HAKIM; BESAR DI RANTAU, TUA DI JALAN
Oleh : Syamsul Bahri, S.HI.1
A. PROFESI HAKIM
Profesi Hakim adalah profesi yang terbilang sangat mulia. Sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, pada Pasal 19 dikatakan “Hakim dan Hakim Konstitusi adalah Pejabat Negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang”. Hakim dalam menjalankan tugasnya tidak dapat merangkap jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain (Pasal 31 ayat (2)). Syarat dan tatacara pengangkatan Hakim pun tidaklah mudah, ada beberapa syarat dan proses yang harus dijalani, sebagaimana Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pengadaan Hakim.
Menjadi seorang hakim adalah panggilan jiwa yang luhur. Hakim tidak dipilih hanya sebatas pada kepintarannya, tetapi Allahlah yang mengamanahkan kepadanya bahwa ia layak dan mampu menjalankan amanah yang berat itu. Tidaklah mudah menyandang predikat Yang Mulia dimata para pencari keadilan. Bahkan orang menyebut Hakim adalah perpanjangan tangan Tuhan atau wakil Tuhan, ditangan Hakimlah berada nasib seseorang ketika berhadapan suatu permasalahan hukum. Ketika putusan Hakim terbeli, maka runtuhlah keadilan. Dalam menangani suatu perkara hakim tidak semata-mata merujuk pada aturan yang telah ada, tetapi seorang Hakim dituntut untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 ayat (1) UU 48 Tahun 2009). Demikianpun seorang Hakim tidak diperkenankan menolak suatu perkara yang diajukan kepadanya (Pasal 10 ayat (1) UU 48 Tahun 2009). Dalam Islam seorang Hakim dijanjikankan pahala yang besar :
Dari ‘Amr bin al-‘Ash bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ.
Artinya :“Apabila seorang Hakim berijtihad kemudian ia benar, maka ia memperoleh dua pahala. Dan apabila ia berijtihad namun salah maka ia memperoleh satu pahala.”
Dilain hadits juga diingatkan :
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ جُعِلَ قَاضِيًا بَيْنَ النَّاسِ فَقَدْ ذُبِحَ بِغَيْرِ سِكِّينٍ
Artinya :“Barangsiapa yang dijadikan hakim diantara manusia, maka sungguh ia telah disembelih tanpa menggunakan pisau” (HR. Tirmidzi).
Dari Abu Buraidah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
اَلْقُضَاةُ ثَلاَثَةٌ اثْنَانِ فِي النَّارِ وَوَاحِدٌ فِي الْجَنَّةِ رَجُلٌ عَلِمَ الْحَقَّ فَقَضَى بِهِ فَهُوَ فِي الْجَنَّةِ وَرَجُلٌ قَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِي النَّارِ وَرَجُلٌ جَارَ فِي الْحُكْمِ فَهُوَ فِي النَّارِ.
Artinya :“Hakim itu ada tiga macam, dua di Neraka dan satu masuk Surga; (1) seorang hakim yang mengetahui kebenaran lalu memberi keputusan dengannya, maka ia di Surga, (2) seorang hakim yang mengadili manusia dengan kebodohannya, maka ia di Neraka, dan (3) seorang hakim yang menyimpang dalam memutuskan hukuman, maka ia pun di Neraka.”
Peringatan tersebut berlaku secara umum dan menyeluruh, tidak terpisah-pisah. Ketika seorang Hakim sepanjang hayatnya menjalankan amanah tersebut dengan benar dan bersungguh-sungguh maka selamatlah dia, tetapi sekalipun sepanjang menjalankan tugas dia amanah dan bersungguh-sungguh dan diakhir masa tugasnya ia terbeli maka runtuhlah semuanya. Itu pulalah antara janji dan ancaman Allah berimbang kepada seorang Hakim.
-
CITA-CITA MENJADI SEORANG HAKIM
Bila kita mengingat kembali sejak kecil, seorang anak jarang sekali bercita-cita kelak besar ia akan menjadi seorang Hakim. Lihatlah pada ajang karnaval, pentas seni dan budaya misalnya, biasa kita melihat polisi cilik, tentara cilik, dokter cilik dan lain sebagainya. Adakah kita melihat Hakim Cilik?.. mungkin pernah tetapi hal itu amat sangat jarang kita jumpai. Boleh jadi termasuk kita sewaktu kecil tidak pernah bercita-cita untuk menjadi seorang Hakim yang namun pada kenyataannya sekarang kita menjadi seorang Hakim? Itulah takdir yang Allah telah gariskan untuk kita.
Setelah menjadi seorang Hakim yang tentunya melanglang buana dalam menjalankan tugasnya, sadar atau tidak, suka atau tidak suka tentulah amanah itu wajib dilaksanakan dengan baik dan sungguh-sungguh. Tidak penting lagi untuk memikirkan apakah menjadi seorang hakim itu termasuk masa lalu yang pernah dicita-citakan atau tidak. Pikiran itu harus dirubah apa yang menjadi cita-cita seseorang yang telah menjadi Hakim kedepannya. Bercita-citalah masuk dalam golongan Hakim yang kelak setiap putusannya minimal diganjar dengan 1 pahala dan berusahalah untuk mendapatkan 2 pahala. Bukan sebaliknya masuk dalam kategori 2 ciri hakim yang akan masuk Neraka, Naudzubillah min dzalik.
Dambaan untuk menjadi seorang Hakim masih tetap menjadi primadona tersendiri, lihatlah ketika dibuka pendaftaran CPNS Calon Hakim, pendaftarnya terbilang sangat banyak. Pada tahun 2017, jumlah pendaftar CPNS Calon Hakim menembus angka 27.204 orang yang akan memperebutkan 1.684 kursi Calon Hakim (https://www.mahkamahagung.go.id/id/artikel/2623/rekrutmen-calon-hakim-tahun-anggaran-2017). Itu membuktikan bahwa menjadi seorang Hakim sekalipun memiliki amanah yang sangat berat tetap banyak yang siap untuk memikulnya. Berbalik dengan cerita Abu Ali Al Hasan bin Hani Al Hakimi atau lebih dikenal dengan panggilan Abu Nawas pada masa Sultan Harun Al-Rasyid. Abu Nawas yang dikenal Jenaka tapi juga memiliki kepribadian yang bijaksana. Itulah kemudian Sultan Harun Al-Rasyid menggadang-gadangnya untuk diangkat menggantikan Ayahnya bernama Syeikh Maulana menjadi Hakim yang telah wafat. Ayah Abu Nawas juga adalah seorang hakim di Baghdad. Singkat cerita, mengetahui niat Sang Sultan tersebut, Abu Nawas pun tiba-tiba mendadak menjadi gila. Akhir cerita tenyata Abu Nawas rupanya hanya pura-pura menjadi gila agar tidak diangkat menjadi Hakim menggantikan Ayahnya. Sebab sebelum Ayahnya meninggal, Abu Nawas mencium kedua telinga Ayahnya, telingan kanan berbau harum sedangkan telinga kiri berbau busuk. Ayahnya menceritakan kalau perna suatu waktu dua orang datang mengadu kepadanya, satu orang didengar keluhannya sedangkan orang kedua tidak didengar karena ada rasa tidak suka terhadap orang tersebut. Kejadian ini dalam bahasa sekarang dikenal dengan istilah Asas Audi et Alteram Partem.
-
HAKIM DAN KELUARGA
Apa yang anda pikirkan ketika anda telah dinyatakan lulus ujian seleksi menjadi seorang Hakim? Wibawa menjadi naik, Gaji yang lumayan menjanjikan, ataukah kehidupan di Dunia sudah mejadi terjamin?. Semua itu boleh dan lumrah saja ada dalam pikiran seorang Hakim. Tapi disadarai atau tidak ketika seseorang telah menyandang predikat seorang Hakim, tentulah keluarga ikut merasakan baik buruknya. Sisi baik sudah menjadi rahasia umum adalah salah satunya sesuatu yang membanggakan, tetapi dibalik itu ada keluarga yang ikut memikul beban.
Tentu beban yang dirasakan oleh keluarga seorang Hakim berbeda-beda. Lagi-lagi penulis mengajak mengingat kisah lika-liku keluarga seorang Hakim. Sejak kecil Hakim telah di Sekolahkan oleh kedua Orang tuanya, SD, SMP, SMA, Kuliah, yang tentunya masa itu bukanlah masa yang singkat terlebih bagi seorang Hakim yang menempuh jenjang pendidikan pada Pondok Pesantren. Masa-masa dibangku pendidikan adalah masa-masa dimana seorang anak mulai diajarkan mandiri dan terpisah dengan kedua Orang tuanya. Kasih sayang yang diperoleh tentu juga berbeda, meskipun pada dasarnya kasih sayang Orang tua pada anaknya tidak terikat pada ruang dan waktu. Setelah lulus kuliah kemudian dinyatakan lulus seleksi CPNS/Calon Hakim yang pada akhirnya ditugaskan diluar Daerah tentu pula menambah catatan sejarah hidup yang sebenarnya bukan hal yang ringan untuk dilalui, ya lagi-lagi harus terpisah dengan kedua Orang tua.
Proses menjadi seorang Hakim bukanlah akhir dari perjuangan dibangku pendidikan, melainkan awal kisah baru yang harus dimulai lagi. Orang tua yang seharunya selalu bersama dengan anaknya, melihatnya memasuki masa senja dengan keceriaan bersama anak cucu tentu hal ini harus dikubur dalam-dalam. Ya harus dikubur dalam-dalam sebab tidak bisa keduanya berjalan beriringan. Ketika orang tua telah bersusah payah membiayai penyelesaian pendidikan anak-anaknya dengan menahan beban kerinduan karena terpisah jarak, lagi-lagi hal itu kembali terulang ketika sang anak tersebut telah dinyatakan lulus menjadi seorang Hakim.
Bagaimana dengan istri dan anak-anak seorang Hakim? Ya tentu juga itu menjadi pilihan yang berat dan semua punya resiko masing-masing. Artinya setiap pilihan yang dijalani semua terdapat kekurangan dan kelebihan. Beban-beban tersebut akan sangat menjadi berat ketika terus dipikirkan dan hanya terasa menjadi ringan ketika rasa itu dikembalikan kepada Sang Pencipta yaitu Allah Swt.
Lantas apakah akan berpikir kelak anak-anak kita juga akan didorong untuk menjadi seorang Hakim ? itu kembali pd diri si anak yang menjalani, Allah telah menggariskan penjalanan hidupnya yang rancangannya telah selesai hingga kembali padaNya. Tetapi yang pasti bila itu terjadi maka sudah dapat digambarkan kehidupan anak tersebut misalnya 30 tahun kedepan. Seperti cerita orang Tua dulu, diceritakan seorang Bapak yang berprofesi sebagai buruh tani menasehati anaknya untuk serius dan tekun belajar menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Anak itupun balik bertanya kepada Ayahnya “aku ingin bekerja seperti ayah, membantu Ayah mencari uang yang banyak, kenapa Ayah melarangku menjadi seperti Ayah”. Sang Ayahpun menjawab dengan bijak “ umur ayah sudah 60 tahun lebih dan sejak putus sekolah sampai hari ini tetap bekerja sebagai buruh tani, bila kamu bekerja seperti Ayah apalagi sampai putus sekolah juga, maka bisa dipastikan keadaanmu pada umur 60 tahun yang akan datang sama seperti keadaan Ayah hari ini”. Si anak tersebutpun tertuduk diam menghela nafas dan kembali bertekad untuk tekun belajar dengan harapan kelak bisa membanggakan kedua orang tuanya dan nasibnya tidak seperti Ayahnya sekarang.
-
KEBERSAMAAN DENGAN SANAK SAUDARA
Bila melihat kebersamaan seorang Hakim dengan Keluarga (orang tua, istri dan anak) tentulah juga berlaku terhadap sanak saudara dan kerabat dekat. Kebersamaan dengan sanak saudara bisa terjalin hanya dengan melalui komunikasi jarak jauh. Bersua ria hanya bisa dilakukan pada saat tertentu, mudik lebaran misalnya. Ya itulah pilihan hidup yang harus dijalani seorang Hakim. Tidak bisa bersua ria dengan sanak saudara terdekat setiap saat, tetapi banyak kenalan baru di setiap tempat tugas yang baru. Menjalin hubungan baik dengan saudara-saudara rekan kerja dan tetangga di tempat tugas itu menjadi kesan tersendiri. Tak jarang rasa pesaudaraan ditempat tugas seperti rasa saudara kandung. Belum lagi Hakim bisa mengenal banyak budaya, bahasa dan keindahan alam di daerah di mana ia ditugaskan yang tidak bisa dirasakan langsung oleh abdi Negara yang lain. Itulah mungkin beberapa dari sekian hikmah yang dirasakan oleh seorang Hakim.
