, Masih Wakil Tuhan?

Katanya, hakim adalah wakil Tuhan. Setiap putusan hakim wajib mencantumkan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 2 Ayat 1 UU No. 48 tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman). Tanpa irah-irah tersebut, putusan hakim tak punya nilai apa-apa: non-executable.

Artinya, hakim dalam mengemban amanatnya, tidak sekedar bertanggungjawab pada hukum, pada dirinya sendiri, atau pada pencari keadilan, tetapi juga mutlak harus bertanggungjawab kepada Tuhan. Sang pencipta dan pemilik hukum. Hakim hakikatnya hanyalah kepanjang-tanganan Tuhan, untuk menetapkan sebuah hukum.

Hakim adalah profesi yang mulia (officium nobile). Di sisi lain, hakim adalah profesi yang sangat beresiko. Saking mulianya, hanya hakim yang berhak mendapat gelar “Yang Mulia”. Tidak ada pejabat lain yang berhak, bahkan presiden sekalipun. Dan saking beresikonya, Nabi Muhammad Saw. menegaskan ada tiga tipikal hakim. Dari ketiganya, dua masuk neraka, dan hanya satu yang masuk surga. Hakim yang masuk surga adalah hakim yang mengetahui kebenaran, serta memutus dengan kebenaran. Sedangkan dua tipe hakim tersisa, yaitu hakim yang mengetahui kebenaran, namun tidak memutus dengan kebenaran dan hakim yang tidak mengetahui kebenaran dan memutus dengan ketidak-benaran itu, maka nerakalah yang siap melahap mereka.

Hakim adalah kawal terakhir penegakan hukum. Sejak disumpah, diubun-ubunnya telah dipatrikan tulisan secara tegas: fiat justicia ruat coelum (keadilan harus tetap ditegakkan, walau langit runtuh). Ini kodrat hakim.

Memang, sejatinya hakim adalah profesi mulia. Namun fenomena suap di PTUN Medan seolah-olah menggugat status itu: apakah hakim masih pantas disebut wakil Tuhan? Atau jangan-jangan lebih tepat disebut wakil setan? Bukankah hakim saat ini justeru berperan sebagai perusak hukum (rule breaker)?

Tidak. Opini tidak boleh digiring serampangan seperti itu. Perbuatan oknum tertentu tidak boleh diidentikkan dengan organisasi induk. Tidak boleh ada gebyah uyah. Setiap kelompok masyarakat, suku, instansi, atau korps apapun pasti ada oknum yang menyimpang dari idealitas. Satu hal yang terpenting: mudah-mudahan saja oknum nakal di korps hakim tidak terlalu banyak.

Hakim sebagai korps akan tetap sebagai berperan sebagai wakil Tuhan. Sampai kapan pun. Bukan wakil setan. Salah satu perlambang hakim adalah simbol kartika, yang berarti setiap putusan hakim akan dipertanggungjawabkan pada Tuhan Yang Maha Adil. Adapun terkait oknum hakim yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi, terserah publik akan menjuluki apa: wakil setan, atau bahkan wakil iblis sekalipun, tidak jadi soal.

Kawal Martabat Hakim

Hakim telah memiliki Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Pelaksana pengawasan hakim, juga telah ada. Sudah lengkap. Paket komplit. Ini semata bertujuan untuk menjaga dan menegakkan marwah hakim.

KEPPH terbit berdasarkan Surat Keputusan Bersama antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009, tentang Kode Etik dan Pedoman Peilaku Hakim. Surat Keputusan Bersama tersebut merupakan wujud kristalisasi perjuangan Mahkamah Agung serta Komisi Yudisial menuju peradilan yang merdeka dan imparsial.

KEPPH tersebut memuat sepuluh prinsip dasar beserta butir penjabarannya. Sepuluh prinsip dasar itu adalah: 1. Berperilaku adil, 2. Berperilaku jujur, 3. Berperilaku arif dan bijaksana, 4. Bersikap mandiri, 5. Berintegritas tinggi, 6. Bertanggungjawab, 7. Menjunjung tinggi harga diri, 8. Berdisiplin tinggi, 9. Berperilaku rendah hati, dan 10. Bersikap professional.

Memang, pada tahun 2011, terdapat beberapa pengurangan butir atas Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Tersebut. Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor: 36 P/HUM/2011 menghapus butir 8.1, 8.2, 8.3, 8.4, serta Butir 10.1, 10.2, 10.3, dan 10.4. Namun demikian, tidak ada prinsip dasar yang diubah, ditambah, ataupun dikurangi. Garis besarnya masih utuh.

Terkait lembaga pengawasan hakim, ada dua bentuk pengawasan. Pertama: pengawasan internal oleh Mahkamah Agung, dalam konteks ini deperankan oleh Badan Pengawasan. Pengawasan internal ini diatur oleh Pasal 39 Ayat (4) UU. No. 48 tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Kedua: Pengawasan Eksternal oleh Komisi Yudisial. Hal ini diatur dalam pasal 40 Ayat (1 dan 2) UU No. 48 tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman juncto Pasal UU. No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Tidak hanya itu, selain kedua bentuk pengawasan tersebut, tentu masih ada pengawasan yang tidak melekat. Seperti pengawasan oleh publik, atau pantauan KPK, misalnya.

