Fenomena Wartawan Dadakan di Peradilan Agama
Oleh: Hermansyah
Bukan hanya mereka yang boleh membuat berita.
"Menyenangkan! Bagi saya menjadi wartawan sangat menyenangkan dan menguntungkan. Mereka membuat orang yang tidak tahu menjadi tahu; membuat orang yang tidak suka membaca menjadi suka baca. Pahalanya pun berlipat. Dalam Islam ada sebuah pepatah yang mengatakan bahwa sampaikanlah walau satu ayat. Pahala mengalir demi satu ayat itu. Nah wartawan itu menulis bukan hanya satu ayat, beberapa paragraf bahkan beberapa halaman. Pasti tidak terbayang betapa banyaknya pahala yang didapat wartawan itu. Untuk itulah, jika ada kesempatan saya dilahirkan kembali, saya akan memilih menjadi wartawan!"
Yang mengucapkan itu bukan sembarang orang, melainkan Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung RI Dr. Ridwan Mansyur, S.H., M.H.
Di jaman digital ini, untuk bisa menjadi pewarta atau pemberi kabar, kita tidak harus berprofesi sebagai wartawan.
“Belum ada satu aturanpun yang menyebutkan bahwa untuk menulis berita syaratnya harus wartawan,” kata Arief Hidayat, dalam satu artikel di Badilag.net, beberapa waktu lalu.
Wakil Sekretaris PTA Bandarlampung itu benar. Hingga saat ini memang tidak ada, dan bisa jadi tidak pernah akan ada, aturan yang menyebutkan bahwa selain wartawan dilarang menulis berita. Siapapun, tidak terkecuali warga peradilan agama, dapat menginformasikan apa yang diketahuinya, asalkan informasi itu memang tergolong informasi yang boleh disampaikan dan informasi itu dapat dipertanggungjawabkan.
Arief Hidayat hanyalah satu di antara sekian banyak warga peradilan agama yang rajin menulis berita mengenai satuan kerjanya. Nama-nama lain yang bisa disebut di sini misalnya Abdul Hamid Pulungan (hakim tinggi MS Aceh), Faizal Kamil (Ketua PA Bengkalis), Muh Irfan Husaeni (hakim PA Pelaihari), Mukti Ali (Pansek PA Tanjung Balai Karimun), Aday (panitera pengganti PTA Jakarta), dan Nofrizal (pegawai PA Bangko).
Nama yang terakhir disebut itu terbilang sangat rajin menulis berita, baik untuk dimuat di situs satkernya sendiri maupun untuk dikirim ke Badilag.net, dan hal itu sangat bisa dimaklumi karena dia sebelumnya pernah menjadi wartawan sungguhan di media cetak. Yang menarik, komentator teraktif badilag.net, Masrinedi (Panmud Hukum PA Painan), kini juga sesekali menulis berita dan berita yang dihasilkannya tidak bisa dianggap buruk. Di luar itu tentu masih banyak lagi ‘wartawan dadakan’ di peradilan agama, termasuk para tenaga honorer yang tidak sedikit jumlahnya, yang bila ditulis di sini seluruhnya akan memerlukan banyak halaman.
Tidak bisa dipungkiri, banyaknya wartawan dadakan itu merupakan fenomena tersendiri di lingkungan peradilan agama. Fenomena ini mulai tampak beberapa tahun belakangan, seiring dengan menjamurnya website ‘plat merah’ yang dimiliki dan dikelola satuan-satuan kerja di pengadilan tingkat pertama dan banding.
Wahyu Widiana sebagai role model
Fenomena ini tidak bisa dianggap ganjil atau aneh, mengingat sesungguhnya yang jadi role model adalah salah satu orang terpenting di lingkungan peradilan. Dialah Wahyu Widiana. Kita tahu, sewaktu menjadi Dirjen Badilag, Wahyu Widiana sangat rajin menulis. Kemampuannya dalam public speaking seimbang dengan writing skill-nya. Dengan nama pena Adli Minfadli Robby, Wahyu Widiana telah menghasilkan ratusan berita di Badilag.net. Dengan nama asli Wahyu Widiana, dia sukses menghadirkan puluhan tulisan dalam bentuk esay di menu “Pojok Pak Dirjen”. Selain itu tulisan-tulisannya berbentuk makalah, bahan presentasi, dan lain-lain.
Fenomena ini menunjukkan bahwa warga peradilan agama semakin sadar terhadap pentingnya informasi. Kini warga peradilan agama tidak hanya bertindak selaku konsumen informasi, tetapi juga berperan sebagai produsen informasi. Ya, warga peradilan agama telah menjelma menjadi masyarakat prosumen—kawin silang antara konsumen dan produsen informasi.
Dengan menjadi produsen informasi, disadari atau tidak, warga peradilan agama telah mempraktikkan citizen journalism atau jurnalisme warga. Aktivitas warga dalam mencari, mengolah dan menyajikan berita atau informasi secara mandiri itulah yang disebut dengan citizen journalism. Definisi Citizen journalism memang cukup beragam, namun terdapat benang merah yang kurang lebihnya demikian.
Ditilik dari sisi legal-formal, ini adalah fenomena positif. Sebagaimana kita tahu, sejak Ketua Mahkamah Agung menerbitkan SK 144/2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan, lembaga peradilan berkomitmen untuk kian transparan dan akuntabel. Sejumlah payung hukum lainnya mempertegas komitmen itu, misalnya UU KIP, SK KMA 1-144/2011 dan SK Dirjen Badilag 017/2011. Menulis dan mempublikasikan berita di website lembaga peradilan adalah salah satu cara untuk mentransparankan lembaga peradilan.
Ditinjau dari segi komunikasi massa, fenomena ini juga positif. Dengan rajin menulis berita, warga peradilan agama sejatinya sedang menyuplai informasi-informasi yang diperlukan masyarakat. Pelayanan informasi, sebagai salah satu manifestasi pelayanan publik, sangat diperlukan masyarakat dewasa ini. Karena itu, menulis berita dapat dinilai sebagai pekerjaan simbiosis mutualisme: di satu sisi masyarakat memperoleh informasi yang dibutuhkannya dan di sisi lain warga peradilan agama dapat mengkomunikasikan perkembangan-perkembangan positifnya.
Mengerti posisi
Sebelum membuat tulisan, khususnya berita di situs pengadilan di lingkungan peradilan agama, hal pertama yang perlu dimengerti ialah positioning atau penempatan diri. Ini penting, sebab kejelasan soal ini akan memudahkan kita untuk melangkah ke depan. Sebaliknya, tanpa mengetahui positioning, kita bakal buta terhadap posisi yang seharusnya kita ambil, sekaligus tidak tahu arah mana yang kita tuju.
Website peradilan agama adalah website lembaga publik. Ini mesti kita camkan betul. Kita tahu, peradilan agama adalah salah satu lingkungan peradilan di bawah MA, bersama tiga lingkungan peradilan lainnya.
Secara sederhana, yang disebut sebagai lembaga publik adalah lembaga yang seluruh atau sebagian anggarannya berasal dari anggaran negara, baik APBN maupun APBD. Jelas, MA beserta badan peradilan di bawahnya adalah lembaga yang anggarannya berasal dari APBN, dan karena itu merupakan lembaga publik.
Berbeda dengan lembaga atau organisasi privat, lembaga publik sejatinya dimiliki publik. Publik adalah pemegang saham yang sesungguhnya. Tidak seperti komisaris di perusahaan yang juga sama-sama memegang saham, orientasi publik tidak dimaksudkan untuk mencari deviden atau laba. Publik hanya ingin mendapatkan pelayanan yang baik.
Jadi, demikianlah posisi website peradilan agama: sebagai website lembaga publik yang punya tanggung jawab memberikan pelayanan dalam bentuk informasi kepada publik.
Beda dengan media konvensional
Apa sih bedanya website peradilan agama dengan website konvensional? Pertanyaan itu sering mengemuka.
Antara keduanya ada sejumlah perbedaan tentu saja, di samping memiliki persamaan-persamaan.
Orientasi
Perbedaan mendasar antara situs konvensional dan situs lembaga peradilan ialah dalam hal orientasi. Situs konvensional berorientasi pada laba (profit oriented), sebaliknya situs lembaga peradilan berorientasi pada pelayanan informasi tanpa memperhitungkan laba.
Paradigma
Paradigma, secara sederhana, berarti cara pandang terhadap sesuatu. Secara tradisional, di samping sebagai penyuplai informasi, media konvensional berperan sebagai ‘watch dog’. Mereka adalah pilar keempat demokrasi. Kehadirannya menjadi penyeimbang, sekaligus juru kritik, terhadap tiga pilar demokrasi lainnya: legislatif, eksekutif dan yudikatif. Karena karakteristiknya yang demikian itu—berorientasi bisnis sekaligus sebagai ‘watch dog’—tidak heran bila media konvensional berparadigma “bad news is good news”.
Media milik peradilan agama tidak didirikan untuk jadi juru kritik. Ia juga tidak memfokuskan diri pada masalah, tapi lebih kepada pemecahan masalah. Masalah, kita tahu, adalah kesenjangan antara apa yang ideal (das sollen) dan apa yang real (das sein). Karena itu, paradigma yang diusung tidak lagi “bad news is good news”, melainkan “good news is good news”.
Area pemberitaan
Dicermati dari area pemberitaan, media konvensional secara garis besar dibagi menjadi dua: media generalis dan media spesialis.
Media generalis biasanya menyajikan berbagai ragam berita, dari politik, hukum, olahraga, hingga musik dan teknologi. Contohnya detik.com, kompas.com, tempo.co, dll. Sementara itu, media spesialis hanya memusatkan pemberitaannya pada bidang-bidang tertentu. Misalnya hukumonline.com, bola.com, bisnis.com, dan lain-lain.
Bagaimana dengan media peradilan agama? Pada dasarnya, area pemberitaan pada media milik lembaga peradilan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan tugas pokok dan fungsi beserta pernak-perniknya. Kalaupun agak diperlebar, area pemberitaan dapat meliputi berbagai aspek yang berkaitan dengan aktivitas yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan lembaga peradilan.
Kalau dibilang area pemberitaan website peradilan agama meliputi aspek yudisial dan non-yudisial, sah-sah saja. Yang jelas, kita mesti mengerti batas: mana informasi yang boleh dan tidak boleh dipublikasikan.
Teknik pemberitaan
Media-media konvensional tertentu ada yang menghalalkan adanya ‘bombatisme’, yakni melebih-lebihkan sesuatu agar terjadi efek dramatis, heboh, menggegerkan. Ada pula yang memakai teknik ‘karikatural’, yakni memberitakan sesuatu dengan secara sengaja melakukan distorsi atau pemelintiran.
Media milik peradilan agama tidak seperti itu, dan tidak boleh seperti itu.
Mengenali pembaca
Untuk apa susah-susah mengelola situs peradilan agama? Memang ada orang yang mengakses situs peradilan agama?
Perlu diingat lagi, salah satu pelayanan yang diharapkan publik dari peradilan agama ialah pelayanan informasi. Pelayanan informasi bisa diberikan secara langsung oleh petugas informasi, maupun melalui alat bantu, baik manual maupun elektronik.
Alat bantu manual di antaranya adalah papan pengumuman, spanduk, banner, leaflet, buletin, majalah dan lain-lain. Sedangkan alat bantu elektronik adalah website, TV media center, HP, SMS, dan lain-lain.
Lantas, informasi apa sajakah yang dibutuhkan oleh publik dari website peradilan agama?
Sebelum menjawab pertanyaan ini, langkah pertama yang perlu kita lakukan adalah mengulas siapa sesungguhnya yang disebut publik. Secara sederhana, publik adalah masyarakat luas. Publik juga bisa diartikan sebagai warga negara. Karena itu, meski publik merupakan kata tunggal, publik memiliki makna jamak. Publik harus dimaknai sebagai entitas yang heterogen.
Bila kita rinci, maka publik yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan peradilan agama adalah:
• Pencari keadilan
• Pengacara/lembaga bantuan hukum
• Keluarga pencari keadilan
• Aparat peradilan
• Akademisi/peneliti
• LSM/Lembaga donor
• Lembaga mitra (yudikatif, legislatif dan eksekutif)
• Jurnalis
• Masyarakat umum
Tiap-tiap kategori di atas memiliki kebutuhan informasi yang berbeda-beda, meskipun mereka sesungguhnya bukan himpunan yang sama sekali terpisah.
Sebagai contoh, pencari keadilan lebih memerlukan informasi mengenai prosedur berperkara dan sejauh mana perkaranya telah ditangani. Akademisi lebih memerlukan data statistik atau putusan-putusan yang bisa dijadikan rujukan untuk penelitian. LSM lebih memerlukan informasi mengenai jumlah anggaran dan penggunaannya. Jurnalis menyukai informasi mengenai perilaku aparat peradilan. Dan seterusnya.
Nah, setelah mampu memetakan siapa konsumen situs peradilan agama, kita dapat memperkirakan informasi-informasi apa yang mereka butuhkan.
Khusus mengenai berita, sebelum menulis berita, sebaiknya kita bertanya pada diri Anda: Berita yang saya tulis ini penting atau tidak? Penting buat siapa?
Cara menyajikan informasi
Ditinjau dari interval penyajiannya, informasi di website peradilan agama pada dasarnya dipilah menjadi dua: informasi statis dan informasi dinamis.
Informasi statis adalah informasi yang relatif tidak berubah dari waktu ke waktu. Kalaupun ada perubahan, tidak dalam waktu yang cepat. Sebut saja misalnya informasi mengenai kompetensi pengadilan, baik kompetensi absolut maupun kompetensi relatif. Contoh lain adalah informasi mengenai alamat beserta nomor kontak pengadilan.
Informasi dinamis, sebaliknya, adalah informasi yang berubah dari waktu ke waktu. Interval perubahan itu bisa dalam hitungan jam, hari, bulan, semester, maupun tahun. Contohnya adalah informasi perkara, jadwal sidang, pengunaan anggaran, dan lain-lain.
Warga peradilan beruntung telah memiliki panduan yang jelas mengenai informasi apa saja yang harus dipublikasikan di website pengadilan. Panduan yang saya maksud di sini adalah standar konten website pengadilan yang disusun oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK). Standar itu dipakai ketika melakukan penilaian terhadap website pengadilan pada tahun 2012. Rujukannya adalah UU Pelayanan Publik, UU KIP, SK KMA 1-144/2011 dan sejumlah aturan terkait.
Disebutkan di situ bahwa website pengadilan tingkat pertama wajib memuat 47 jenis informasi. Sedangkan website pengadilan tingkat banding wajib memuat 46 jenis informasi.
Pertanyaan yang kini dapat kita ajukan: Bagaimana cara memuat informasi tersebut?
Selama ini, yang biasa kita lakukan adalah membuat menu-menu beserta sub-sub menu sebagai wadah untuk menampilkan informasi-informasi yang dibutuhkan publik. Rujukannya ya itu tadi: standar konten yang sudah baku.
Tentu saja, itu adalah cara yang benar, terutama ditinjau dari sisi legal-formal. Tapi ditilik dari sudut pandang ilmu komunikasi, cara demikian masih kurang memadai.
Coba kita bayangkan, wesbite satuan kerja kita hanya menampilkan pengumuman dan berbagai informasi yang tersembunyi di balik banner atau menu-menu. Apakah pengguna internet (netizen) akan tertarik?
Kemungkinan besar, netizen akan bertanya-tanya: Kok website ini dari hari ke hari, dari bulan ke bulan, isinya seperti ini terus? Ini website pernah di-up date atau tidak? Jangan-jangan data atau informasi yang disuguhkan di website ini sudah kadaluarsa?
Karena itulah, tidak bisa tidak, sebuah website lembaga peradilan perlu memuat informasi dalam bentuk berita. Berita-berita itu bisa diproduksi sendiri; bisa pula berasal dari website satuan kerja lain seperti PTA/MSA, Badilag dan MA.
Adanya berita yang disajikan secara berkala paling tidak membuat netizen berpikir bahwa website yang dikunjunginya memang terus di-up date. Informasi yang ada di dalamnya terus diperbarui. Dengan kata lain, informasi-informasi itu tidak basi.
Apakah hanya itu keuntungan website pengadilan memuat berita?
Banyak keuntungan
Ada satu hal menarik yang kita peroleh jika kita mau menengok website PTA Banjarmasin dan website PA Pelaihari. Dua situs nomor satu di lingkungan peradilan agama itu ternyata sangat rajin menyuplai informasi berupa berita.
Meski berita tidak termasuk dalam 47 atau 46 kriteria yang dinilai dalam lomba website di lingkungan peradilan agama, namun adanya berita-berita itu dapat menjadi pertimbangan sendiri dalam penilaian. Hal ini diakui oleh Tim Peneliti PSHK ketika menyampaikan hasil penilaiannya kepada Badilag.
Namun, apakah hanya itu keuntungan website pengadilan memuat berita secara berkala?
Ternyata tidak hanya itu. Berikut ini adalah beberapa nilai lebih yang diperoleh situs pengadilan bila memuat berita secara berkala:
Pertama, dapat mengkomunikasikan kebijakan. Ada kebijakan yang ditetapkan oleh pusat; ada pula kebijakan yang dibikin oleh daerah. Berasal dari manapun kebijakan itu, bila ia berkaitan dengan publik selaku pengguna pengadilan, maka ia perlu dikomunikasikan. Berita mengenai hal ini dapat memberikan nilai lebih kepada satker yang bersangkutan.
Misalnya, pimpinan pengadilan di tempat Anda baru saja menetapkan biaya panggilan yang baru, sesuai pembagian radius yang ada. Tentu pimpinan pengadilan membuat SK, kan? Nah, satu berita dapat ditulis berdasarkan SK itu, disertai beberapa kutipan statemen pimpinan pengadilan. Dokumen asli berupa SK tersebut ditaruh di menu pengumuman dan link-nya disertakan di berita.
Kedua, cara mudah mengabarkan progress report. Tidak ada yang tidak berubah di dunia ini, kecuali perubahan itu sendiri. Demikian ungkapan lama yang kerap kita dengar. Sebagai suatu organisasi, pengadilan pun terus berubah. Nah, bila diwartakan, perubahan-perubahan atau perkembangan-perkembangan positif di pengadilan itu dapat menjadi bukti bahwa pengadilan merupakan institusi yang transparan, akuntabel, sekaligus komunikatif.
Kita ambil contoh pembangunan gedung baru. Kita dapat menulis berita mengenai tahap-tahap pembangunannya, kemajuan-kemajuannya, hambatan-hambatannya, dan seterusnya.
Kita juga dapat mengabarkan inovasi yang kita lakukan atau mewartakan prestasi yang kita raih. Berita-berita seperti ini berpotensi menjadi ‘virus’ yang menularkan energi positif bagi satker-satker yang lain.
Ketiga, dapat menghidupkan data. Rata-rata website pengadilan menyerupai gudang data. Ini wajar, lantaran sebagai website lembaga publik, website pengadilan pada dasarnya adalah hibrida antara company profile dan news portal. Nah, amat penting untuk menghidupkan data yang berjibun itu supaya tidak 'mati suri'. Caranya ya dengan membuat berita.
Kita ambil contoh data perkara. Kalau kita jeli dan peka, kita akan menemukan banyak sisi menarik dari data perkara. Misalnya perbandingan jumlah perkara dari bulan ke bulan atau dari tahun ke tahun. Atau jenis-jenis perkara yang kian variatif. Pasti ada sisi menariknya, kan? Lebih menarik dan lebih berbobot lagi apabila ada ulasan, walau singkat, dari pihak yang berkompeten. Misalnya pimpinan pengadilan.
Keempat, sarana membangun persepsi positif. Di zaman ketika produksi dan distribusi informasi sudah sedemikian deras, nyaris setiap satuan kerja menjadi sasaran pemberitaaan media massa, baik media konvensional maupun media sosial. Adakalanya pemberitaan-pemberitaan itu melenceng jauh dari fakta di lapangan. Dalam kondisi demikian, diperlukan upaya untuk meluruskan informasi yang melenceng itu.
Misalnya suatu ketika ada koran yang membuat berita miring mengenai tingginya biaya perkara di pengadilan Anda. Setelah pihak pengadilan meneliti, ternyata biaya perkara yang tidak wajar itu disebabkan oleh ulah calo. Nah, website pengadilan Anda dapat memberitakan hal ini agar publik memiliki persepsi yang benar mengenai pengadilan Anda.
Kelima, dapat mengakrabkan diri dengan mesin pencarian. Ini dia yang sering kita abaikan. Hingga kini, mayoritas pengguna internet dapat mengetahui alamat situs yang hendak dikunjunginya melalui mesin pencarian. Tentu saja Google adalah mesin pencarian yang paling sering mereka pakai.
Perlu kita ingat, di jagad maya ada namanya search engine optimization (SEO). Secara sederhana, SEO berarti mengoptimalkan mesin pencarian supaya situs yang kita kelola dapat dengan mudah diketahui oleh netizen melalui search engine.
Ada beragam teknik SEO. Salah satunya ialah memperbarui konten website secara berkelanjutan dan berkala, dengan cara menyajikan informasi-informasi terkini.
Percayalah, website yang kontennya sering di-up date akan diakrabi oleh ‘Mbah Google’ dan berpeluang lebih besar dikunjungi oleh para pengguna internet. Dengan begitu, berbagai informasi yang kita pajang di website akan dikonsumsi masyarakat. Berbagai perkembangan positif peradilan agama pun pada akhirnya akan diketahui masyarakat. Ujung-ujungnya, masyarakat akan kian percaya kepada lembaga peradilan—khususnya peradilan agama.
Bukankah Ketua MA Hatta Ali sendiri menyatakan bahwa tugas terberat lembaga peradilan saat ini adalah memulihkan kepercayaan publik?