logo web

Dipublikasikan oleh Iwan Kartiwan pada on . Dilihat: 1619

Badilag.net Award : Pudarnya Peradaban Ilmu Pengetahuan?

(Sebuah Catatan Atas Penilaian Tim Redaksi badilag.net)

(Bagian Ketiga)*

Oleh:  Rusliansyah Ibrahim

(Ketua PA Nunukan)

 

Hidup netizen di dunia maya

Berita artikel jadi karyanya

Mencari hidup di peradilan agama

Hidupkan badilag.net tugas kita semua

(Renafasya)

 

Karena dikhususkan semula untuk konsumsi kalangan terbatas peserta pelatihan bimtek atau mahasiswa-akademisi perguruan tinggi, artikel-artikel ini, seperti diungkapkan di atas, pada umumnya ditulis dengan gaya bahasa ilmiah, sistematis dan agak panjang bertele-tele.

Inilah mungkin, secara umum, salah satu fakktor penyebab mengapa artikel-artikel ilmiah seperti ini kurang mendapatkan respon positif dari para netizen badilag.net yang notabene adalah warga peradilan agama, dibandingkan berita atau artikel yang ditulis dengan ringkas-pendek dan dengan gaya bahasa koran.

Hal ini tentu berbanding terbalik dengan kenyataan bahwa sebagian besar SDM yang ada di peradilan agama adalah lulusan perguruan tinggi. Mulai dari Diploma, Sarjana (S-1), Magister (S-2), bahkan tidak sedikit Doktor (S-3) yang sudah berhasil diorbitkan, berkarir di peradilan agama. Mereka ini adalah SDM-SDM handal yang sudah terbiasa dengan dunia ilmiah sewaktu masih menjadi mahasiswa.

Meneruskan tradisi keilmuan mereka sebelumnya, maka sejatinyalah artikel yang akrab dengan dunia ilmiah itu menjadi konsumsi harian yang habis dilahap  para netizen badilag.net. Artikel ini seharusnya adalah menu “sarapan pagi dan petang” –meminjam istilah Masrinedi-- yang paling banyak dikunjungi, dibaca dan kalau perlu dikomentari para netizen.

Tetapi fakta hasil penilaian Tim Redaksi berbicara lain. Yang menjadi pertanyaan adalah: mengapa setelah mereka berkarir di peradilan agama, dunia ilmiah itu seolah ditanggalkan dan ditinggalkan dari kebiasaan mereka sebelumnya? Apakah karir pekerjaan mereka sekarang ini telah merenggut ‘kebebasan-akademis’ dunia ilmiah yang sebelumnya pernah menjadi ‘pakaian’ selimut kebesaran mereka?

Apakah ini pertanda bahwa dunia ilmu pengetahuan ilmiah di peradilan agama memang tidak dibangun dan tidak direncanakan dengan baik, terukur dan sistematis? Apakah kelompok-kelompok diskusi hukum yang ada di peradilan agama hanya berjalan di tempat?

Setiap orang dapat memberikan jawabannya. Dan jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan di atas tentu bisa bermacam-macam dengan argumentasinya masing-masing. Mungkin perlu ada penelitian khusus mengenai hal ini tentang bagaimana korelasi antara SDM yang ada di peradilan agama dibenturkan dengan kenyataan dunia ilmiah yang berjalan di peradilan agama.

Tetapi sebelum jawaban ditemukan peneliti, penulis mengamati ada suatu gejala ‘sosial’ menarik lainya yang terjadi di ‘masyarakat’ netizen badilag.net sepanjang tahun 2012 ini. Seperti buih di lautan yang tidak menentu arah tujuan karena diombang-ambingkan gelombang ombak samudera, ‘jawaban-responden’ netizen badilag.net pun bisa dibilang begitu juga: ”men-dua;”  mengambang bolak-balik tidak menentu arah dan sulit diprediksi berdasarkan standar-standar penelitian ilmiah yang ada.