Selama ini, kedua bentuk pengawasan tersebut berjalan efektif. Bahkan dapat dikatakan sangat efektif. Keduanya bersinergi dalam mengawasi etika dan perilaku hakim. Prosedurnya, jika ada hakim bermasalah, kedua lembaga pengawas tersebut akan menggelar Majelis Kehormatan Hakim (MKH), untuk memberi kebijakan bagi hakim bermasalah tersebut.

KEPPH tersebutlah yang kemudian menjadi tolok ukur Badan Pengawasan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial dalam mengawasi perilaku hakim. Pelanggaran atas aturan tersebut, berkonsekuensi mendapatkan sanksi, sesuai tingkat pelanggaran.

Meski KEPPH telah ada dan pengawasan telah maksimal, namun kenyataannya, perilaku koruptif masih tetap saja terjadi, bahkan makin berani. Ada apa ini? Apa karena gaji dan tunjangan hakim minim? Tidak. Tidak benar. Sejak bergulirnya Peraturan Pemerintah Nomor 94 tahun 2012, tunjangan jabatan hakim naik signifikan. Sebagai contoh, Tripeni Irianto Putro, sebagai Ketua PTUN Medan, memiliki take home pay (gaji, tunjangan jabatan, dan uang makan) kurang lebih Rp. 29.000.000. (dua puluh sembilan juta rupiah) perbulan. Untuk orang yang “normal”, penghasilan tersebut tentu sudah cukup.

Kalau semua aspek sudah maksimal, lantas upaya apalagi yang dapat ditempuh untuk memberangus tindakan-tindakan koruptif hakim?

Kembali ke Nurani

Ada sebuah hadits, yang menurut hemat penulis, merupakan inti pedoman perilaku bagi seluruh umat manusia, apapun agamanya. Bunyinya: Istafti qalbak, al-birr maa ithma’anna ilayhi al-nafs wa athma’anna ilayhi al-qalb wa al-itsmumaa haaka fi al-nafs wa taraddad fi al-shuduur.[H.R. Ahmad dan al-Darimi]. Artinya: Mintalah fatwa pada nuranimu, kebaikan adalah sesuatu yang membuat hatimu tenang dan keburukan adalah sesuatu yang membuat hatimu gelisah.

Hadits tersebut cukup sederhana, tegas, dan lugas. Untuk mengetahui dan mengontrol perilaku manusia, cukup tanyakan pada nurani. Nurani akan menuntun manusia pada jalan kebenaran; jalan yang diridhoi Tuhan.

Inilah senjata pamungkas, paling ampuh, paling mungkin diterapkan untuk mencegah perilaku koruptif. KEPPH, Badan Pengawasan Mahkamah Agung, dan Komisi Yudisial masih bisa ditipu. Dikibuli. Diakali. Tapi kalau nurani, dia tidak akan pernah bohong,. Juga tidak akan dapat dibohongi.

Ketika ada tanda-tanda rayuan untuk bertindak korupsi, hakim harus segera konfirmasi pada nurani. Nuranilah yang akan membimbing pada jalan Tuhan. Bahkan nurani orang terjahat di dunia pun, penulis yakin, dia akan mengatakan bahwa korupsi itu merupakan tindakan salah. Tindakan keji. Tindakan yang akan membuat hati gelisah. Tidak mungkin, seorang hakim yang baru saja menerima suap, lantas ia update status di media sosial, “Syukur pada Ilahi, dapat suap 100 juta. Jadi tenang hati ini”. Mustahil.

Seluruh hakim di Indonesia, wajib berkiblat ke nurani. Kecerdasan nurani, atau dalam konteks kekinian disebut sebagai kecerdasan spiritual, merupakan inti dari segala kecerdasan yang ada. Nurani tentu berkait-berkelindan dengan ajaran luhur setiap agama. Nurani pasti akan mengingatkan hakim untuk senantiasa menjaga amanatnya, untuk mewakili Tuhan.

Kepercayaaan dan Harapan

Di penghujung dunia peradilan yang semakin semrawut ini, masih tersisa dua hal: kepercayaan dan harapan.

Kepercayaan adalah kekuatan besar untuk mewujudkan cita-cita. Kepercayaan publik, atas profesinalisme hakim, tentu sangat mensupport hakim untuk memberi hukum yang berkeadilan.

Sedangkan harapan terwujudnya peradilan Indonesia yang agung, adalah alasan primer bagi penegak hukum untuk berbuat lebih baik. Lebih profesianal. Lebih bersih. Lebih transparan. Lebih berkeadilan. Juga lebih “meghadirkan” Tuhan dalam setiap putusannya.

Semoga penegak hukum di Indonesia, khususnya hakim, senantiasa berpegang teguh pada nurani. Sehingga praktek-praktek perilaku koruptif yang dapat menjungkalkan keadilan, dapat segera sirna dari bumi pertiwi ini. Semoga hakim indonesia, seluruhnya, seutuhnya, tetap pantas menyandang gelar wakil Tuhan. Semoga.

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice