Cerita Menarik di Balik Presentasi tentang Peradilan Agama di Forum Internasional di Iran
Oleh: Wahyu Widiana
*
Bukan basa-basi. Ketika kita sedang heboh-hebohnya menggelar peringatan 130 tahun peradilan agama, September 2012, yang kebetulan berbarengan dengan berakhirnya pengabdian formal saya di Badilag, banyak orang mengapresiasi saya atas capaian-capaian peradilan agama yang dianggapnya sangat signifikan. Saya selalu bilang, “saya hanyalah orang yang diuntungkan oleh prestasi peradilan agama itu”.
Prestasi peradilan agama yang dianggap melejit pada saat itu adalah hasil kerja keras semua warganya dan para pemimpinnya, baik di daerah maupun di tingkat pusat. Saya hanyalah salah seorang dari mereka, yang kebetulan menduduki jabatan yang dianggap strategis dalam pembinaan peradilan agama, yaitu jabatan Direktur Jenderal Badilag, yang pertama, yang saya jalani selama 7 tahun (2005-2012).
Prestasi peradilan agama dengan Badilagnya kinipun terus melejit. Kalau kita simak Laporan Tahunan MA 2013 yang ringkasannya dibacakan Ketua MA tanggal 26 Februari 2014 lalu, kita cukup gembira dengan prestasi MA, di mana peradilan agama juga memberikan andil yang signifikan.
Belum lagi, prestasi-prestasi yang belum sempat masuk laporan tahunan MA, seperti banyak diberitakan Badilag.net. Inovasi di Badilag dan lingungan peradilan agama terus bergulir. Saya yang hadir pada acara laporan tahunan itu atas nama AIPJ, masih tetap merasa orang peradilan agama dan bangga atas prestasi-prestasi itu.
Jadi, itu betul, bukan basa-basi. Saya banyak diuntungkan oleh peradilan agama. Ketika saya “pensiun”pun dari jabatan Dirjen, karena sudah berumur 60 tahun pada bulan September 2012, bulan berikutnya saya diajak Bu Cate (panggilan akrab saya kepada Cate Sumner, peneliti handal dari Australia) untuk bergabung dengan Australia Indonesia Partnership for Justice (AIPJ), sampai sekarang. Sayapun yakin, ajakan Bu Cate ini gara-gara prestasi peradilan agama. Saya merasa diuntungkan karenanya.
**
Lagi-lagi, diuntungkannya saya oleh peradilan agama itu kembali terjadi. Pertengahan bulan Januari lalu saya menerima email dari pejabat di lingkungan United Nations on Drugs and Crime (UNODC), yang berkantor di Teheran, Iran. Saya tidak tahu dari mana mereka yang di Iran itu tahu saya dan peradilan agama. Hanya, saya menduga, lagi-lagi ini karena rekomendasi Bu Cate yang mempunyai jaringan kuat di tingkat internasional. Saya ingat seloroh Asep Nursobah: “Bu Cate itu adalah PRnya peradilan agama di dunia internasional”. Banyak benarnya juga Asep ini.
Kembali ke email UNODC. Pengirim email itu memperkenalkan diri bernama Sefat Shemarani, Kordinator Program Nasional dari UNODC kantor Teheran. Ia menjelaskan bahwa lembaga di bawah PBB itu bekerjasama dengan Peradilan Iran akan menyelenggarakan Lokakarya Satu Hari tentang Bantuan Hukum, pada tanggal 3 Maret 2014 di Teheran.
Dikatakannya, tujuan utama lokakarya ini adalah untuk memberikan informasi kepada para peserta dan para pemegang otoritas dalam penegakan hukum, tentang perkembangan layanan bantuan hukum di tingkat internasional serta memperlihatkan praktek-praktek terbaik (best practices) dari negara lain, terutama dalam hal operasionalisasinya.
“Sehubungan dengan itu, dan mengingat pengalaman anda sebagai mantan Dirjen Peradilan Agama dan saat ini masih aktif dalam urusan layanan bantuan hukum keluarga, saya dengan senang hati mengundang anda dalam lokakarya ini”, begitulah kira-kira terjemahan undangan Tuan Sefat Shemarani kepada saya.
Masyaalloh, rasanya senang dan bangga menerima undangan itu. Namun saya sempat ragu juga, apakah saya masih boleh berbicara tentang peradilan agama di forum lokakarya, apalagi di tingkat internasional. Namun, setelah “lapor” Pak Dirjen Badilag dan konsultasi dengan Bu Cate, saya mantap menerima undangan prestisius dari lembaga PBB yang bekerjasama dengan Peradilan dari sebuah negara yang berpredikat Republik Islam itu.
Sebetulnya, pada bulan-bulan Januari dan Februari ini, saya sedang betul-betul sibuk, baik karena ada serangkaian acara keluarga di Tasik dan Jakarta yang memerlukan tenaga dan fikiran, maupun kegiatan di AIPJ. Kesibukan ini betul-betul menyita waktu.
Tapi lagi-lagi, saya diuntungkan, karena punya teman-teman yang mumpuni di bidang pemahaman dan penulisan hukum dalam bahasa Inggris. Mereka adalah Ahmad Cholil dan Rahmat Arijaya, hakim-hakim muda yang progresif dan penuh dedikasi. Saya minta tolong mereka menyiapkan makalah dan bahan diskusi pada lokakarya yang memang poin-poinnya telah saya terima dari penyelenggara.
Alhasil, di tengah kesibukan yang cukup menyita waktu, pada hari Sabtu tanggal 1 Maret malam, bismillah, berangkatlah saya ke Teheran yang dikenal sebagai salah satu “the most crowded cities in the word”.
***
Tiba di Imam Khomaini International Airport Teheran, dini hari Ahad tanggal 2 Maret. Di luar sudah ada orang UNODC yang ditugaskan menjemput saya dan membawa saya ke Homa Hotel yang terletak di jantung kota Teheran, dengan perjalanan sekitar 45 menit.
Hampir sepanjang hari Ahad itu saya berada di hotel, istirahat dan menyiapkan power point untuk presentasi keesokan harinya. Hanya sebentar saya memanfaatkan waktu untuk keliling kota melihat suasana sambil cari makan.
Terlihat perkembangan kota Teheran sangat pesat. Sangat jauh berbeda dengan suasana sekitar 20 tahun lalu, ketika saya mendampingi Menteri Agama Pak Tarmizi Taher, berkunjung ke kota yang mempunyai peradaban sejak ribuan tahun lalu.
Keesokan harinya, Senin 3 Maret, seharian saya berada di ruang lokakarya di Komplek Puslitbang Diklat Peradilan Iran.
Lokakarya yang diawali sambutan Deputi Ketua Pusat Litbang Diklat Peradilan dan Wakil Pimpinan UNODC Teheran itu dihadiri sekitar 50 peserta. Mereka terdiri dari unsur UNODC, peradilan, perguruan tinggi, peneliti, pengacara dan lainnya.
Ada beberapa pembicara, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Yang dari luar negeri hanya ada 3 orang, yaitu dari Austria, Afrika Selatan dan saya. Masing-masing pembicara asing menyampaikan presentasi 2 kali, sebelum dan setelah makan siang.
Waktu presentasi pertama, saya menjelaskan perkembangan peraturan perundang-undangan berkaitan dengan bantuan hukum dan pelaksanaannya di Indonesia. Pengalaman Badilag dalam memberikan layanan prodeo, sidang keliling dan posbakum saya sampaikan agak detail, termasuk data dari tahun ke tahun.
Sementara pada presentasi kedua, saya diminta untuk menyampaikan peran pengacara dan non pengacara dalam menyediakan layanan bantuan hukum.
Sudah barang tentu, kedua presentasi itu saya dasarkan kepada peraturan perundang-undang yang ada, termasuk UU, SEMA dan PERMA, serta praktek yang terjadi di Indonesia, terutama pada lingkungan peradilan agama.
Para peserta tampak tertarik dengan presentasi yang saya sampaikan, terutama pada sesi sebelum makan siang. Ini terlihat dari banyaknya komentar dan pertanyaan yang diarahkan pada saya. Komentar dan pertanyaan itu sekitar dasar hukum, anggaran, bantuan hukum bagi kelompok penyandang disabilitas, sidang keliling di luar negeri dan kerjasama dengan pengacara atau organisasi bantuan hukum.
****
Saya merasa senang, puas dan bangga mempresentasikan pengalaman Badilag dalam forum internasional yang prestisius, yang diselenggarakan oleh suatu lembaga di bawah PBB ini.
Senang, karena dalam posisi saya yang sudah “berada di luar lingkaran” masih juga beruntung, ada yang mengundang dan memfasilitasi melakukan sesuatu yang mudah-mudahan bermanfaat bagi orang banyak. Juga, sudah pasti senang, saya masih bisa melihat-lihat keadaan negeri orang secara gratis dan menyenangkan.
Puas, karena melihat respon para peserta dan penyelenggara lokakarya yang sangat positif terhadap apa yang saya presentasikan.
Bangga, karena institusi saya, peradilan agama, tempat saya bekerja dan meniti karir puluhan tahun, diapresiasi dan diperhitungkan orang, bahkan di tingkat internasional.
Bagaimana tidak bangga, pengadilan agama yang menurut penelitian Cate Sumner dan Prof. Tim Lindsey adalah pengadilan yang historically poorly regarded and neglected by the state for long time- kini muncul sebagai pengadilan yang reformis dan diperhitungkan orang, bahkan oleh organisasi-organisasi tingkat dunia.
Dari pengalaman ini, kalau boleh, saya berpesan kepada kawan-kawan di lingkungan peradilan agama untuk meningkatkan terus sikap dan langkah reformis ini. Jangan lupa, kegiatan-kegiatan yang kadang-kadang kita anggap “enteng” dan “kecil” bahkan kita acuh, seperti layanan pembebasan biaya perkara, sidang keliling, posbakum dan layanan terpadu, justru orang lain sangat mengapresiasinya.
Kita perlu terus meningkatkan perhatian kita kepada kegiatan-kegiatan tersebut, bersamaan dengan meningkatkan kualitas aspek-aspek lainnya.
Dengan memberi perhatian yang baik terhadap kegiatan-kegiatan tersebut, juga dengan peningkatan aspek lainnya, sudah terbukti bahwa peradilan agama kini diperhatikan dan diperhitungkan orang karena reformasinya itu. Masyarakat luas diuntungkan dengan reformasi peradilan agama ini. Saya termasuk orang yang diuntungkan.
Terima kasih kawan-kawan, terima kasih peradilan agama…!
Penulis adalah mantan Dirjen Badilag dan kini menjadi Penasehat Senior AIPJ