Jarak yang ada bukanlah alasan penghalang putusnya hubungan silaturrahim dengan sanak saudara. Era digital menjadikan yang jauh jadi terasa dekat. Ada berbagai fitur atau aplikasi yang bisa digunakan untuk menjalin komunikasi jarak jauh. Yang dulu hanya menggunakan surat atau mendengarkan suara melalui telpon, sekarang bisa bertatap muka kapan dan dimanapun. Meskipun itu tidak sepenuhnya mengobati rasa rindu yang terpendam kepada sanak saudara, tetapi setidaknya bisa melihat kondisi fisik sanak saudara.
Lagi-lagi bila kita dapat merenungkan nikmat-nikmat Allah yang telah diberikan kepada kita, tentulah kegundahan seperti itu sungguh terasa kecil. Allah menebarkan reskinya kepada manusia dengan cara dan jalan yang berbeda-beda. Reski haruslah dijemput, bukan semata-mata ditunggu. Reski yang Allah berikan bak taburan benih yang bertebaran di muka bumi, usaha kitalah untuk menjemputnya. Boleh jadi taburan benih yang menjadi reski kita, tidak kita dapatkan di kampung halaman tempat kita lahir, tapi kita dapatkan di daerah lain. Ya itulah perumpamaan bahwa selain sudah menjadi suratan takdir juga menjadi ladang pahala. Bukankah langkah manusia menuju Masjid salah satu pahalanya dihitung berdasarkan jumlah langkah kaki kita? Begitupun perjuangan seorang Hakim yang melang-lang buana mengabdi di Nusantara.
-
IBADAH DALAM PENGABDIAN SEORANG HAKIM
Sudah sering kita membaca tulisan ataupun artikel yang membahas tugas dan peran seorang Hakim yang tidak saja mengadili perkara tetapi juga berperan aktif di Masyarakat sebagai mahluk sosial, terkhusus Hakim Pengadilan Agama, Hakim di Mata Hukum dan Ulama di Mata Ummat. Sebutan tersebut misalnya dibahas dalam artikel yang ditulis oleh Fahadil Amin Al Hasan (Suara Pembaca : Badilag.mahkamahagung.go.id). selain itu dalam web yang sama, Menjadi Hakim Sebuah Panggilan Dedikasi di Bidang Hukum yang ditulis oleh Achmad Fauzi. Ungkapan itu terlihat sederhana namun memiliki arti yang sangat mendalam. Peran ganda yang disematkan dipundak seorang Hakim sangatlah berat.
Mengadili sebuah perkara butuh keilmuan yang tidak hanya berdasarkan satu sisi pertimbangan. Seorang dokter misalnya, dalam mendiagnosa penyakit yang diderita oleh seorang pasian sebelum diberikan dosis obat yang tepat harus terlebih dahulu mengenalisa berdasarkan teori yang pernah dipelajari atas gejala apa yang terlihat pada pasien tersebut. Beda halnya dengan seorang Hakim. Kasus yang sama tidak mesti diputus berdasarkan hukum dan pertimbangan yang sama. Banyak hal yang menjadi pertimbangan dalam memutus perkara. Tidak semata-mata berdasarkan hukum tertulis yang ada, tetapi dituntut untuk menggali hukum yang tidak tertulis, misalnya adab dan budaya masyarakat setempat. Itulah kemudian Undang-Undang dan aturan hukum menuntut :
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman :
“(1) Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”
Pasal 229 Kompilasi Hukum Islam :
“Hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya, wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan”.
Ada masa dimana seorang Hakim mengikuti aturan Hukum yang telah ada guna memberi kepastian hukum bagi masyarakat, ada masa menyimpanginya (contra legem), ada masa dituntut untuk memahami sendiri aturan yang telah ada, ada masa menciptakan aturan hukum yang belum ada. Jadi seorang Hakim dalam memberikan pertimbangan hukum melihat dan menilai berbagai aspek keadilan.
Selain membutuhkan keilmuan, seorang hakim juga adalah pilihan Ilahi (Allah). Teringat semasa Diklat Calon Hakim, salah seorang Guru yang menyampaikan materi berkata, kurang lebih seperti ini “ingatlah bahwa anda semua yang ada disini adalah manusia pilihan, kalaulah hanya mengukur dari satu sisi penilaian, misalnya Kepintaran, maka banyak atau mungkin ratusan Orang di luar sana yang lebih pintar dari anda, lebih cerdas dari anda, tetapi kenapa anda yang lulus menjadi calon Hakim? Jawabnya karena lagi-lagi anda semua disini adalah manusia pilihan Tuhan, manusia pilihan Allah, jadi jangan pernah menyia-nyiakan kesempatan ini”.
Kalau kita merenung kembali, makna kata “Pilihan” adalah terbaik di antara yang ada yang boleh jadi tolak ukur pertimbangan manusia tidak demikian yang menjadi ukuran dan penilaian Allah, maka itulah kemudian profesi Hakim menjadi profesi yang Mulia. Maka kemudian alangkah ruginya bila kemuliaan itu tidak kita pergunakan untuk menjadikannya sebagai ladang amal dan ibadah. Tingkatkan kwalitas putusan karena itulah yang menjadi Mahkota seorang Hakim yang bukan saja disematkan di Dunia tapi juga di Akhirat kelak.
Hakim boleh salah tetapi kesalahannya tidak disebabkan dari dua hal, salah karena ketidak tahuannya yang kemudian menjadikannya tidak belajar atau menggali norma/hukum yang ada atau menemukan yang belum ada dan juga salah karena penyalahgunaan kepintarannya. Apabila seorang Hakim telah bersungguh-sungguh dalam mempertimbangkan dan memutus suatu perkara tanpa sedikitpun intervensi kepentingan luar yang mempengaruhinya namun kemudian salah, maka kesalahnnya itu bukanlah kesalahan yang menjuruskannya ke Neraka tetapi Allah tetap memberinya ganjaran satu pahala. Hakim mengadili berdasarkan apa yang terlihat oleh mata secara zhahir. Demikian dalam Hadist yang ditulis dalam Kitab Al-Muwaththa karya Imam Malik “Nahnu nahukmu bi aldhawahir wa Allahu yatawalla al-sarair (kita hanya menghukum apa yang tampak dan Allah yang menentukan apa yang tersembunyi di dalam hati).
Ada pesan yang banyak untuk para Hakim-Hakim Indonesia, seperti dalam sebuah Artikel yang ditulis oleh DR. Abdullah, S.H.,M.S. (Kabiro Hukum dan Humas MA RI) bahwa untuk menemukan Hakim yang berakhlak Mulia, diterapkan beberapa sistem dalam perekrutannya, salah satunya adalah Profile Assissmen Psikologi yang tujuannya adalah untuk memperoleh Calon Hakim sesuai yang dibutuhkan. Atau lebih dikenal dengan Tes Psikologi (pen). Calon-calon Hakim yang dijaring diharapkan adalah Calon Hakim yang berakhlak mulia. Kelak Hakim yang berakhlak mulia tentunya menjadikan Hakim tersebut memiliki Etika dan Moral. Lebih lanjut dalam artikel tersebut dikatakan seseorang yang memiliki akhlak mulia merefleksikan integritas moral dan disiplin yang tinggi. Seseorang yang memiliki akhlak mulia / terpuji tidak serta merta memiliki kecerdasan atau kepintaran tinggi pula. Bagi jabatan Hakim lebih mengutamakan integritas daripada kecerdasan atau kepintaran. Kepintaran dapat ditingkatkan melalui berbagai program Pendidikan dan pelatihan. Sedangkan akhlak yang merupakan sifat dan watak tidak bisa dibentuk dan ditingkatkan. Kepintaran yang tinggi tidak disertakan akhlak mulia / terpuji hanya akan melahirkan perilaku yang takut kepada pimpinan. Begitu pimpinan lengah, perilaku menyimpang akan terulang lagi. Sebagai bukti bahwa semua pelaku tindak pidana korupsi bukanlah orang yang bodoh. Mereka memiliki tingkat Pendidikan secara akademis yang tinggi.
Manusia sekarang berada disuatu zaman dimana untuk membedakan antara yang berilmu dan tidak, paham agama dan tidak, sungguh dapat dikatakan sulit. Retorika dan penampilan bukan hal yang bisa dipercaya sepenuhnya lagi. Pelaku penyimpangan dalam hal penyalahgunaan wewenang didominasi oleh orang-orang yang bertitel. Tentunya sah secara akademik dan sah secara hukum yang bertitel adalah orang-orang yang pernah menempuh jenjang Pendidikan tertentu. Tetapi kenapa terjadi penyimpangan? Salah satu jawabannya adalah seperti diuraikan di atas. Ketika suatu pekerjaan diawali dengan niat yang baik (sebagai ibadah karena Allah) maka tentunya dalam setiap detik dan hela nafas untuk menyelesaikan pekerjaan itu akan mendapat bimbingan dariNya. Bimbingan itulah kemudian yang akan mengingatkan kepadanya untuk tidak melakukan apa yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Sebaliknya ketika seorang Hakim bekerja tanpa dibarengi Niat Ibadah karena Allah maka disitulah celah Syaitan menggodanya untuk melakukan penyimpangan. Penyimpangan tidak selalu dalam bentuk Korupsi, Kolusi dan Nepotismen tetapi lebih dari itu, penyimpangan dalam hal tidak bersungguh-sungguh menyelesaikan tugasnya dengan baik adalah juga merupakan bentuk penyimpangan.
Seorang Hakim tidak hanya persoalan perkara yang menghiasi beban pikirannya, tetapi juga persoalan keseharian dalam hidupnya. Salah satunya adalah Berpindah-pindah tugas. Meskipun sebenarnya mutasi menjadi salah satu sarana penyegaran dalam tugas tetapi tidak jarang hal tersebut membuat beban psikologi tersendiri. Penyesuaian ditempat tugas yang baru bukanlah hal yang mudah. Bukan hanya penyesuaian bagi diri Hakim itu sendiri tetapi juga bagi Istri Hakim dengan tetangga-tetangga barunya, anak-anak Hakim dengan lingkungan bermain dan sekolahnya, semua butuh proses.
Itulah kemudian (boleh jadi) yang menjadikan istilah Besar di Rantau, Tua di Jalan juga disematkan pada Hakim dalam menapaki perjalanan karirnya. Entah siapa yang pertama dan mempopulerkan istilah tersebut juga disematkan pada Hakim. Yang terpenting dan perlu disyukuri bahwa banyak dijumpai orang-orang yang semasa kecil hingga kuliah biasa-biasa saja di kampung halamannya, tetapi setelah lulus menjadi Calon Hakim kemudian menjadi Hakim, kehidupannya berubah. Menjadi orang besar di Perantauan dan tak jarang menjadi orang penting di Negara ini. Lantas bagaimana bisa dikatakan Hakim Tua di Jalan ? ya wajar saja sebab Hakim dalam menjalankan tugasnya selalu dan terus berpindah sebagaimana SK KMA Nomor 48/KMA/SK/II/2017 tentang Pola Promosi dan Mutasi Hakim pada Empat Lingkungan Peradilan (Lampiran III) yang menggariskan minimal 3 tahun dan maksimal 5 tahun Hakim Biasa tingkat pertama dan minimal 3 tahun, maksimal 4 tahun bagi Hakim Biasa Tingkat Banding. Artinya selama menjadi Hakim maka selama itu pula akan berpindah-pindah tugas hingga memasuki masa purnabaktinya (masa tuanya). Tentunya mayoritas (tidak semua) tetap mendambakan akan kembali pulang menjalani masa purnabakti di kampung halamnnya.
Ya,,,,berbanggalah dalam arti syukurilah profesi menjadi seorang Hakim. Banyak diluar sana yang juga ingin menjadi seorang Hakim tetapi tidak terwujud. Hakim adalah manusia pilihan Allah, untuk menyelaraskan dan memantaskan sebagai manusia pilihan Allah, maka setiap hela nafas dalam meniti tugas dan tanggung jawab, Niatkan sebagai ibadah karena Allah. Biarlah sebutan Hakim itu Besar di Rantau, Tua di Jalan terus menggema. Jadikan itu sebagai motivasi bukan sebagai peluntur semangat dalam menjalankan Amanah Allah. Jihad tidak semata-mata mengangkat Pedang di medan perang tetapi ketika seorang Hakim bersungguh-sungguh menjalankan tugasnya dengan baik dimanapun ditugaskan maka itu termasuk Jihad di jalan Allah.
والله أعلم بالصواب
1 Hakim Pengadilan Agama Soe