Ini dapat kita amati dari artikel “Pasar Uang dan Pasar Modal Syariah,” karya Rio Satria, yang menduduki peringkat pertama kategori “Artikel Terbanyak Dibaca.” Artikel tulisan Hakim PA Sengeti ini berhasil dibaca oleh 7758 netizen. Diikuti kemudian di bawahnya peringkat kedua artikel “Diskusi Hukum Mahkamah Konstitusi R.I. tentang Pengubahan Pasal 43 UUP tentang Hubungan Perdata Anak dengan Ayah Biologisnya,” tulisan A. Mukti Arto, dengan hits sebanyak 6793 pembaca.

Mengikuti asumsi yang sudah ditetapkan sebelumnya, seharusnya kedua artikel ini pun ‘wajib’ menempati posisi pertama dan kedua untuk ketegori “Artikel Terbanyak Dikomentari,” dari para netizen. Tetapi fakta dan kenyataan di lapangan berbicara lain.

Hanya artikel karya A. Mukti Arto saja yang mampu duduk di peringkat kedua “Artikel Terbanyak Dikomentari,’ dengan 80 komentar. Ini berbanding lurus dengan predikat “Artikel Terbanyak Dibaca” kedua sesuai prediksi sebelumnya. Sedangkan untuk artikel Rio Satria yang ‘laris-manis’ itu, di luar dugaan ternyata jauh tertinggal di belakang. Bahkan untuk masuk dalam 10 besar “Artikel Terbanyak Dikomentari” pun tidak dapat dicapainya.

Untuk posisi paling banyak dikomentari ini, artikel “Anak Lahir Diluar Nikah (Secara Hukum) Berbeda Dengan Anak Hasil Zina,” tulisan Chatib Rasyid, berhasil bertengger di posisi puncak, dengan 119 komentar. Bahkan artikel ini pun berhasil duduk di posisi ketiga paling banyak dibaca para netizen badilag.net sepanjang tahun 2012.

Faktor lain yang menyebabkan tingginya tingkat keterbacaan sebuah artikel  adalah pemilihan sebuah tema dan timing yang tepat.  Artikel yang mengusung tema kejadian atau peristiwa yang sedang menjadi isu hangat topik pembicaraan di masyarakat saat itu, dan di-publish pada waktu yang cepat dan tepat, tentu akan ‘laris-manis’ dikejar pembacanya, seperti berita.

Ambil contoh tulisan atau artikel tentang hubungan perdata anak dengan ayah biologisnya pasca putusan MK, yang pada waktu itu memang menjadi isu hangat dan terjadi pro-kontra di masyarakat. Pemilihan tema dan timing yang tepat terhadap isu hangat ini berhasil menempatkan 4 artikel dalam posisi 10 besar artikel paling banyak dibaca.

Namun, lagi-lagi suasana ‘psikologis-sosial’ para netizen badilag.net ‘men-dua;’ tidak bisa ditentukan dan sulit diprediksi nalar. Tergantung kepada ‘mod’ dan suasana kebatinan para netizen saat berselancar di dunia maya itu. Karena pada saat browsing itu para netizen adalah ‘raja’ yang tidak dapat diperintah harus berbuat begini atau tidak berbuat begitu. Mereka adalah raja yang bebas-merdeka menentukan nasib pilihannya.

Artikel Rio Satria bisa jadi contoh buktinya. Bagaimana bisa dalam kondisi cuaca cerah, tidak ada hujan-tidak ada angin, tidak ada isu hangat yang menggegerkan di masyarakat saat itu, pemilihan tema ekonomi syariah ini ternyata mampu mendobraknya nangkring di posisi puncak artikel paling banyak dibaca sepanjang tahun 2012.

Sungguh kenyataan ini membuyarkan semua impian, menghancurkan semua asumsi dan prediksi. Tetapi justeru sebaliknya malahan melanggengkan dan melestarikan tatanan kehidupan dunia maya. Memang, itulah sesungguhnya hakikat kehidupan dunia alam maya: “tidak ada kepastian;” tidak ada sesuatu yang pasti, semua serba mungkin. Akhiratlah kehidupan.

