ANTARA TUGAS DAN ARTI PENTINGNYA KELUARGA
Oleh: Muh. Safrani Hidayatullah, S.Ag., M.Ag
(Hakim PA. Nabire)
Tidak terasa waktu terus berlalu hampir mendekati tahun ke-4 menetap di tempat tugas pertama di salah satu Pengadilan Agama di propinsi Papua, Nabire. Masih melekat dalam ingatan, saat pertama kali mendapatkan informasi dari teman-teman Cakim Angkatan III, hampir tidak percaya kalau mendapatkan tempat tugas sebagai hakim baru di Pengadilan Agama tersebut. Beragam pertanyaan muncul di benak, daerah mana itu? seperti apa ya tempat itu? Maklum, karena kota-kota yang familiar dengan propinsi Papua (dulunya saat masih SD sampai SMA masih teringat disebut propinsi Irian Jaya) antara lain pastinya Jayapura atau minimal kota Timika yang terkenal dengan tambang emasnya atau Wamena dengan suku Dani-nya.
Kalau mengingat-ingat kembali saat itu, dari hati yang paling dalam memang masih sangat belum bisa menerima kenyataan. Terlebih lagi dalam benak yang terlintas, bayangan yang tergambar harus pergi jauh meninggalkan keluarga.
Jarak yang sangat jauh dengan daerah yang belum dikenal sama sekali, menambah beban ini semakin berat untuk memikul tugas negara yang harus dipikul di pundak. Terlebih saat itu juga, anak pertama yang baru menginjak umur 3 tahun, masih sangat dekat-dekatnya dengan sosok ayah yang memang dalam keseharian sangat dekat. Sementara, ibunya baru 2 minggu melahirkan adiknya sekembali dari diklat prajabatan, karena kebetulan diterima menjadi tenaga pengajar di salah satu Perguruan Tinggi Islam Negeri di tempat asal. Status ini, jelas mengisyaratkan gambaran jelas bakal jauh untuk bisa berkumpul menjadi keluarga yang utuh.
Ya Allah, betapa berat rasanya ujian yang Engkau berikan ini. Satu sisi, keharusan menjalankan tugas, dan di sisi lain konsekuensi meninggalkan keluarga kecil yang sangat dicintai. Kondisi ini memberikan pilihan yang sangat berat. Terbayang bagaimana beratnya beban seorang istri untuk mengasuh dan memelihara anak-anak yang masih kecil ketika tidak berada di sampingnya, sementara keluarga tidak ada yang menemani atau membantu karena memang jauh dari tempat keluarga.
Sempat memang terlintas di benak untuk tidak berangkat ke daerah tempat ditugaskan, dan hal itu terus menguat. Tapi untunglah, rasa syukur yang mendalam memiliki seorang istri berhati dan berjiwa besar dan mulia yang mampu memberikan dukungan kepada suami untuk segera melaksankan tugas Negara ini.
Tepatnya tanggal 10 Juli 2010 pertama kali menginjakkan kaki di tanah Nabire. Bersama teman se-angkatan yang juga di tempatkan di dekat daerah tugas, peristiwa dan kesan pertama yang tidak akan pernah terlupakan saat baru saja pesawat mendarat di bandara, di mana perasaan sangat terkejut dengan pemandangan yang tidak pernah ditemui dan tidak dialami sebelumnya. Bayangan normal, di manapun yang namanya bandara sama seperti bandara pada umumnya di tempat lain, kondisi bersih, asri, relatif steril dan aman. Akan tetapi, kenyataan yang ada sangat jauh sekali dengan bayangan awal, terlebih lagi yang membuat agak shock saat menunggu barang di ruangan pengambilan bagasi, sekelompok orang mabuk yang dibiarkan begitu saja seenaknya memecah botol minuman saat bertengkar dengan temannya yang lain di ruangan yang harusnya terjaga privasi dan ke-sterilannya.
Sekali lagi dari lubuk hati yang paling dalam saat itu, perasaan ini belum siap menerima kenyataan. Terlintas kembali dalam benak keluarga yang ditinggalkan. Tapi untunglah seiring berjalannya waktu setelah pelantikan tanggal 10 Juli 2010, perasaan mulai agak maklum dengan lingkungan yang ada. Sedikit demi sedikit sudah terbiasa melihat dan menemui di jalan saat berangkat kantor orang-orang sekitar yang sedang mabuk, berkelahi di jalan ataupun kejadian pernah dicegat dijalan oleh mereka yang lagi mabuk, maupun yang agak ekstrim saat terjebak di antara sekumpulan penduduk lokal tengah berperang (orang setempat menyebutnya dengan istilah “waita”) dengan kelompok lain, walaupun tidak dipungkiri hal ini terkadang diri tidak nyaman dan aman. Kondisi ini tidak terlepas dari adanya teman-teman sekantor yang baik hati dan ramah. Kegiatan rutin menjalankan tugas pokok sedikit tidak mampu membiaskan pikiran-pikiran yang masih belum terbiasa dengan lingkungan sekitar.
Namun, itu semua memang tidak bisa begitu saja dan serta merta membuat perasaan nyaman dan tenang dalam menjalankan tugas. Apalagi kalau melihat teman-teman sekantor yang sudah berkeluarga yang seluruhnya bisa berkumpul, bercengkrama dengan keluarga yang dicintainya. Bayangan istri dan anak-anak tetap menjadi hiasan dominan yang terus tergambar di pikiran. Kondisi ini semakin membuat pikiran tidak menentu, terutama sepulang dari kantor saat tiba dan berada di kamar kos. Tidak ada sambutan hangat dan panggilan buah hati yang bisa menghilangkan kepenatan karena rutinitas kerja layaknya idaman setiap keluarga. Lintasan tawa dan tangis anak-anak, bayangan istri yang harus menjalani kehidupan tanpa suami terus berkecamuk dalam pikiran sehari-hari. Terkadang, tidak terasa tetesan air mata mengalir saat melihat-lihat foto-foto keluarga, istri, terlebih anak-anak, karena memang lumrah adanya manusia biasa yang punya perasaan kangen dan butuh kehangatan keluarga yang dicintai.
Memang, kondisi ini bukan-lah menjadi alasan untuk terus bergumul dengan sekelumit pikiran dan perasaan kalut yang terus membayangi, karena pastilah ada rekan lain se-profesi yang juga mengalaminya. Tekad kuat tertanam, semaksimal mungkin harus bisa untuk tetap tegar dan tidak cengeng dalam menghadapi pilihan hidup ini. Tapi apakah istri bisa setegar yang ada dalam pikiran? Apalagi anak-anak yang belum bisa mengatakan apa dan kenapa seseorang yang dianggap sosok ayah tidak ada di sisi mereka?
Perih memang hati ini, apalagi setiap saat menghubungi keluarga untuk sekedar menanyakan kabar mereka. Miris memang hati ini saat ditanya oleh anak kapan ayah pulang? Kok ayah tidak pulang-pulang ke rumah? Mungkin kondisi ini tidak akan pernah terjadi atau pertanyaan ini tidak akan pernah dilontarkan jika kondisi yang ada tidak terpisah tempat tinggal dengan keluarga yang dicintai. Kalau ditanyakan, kenapa tidak bisa pulang saja sekali dalam sebulan untuk menjenguk keluarga? Jawabannya, bisa saja kalau sekiranya faktor pendukung memungkinkan seperti waktu yang terkadang mengikat, dan yang terpenting adalah jarak yang sangat jauh tidak memungkinkan untuk itu yang berimbas pada biaya yang mahal untuk mewujudkannya. Tapi itulah kenyataannya, arti pentingnya keharusan menjalankan tugas di satu sisi, dan di sisi lain pasangan hidup (istri) juga tidak bisa meninggalkan tugas yang harus dijalaninya di tempat tugas yang berbeda.
Setiap saat, setiap detik untaian do’a selalu terpanjatkan kepada Rabb Pemilik Kuasa. “Ya Allah Sang Pemilik Hati, kuatkanlah hati dan jiwa hamba. Lapangkanlah jalan hamba menjalankan tugas yang harus dijalani. Berikanlah kekuatan hati hamba dan keluarga yang hamba tinggalkan. Mudah-mudahan Engkau memberikan jalan dan kesempatan yang terbaik bagi hamba dan keluarga untuk segera berkumpul lagi seperti keluarga lainnya, agar hamba dapat menjalankan tugas mulia ini dengan ikhlas, selain dapat memberikan bimbingan, terutama bagi perkembangan jiwa dan pendidikan anak-anak hamba yang masih merindukan figur seorang ayah”…... Amin, ya Rabbal ‘alamiin.
Mungkin, tulisan ini jauh dari apa yang disebut istilah ilmiah, lebih tepatnya bisa disebut curahan hati yang terkesan cengeng. Namun, hal ini merupakan naluri alamiah seorang manusia biasa yang mungkin saja dialami oleh sebagian rekan yang mengalami kondisi yang sama. Terlebih, pada tahun ini setelah 3 tahun lebih berjalan, sebagian besar teman se-angkatan telah banyak dipindah, bahkan ada beberapa sebelum itu. Secercah harapan untuk berkumpul dengan keluarga tercinta kembali terlintas, dan asa itu semoga menjadi kenyataan yang terus mendekati, walaupun ketentuan yang ada menggariskan bertolak belakang dengan kenyataan, minimal untuk bisa lebih mendekati lingkungan/daerah keluarga tercinta. Sehingga, harapan untuk menyelesaikan permasalahan rumah tangga orang lain sebagai suatu kewajiban (tugas pokok) bisa terus berjalan tanpa kendala sebanding dengan terwujudunya impian untuk menjadi imam dalam mengarungi bahtera keluarga dengan dinamika dan persoalan yang mungkin terjadi, dan bisa menjadi motivasi. Amin.