Hakim dan Kisah Tiga Binatang
Oleh: Ahmad Fathoni
(Hakim Tinggi PTA Banten)
Orangnya sederhana, bersahaja dan tidak banyak bicara. Tetapi bila ia berbicara, wibawanya terasa sekali karena trahnya memang trah pendekar Banten yang disegani, dan kata-katanya banyak mengandung makna.
Keluarganya banyak yang berkiprah sebagai abdi negara, khususnya di Departemen Agama dan beralih ke Mahkamah Agung. Ia sekarang sebagai Hakim Tinggi PTA Banten. Sedangkan adiknya yang dahulu mengurusi ‘perutnya’ Mahkamah Agung sebagai Kepala Biro Perencanaan, Drs. H. Hariri YS, M.H., kini juga menjadi hakim tinggi Tipikor PT Banten.
Drs. H. Sururi, S.H., sesuai dengan namanya, selalu menggembirakan orang yang diajak bicara. Kata-katanya santun dan terstruktur sehingga enak didengar, diresapi dan dimengerti.
Dalam suatu pengajian yang digelar pada Kamis sore setelah shalat Asar di Mushalla al-Mahkamah PTA Banten, H. Sururi menyampaikan ceramah yang menarik dan layak kita renungkan. Ia mengisahkan cerita tiga ekor binatang yang terlibat dalam sengketa hukum di hutan belantara. Layaknya manusia, mereka saling berbicara satu sama lain untuk menyelesaikan sengketa itu.
Awalnya seeokor buaya yang bertubuh besar dengan moncongnya yang tajam sedang meringis menahan sakit yang sangat karena tiba-tiba saja pohon yang besar yang berada di pinggir sungai dimana ia sedang berleha-leha roboh menimpa badannya. Buaya itu tidak bisa bergerak. Ia hanya bisa menahan rasa sakit.
Kemudian muncullah kerbau hutan yang ingin minum air sungai karena kehausan. Setelah terasa cukup menghilangkan dahaganya, ia menoleh dan memperhatikan sesuatu di sekitarnya. Ada yang aneh di pinggir sungai itu. Dikiranya sebatang pohon yang sedang hanyut di sungai akibat air melimpah, ternyata itu adalah seekor buaya.
“Ada apa kau, Buaya? Mengapa engkau merintih? Bukankah engkau selama ini gemar menggerakkan ekor dan moncongmu?” kata kerbau.
“Ya benar,” jawab buaya, “Tetapi tidakkah engkau lihat aku sekarang sedang tidak bisa bergerak karena kayu menimpa badanku?”
“Oh, ternyata benar,” kata kerbau yang mempunyai postur tubuh yang kuat.
Ia merasa iba untuk menolong buaya itu, agar terbebas dari himpitan kayu. Tanpa ada rasa kecurigaan dan tanpa kewaspadaan, ia ikhlas membantu sesama makhluk hutan yang mendapat kesulitan agar ekosistem di hutan tetap harmonis. Dengan tanduknya yang bercula dua lagi mencuat ke atas yang memudahkannya menyingkirkan kayu seraya mendorong sekuat tenaga, maka tersingkirlah kayu itu dari badan buaya dan bergeser ke sampingnya.
Sesaat setelah itu, baru saja beranjak dari tempat buaya terhimpit tadi, tiba-tiba saja ada yang menahan kaki kerbau. Ia merasakan sakit karena benda tajam menancap di kakinya. Ternyata itu adalah gigi-gigi dari moncong buaya yang tadi ditolongnya.
Dengan tenaga yang tersisa akibat mendorong kayu dari atas buaya, maka si kerbau menarik kakinya. Tetapi karena moncong buaya itu menancap kuat di kakinya, si kerbau serasa tak berdaya. Ia membiarkan buaya itu mencengkram kakinya berkata seraya berkata, “Hai, Buaya. Mengapa engkau lakukan itu kepadaku padahal engkau telah aku bebaskan dari penderitaan himpitan kayu tadi?”
“Bukankah ada hukum dasar (grund norm) bahwa dalam radius 50 meter dari air adalah wilayah Kekuasaanku?” kata buaya. “Siapa saja yang lewat dan mendekatinya akan menjadi mangsaku!”
Mendengar itu, si kerbau dungu itu tidak bisa berkata-kata lagi. Ia hanya bisa memendam rasa kesal, meluapkan rasa sakit sambil melenguh, dan berdoa agar Tuhan mengirimkan wakilnya untuk membantunya. Kerbau itu yakin, sesuai hadis Nabi, barangsiapa yang melepaskan kesulitan saudaranya dari kesulitan dunia, niscaya ia akan dilepaskan kesulitannya di dunia dan di akhirat.
Suara kerbau itu terdengar oleh burung beo yang cantik nan centil. Ia lekas menghampiri kerbau dan buaya di TKP dan berupaya menengahi sengketa hukum antara keduanya.
“Ada apa ini sebenarnya, wahai Buaya dan Kerbau?”
Si kerbau lantas menceritakan peristiwa itu dari awal, bahwa ia berniat membantu sesama penghuni hutan yang terkena musibah, tapi malah menjadi mangsa binatang yang ditolongnya.
Sementara itu, si buaya dengan angkuh dan pongahnya tetap menjadikan hukum dasar (grund norm) sebagai tamengnya.
“Oh, begitu kejadiannya,” kata burung beo.
Setelah merenung sejenak, sang burung beo berujar, “Begini saja. Bagaimana kalau kita mulai rekonstruksi peristiwa ini dari awal agar aku bisa memutuskan siapa yang benar dan siapa yang salah dalam peristiwa ini? Selain itu agar para penghuni hutan mengetahui duduk masalah yang sebenarnya.”
Kemudian diundanglah para penghuni hutan. Mereka berdatangan dalam reka ulang sengketa hukum antara si buaya culas dengan si kerbau dungu itu. Buaya dan kerbau sepakat dengan saran burung beo, apalagi para penghuni hutan menjadi saksinya.
Rekonstruksi dimulai. Buaya melepaskan gigitannya dari kaki kerbau. Kemudian kerbau meletakkan kembali kayu besar yang tadi didorongnya ke atas pundak buaya.
“Bagaimana rasanya sekarang ketika kayu itu sudah berada di atasmu, hai Buaya?” tanya burung beo.
“Sakit sekali dan aku tidak bisa bergerak,” jawab buaya.
“O, begitu,” kata burung beo sambil menganggukkan kepalanya. “Lalu apa yang kemudian engkau lakukan, wahai Kerbau?”
“Aku mengangkat kayu itu dari atas punggung buaya,” jawab kerbau.
Nah, sekarang engkau tidak perlu lagi mengangka kayu itu,” burung beo memutuskan. “Biarlah buaya itu merasakan akibatnya, karena ia serakah dan mau menang sendiri. Ia tidak berterima kasih kepada pertolongan binatang lainnya, malahan mau memangsanya”.
“Ayo, Kerbau dan kawan-kawan, kita tinggalkan buaya ini sendirian. Biarlah hukum yang
Menentukannya: Siapa yang berbuat, dialah yang bertanggung jawab atas perbuatannya. Allah berfirman dalam al-Qur’an ‘Laha maa kasabat wa ‘alaiha maktasabat’,” kata burung beo.
Sejak perisitiwa itulah, dikenal julukan kerbau dungu, buaya culas, dan burung beo cerdas, karena perilaku dan karakter mereka masing-masing.
Di antara tiga binatang itu, kita sebagai hakim mau dikelompokkan di mana? Apakah kita ingin menjadi hakim yang lugu tapi tidak mempunyai pemikiran dan pengetahun yang aktual tak ubahnya seekor kerbau?
Ataukah kita menjadi buaya yang hanya berlandaskan hukum semata tanpa melihat aspek psikologis, sosiologis, dan historis dengan mengabaikan prinsip “al-hukm yaduuru ma’a ‘illatih wujudan au ‘adaman” dan “al-hukm mutaghayyir bi taghayyuril amkaan wa al-azmaan”?
Hendaknya kita menjadi hakim dengan karakter sebagaimana burung beo dalam cerita di atas yang cerdas,arif dan bijaksana dengan menggunakan referensi yang cukup dan yurisprudensi sebelumnya dalam memutus suatu perkara. Hendaknya kita juga peka terhadap keadilan sosial, sebagaimana burung beo memperhatikan aspirasi para penghuni hutan saat buaya dan kerbau bersengketa. Wallahu A’lam.