“Suara Pembaca” yang pertama kali tayang pada 2011 ini tidak mendapatkan ‘sambutan’ sehangat yang diterima tetangganya yaitu berita atau artikel. Menu yang kelahirannya dibidani oleh ‘kegelisahan’ seorang Wahyu Widiana setelah mendapatkan masukan dari komentator “Pojok Pak Dirjen” ini hanya berhasil mempublikasikan 27 tulisan selama 2012.

Kecilnya jumlah kontribusi “ceRpenis” mengirimkan “ceRpen” (cerita Ringan pendek) ‘berdurasi’ 1-2 halaman ini sangat bisa dipahami. Pertama, karena kemampuan menggoda “Suara Pembaca” ini sangat kecil dalam memikat dan mengalihkan perhatian para netizen badilag.net berpindah dari menu kecintaannya selama ini.

Kedua, para netizen badilag.net sulit membedakan antara suara pembaca dan komentar. Dalam kamus kosakata otak-kiri netizen keduanya adalah sama; sama-sama ‘saudara kembar’ hingga sulit membedakannya. Bukankah komentar merupakan “suara” hati dan nalar pembaca. Bukankah komentar-komentar yang ada di bawah box kecil berita badilag.net itu sesungguhnya juga adalah suara pembaca, seperti yang biasa tampil di koran-koran harian atau majalah.

Tingkat kunjungan dan keterbacaan netizen badilag.net pun bisa dibilang rendah untuk “Suara Pembaca” ini. Ini pun ada beberapa faktor penyebabnya; diantaranya pertama, boleh jadi karena pemilihan tempat setting menunya yang ‘terpinggirkan’ dibandingkan menu berita atau artikel sehingga menjadikannya jarang dilirik dan diklik pengunjung.

Kedua, eksistensinya banyak bergantung pada ‘kebaikan hati’ tuan rumah (baca: berita dan artikel) menampung, dan ‘kebetahan’ “Suara Pembaca” menumpang hidup di rumah tetangganya. Lama-tidaknya “Suara Pembaca” ini ‘betah’ menumpang di rumah tetangganya akan sangat berpengaruh terhadap tingkat kunjungan netizen. Begitu pula ‘kebaikan hati’ tuan rumah untuk tidak cepat-cepat ’mengusir’ “Suara Pembaca” dari rumahnya punya pengaruh terhadap tingkat keterbacaannya.

Tetapi biasanya “Suara Pembaca” ini adalah penumpang yang ‘tahu diri’ dan tidak mau mengganggu kehidupan rumah tangga tetangganya yang penuh-sesak berlama-lama. Satu-dua hari menumpang hidup, “Suara Pembaca” ini pun akan pulang terusir ke rumahnya yang sepi pengunjung. Kasihan memang nasib “Suara Pembaca!”

Seperti diketahui “Suara Pembaca” ini untuk pertama tampil biasanya ditempatkan di bawah menu berita atau artikel. Kalau tidak terdesak oleh berita atau artikel terbaru, dia akan betah berlama-lama tampil di salah satu menu tersebut yang berakibat akan banyak dikunjungi netizen. Tetapi kalau ‘izin tinggalnya’ habis terpaksa ia pergi meninggalkan rumah tetangganya untuk masuk ke dalam rumahnya yang sunyi-senyap dan sepi kunjungan.

Dunia “komentar-mengomentari” yang tidak lepas dari penilaian Tim Redaksi tetap mengukuhkan  Masrinedi dari PA Painan di puncak tangga sebagai “Komentator Terbanyak” selama 4 tahun berturut-turut. Satu pencapaian prestasi yang sulit dikejar para netizen badilag.net, kecuali mereka mampu menjadikannya sebagai –meminjam istilah Masrinedi lagi-- santapan sarapan pagi dan sarapan petang; bahkan perlu ditambah makan siang dan makan malam.

Dengan jumlah 802 komentar yang terjaring Tim Redaksi selama 2012, berarti paling sedikit Masrinedi telah membaca berita sejumlah itu pula. Ini hampir dua kali lipat jumlah berita yang tampil di “Seputar Ditjen,” yang berjumlah 463 berita. Berarti semua berita di “Seputar Ditjen” tersebut telah habis dikomentari  Masrinedi. Apabila dirata-rata berarti ada 66,8 berita perbulan; atau 15,4 berita perminggu; atau   2,2 berita perhari, yang berhasil dibaca jawara “Komentator Terbanyak” ini.

Membaca 2 berita perhari tentu tidak berat. Apalagi kalau hanya sekadar mengomentari 2 berita yang kita baca. Yang berat itu adalah menumbuhkan semangat “iqra” (membaca) dalam diri kita. Membaca apa saja, termasuk membaca badilag.net yang sedikit-banyak akan menambah pundi-pundi ilmu dan wawasan kita.

Dengan sepatah-dua-patah-kata kita sudah dapat memberikan komentar dalam box kecil yang disediakan di bawah berita atau artikel badilag.net. Box kecil ini di samping berfungsi sebagai “kotak komentar,” juga dapat berfungsi ganda sebagai “kotak saran” atau “kotak pengaduan’ yang biasa terpajang di kantor-kantor pengadilan atau di tempat-tempat pelayanan publik lainnya.

Namun patut disayangkan bahwa sebagian besar satker-satker yang ada di peradilan agama tidak atau belum menyediakan box kecil ini di bawah berita yang ditayangkannya. Baru beberapa satker yang sudah mentransfer kotak kecil ini. Sebut saja misalnya PTA Banjarmasin, PTA Surabaya atau PTA Gorontalo, sebagai contoh satker yang sudah menggunakan box kecil ini. Faktor penyebabnya bisa bermacam-macam. Pertama, karena pada waktu website satker bersangkutan dibangun, program aplikasi  “kotak komentar” ini memang belum dibuat atau belum sampai ke telinga tim IT satker bersangkutan.

Kedua, tim IT website satker bersangkutan beranggapan bahwa websitenya sudah menyediakan menu “pengaduan” sehingga box kecil itu tidak diperlukan lagi.  Apabila ada masyarakat yang akan melaporkan pengaduan atau pun sarannya bisa langsung mengakses menu tersebut.

Namun kenyataannya box kecil yang semula hanya diperuntukkan untuk memberikan komentar terhadap berita yang ditayangkan, ternyata sekarang sudah beralih fungsi  dan lebih banyak dimanfaatkan para netizen sebagai media “curhat,” dengan pertimbangan lebih praktis, ketimbang menu “pengaduan” yang sudah tersedia.

Ketiga, boleh jadi box kecil tersebut memang sengaja tidak dimanfaatkan karena satker yang bersangkutan –maaf-- alergi dengan ‘virus’ kritikan yang akan masuk membanjiri halaman ‘home’ website satker tersebut.

Tim Redaksi badilag.net pun kabarnya kewalahan menyetop banjir kritikan yang datang dari para netizen yang masuk ke meja redaksi setiap hari. Dengan melakukan ‘sensor’ Tim Redaksi memilih dan memilah mana-mana komentar yang ‘santun’ menyejukkan hingga layak tayang, dan mana-mana komentar yang ‘frontal’ menabrak tata-krama hingga layak dibuang ke Recycle Bin ‘tong sampah’ dunia maya.

Kalau faktor ketiga ini yang dijadikan alasan satker bersangkutan enggan untuk menggunakan box kecil ini, sungguh sangat disayangkan di tengah gencar-gencarnya dunia peradilan melakukan perubahan dan keterbukaan informasi publik. Karena itu, menurut hemat penulis, alangkah baiknya apabila teknologi box kecil ini juga ditransfer ‘dicontoh’ website pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding. Dengan adanya box kecil ini berarti satker bersangkutan mau membuka diri (transparansi) dan  menerima masukan dan saran, termasuk kritikan dari netizen.(bersambung)

  • Artikel ini semula adalah sebuah tulisan utuh-komprehensif. Dengan berbagai alasan dan pertimbangan akhirnya dipecah-pecah menjadi beberapa bagian. Karena itu, agar pemahaman pembaca utuh dan tidak timbul salah persepsi terhadap maksud tulisan ini kiranya dapat membaca bagian tulisan sebelum dan sesudah ini. Mohon maaf atas ketidaknyamanan ini!

 

 

 

 

 

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice