1001 Malam di Badilag
(Bagian Kedua)
The Dream Team
Tidak berlebihan jika generasi pertama tim pengelola website badilag saya sebut sebagai The Dream Team. Sebuah Tim Impian. Bukan saja karena kekompakan dan ethos kerja dari anggota Tim yang diatas rata-rata , tetapi juga komposisi tim yang tidak biasa. Seperti mimpi, kinerja dari komposisi tim yang tidak biasa itu ternyata bisa menggebrak dunia peradilan. Hal ini karena peran dari sosok “redaktur bayangan”, yaitu Adli Minfadli Rabi (AMR). AMR selain menjadi motivator, ia juga terlibat di aktivitas jurnalistiknya. AMR sepertinya menjalankan filosofi tutwuri handayani dan ing madyo mangun karso secara sekaligus. Siapa sesungguhnya AMR, pada saatnya nanti Ia akan berterus terang.
Kami berenam ditugasi mengelola website tetapi tidak satupun yang berlatar belakang pendidikan teknik informatika kecuali Endah Purnamasari. Saya sarjana syari’ah, Hirpan Hilmi sarjana Geologi, Helmi Indra Mahyudin sarjana Aqidah Filsafat, Wahyu Setiawan lulusan STM elektronika, Rosmadi lulusan SMK Grafika, dan M, Yusuf lulusan Madrasah Aliyah. Dengan komposisi seperti ini, saya jadi teringat ketika Harry Stamper yang diperankan Bruce Willis, A.J.Frost, (Ben Afflect),bersama dengan timnya yang lain dalam Film Armageddon diberikan tugas untuk menjadi antariksawan dengan misi menyelamatkan bumi dari jatuhnya asteroid. Padahal mereka adalah pekerja tambang, tidak ada satupun yang berlatar belakang pendidikan astronot. Maka oleh NASA mereka itu disulap menjadi astronot dalam waktu singkat.
Kami tidak menyulap Tim ini seperti yang dilakukan NASA, kami hanya mencari cara bagaimana Tim ini bisa melaksanakan tugas sesuai dengan misi pembangunan website oleh Ditjen Badilag. Setidaknya kami berupaya menghindar dari dampak adagium jika menyerahkan urusan bukan pada ahlinya maka tunggulah kehancuran. Yang tercetus dalam lintasan pikiran saya ketika itu adalah sharing pengetahuan. Maka kami membuat program “satu jam bersama badilag.net”. Konten program ini adalah tukar menukar pengetahuan tentang seluk beluk teknologi informasi diantara redaktur badilag yang dilaksanakan setiap hari selama satu jam setelah makan siang. Saya masih ingat, diantara buku pintar yang kami rujuk ketika itu adalah “Membuat Website semudah membuat mie instan”. Di forum ini kami banyak bertanya kepada Endah dan Helmi. Kedua orang ini sangat luar biasa. Mereka bisa mengeksekusi “mimpi-mimpi” kami tentang content badilag.net secara memuaskan.
Memulai Transparansi Peradilan
Suatu sore, telpon ruangan kami di Lt 3 Gedung Ditjen Badilag (Cikini) berdering. “Pak Asep bisa ke ruangan saya, ada yang kita bicarakan tentang website”, ujar Pak Wahyu di ujung telpon. Begitu masuk ruangan pak Wahyu di Lt.1, disana sudah ada Pak Hariri (Karo Perencanaan dan Organisasi MA). Dalam pertemuan kecil itu disampaikan bahwa dalam rangka penunjukan MA sebagai pilot projek reformasi birokrasi, menurut Bapennas MA harus punya unggulan layanan transparansi peradilan. Pak Hariri menyampaikan Badilag yang sangat memungkinkan untuk untuk memulai ini karena sudah memiliki website. “Bagaimana jika di website badilag dibuat menu baru tentang jadwal sidang, paling tidak untuk Jabotabek”, ungkap Pak Hariri memberi penjelasan tentang menu baru tersebut.
Pak Wahyu langsung meresponnya dan meminta redaksi badilag.net untuk menindaklanjutinya. Kami langsung merespon dengan segera membuat menu Jadwal Sidang di Badilag.net. Masih dalam minggu yang sama, Dirjen Badilag mengundang Ketua dan Pansek se-Jabodetabel untuk mensosialisasikan menu baru ini, dan kewajiban mereka untuk selalu mengupdatenya.
Menu yang kami buat ketika itu sangat sederhana, belum berbasis data base. Hal ini menyesuaikan kondisi keawaman terhadap website ketika itu. Setelah pilot project Jabotabek sukses, akses user terhadap menu baru ini diperluas menjadi seluruh pengadilan di ibu kota propinsi seluruh Indonesia. Selain menu jadwal sidang, Badilag.net pun menyediakan menu panggilan ghaib, sebagai media alternatif untuk memenuhi ketentuan Pasal 27 PP 9/1975.
Lahirnya dua menu baru ini menambah kesibukan di ruang redaksi badilag.net. Untuk mengelolanya, Kedua menu baru ini digawangi oleh Rosmadi. Rosmadi sangat bertanggungjawab mengenai update kedua menu baru ini. Bahkan ketika tangan kanannya patah karena kecelakaan, Rosmadi dengan tangan dibalut perban terlihat begitu memaksanakan untuk entri data. “Beh [cara kami menyapa Rosmadi] jangan dipaksain !!!”, ungkap Saya pada Rosmadi. Tapi jawaban Rosmadi diluar dugaan. “Mudah-mudahan dengan entry data, tangannya cepat sembuh”, ungkapnya dengan semangat.
Keberadaan menu jadwal sidang dan panggilan ghaib mendapat apresiasi luar biasa, terutama dari aktivis access to justice. Kedua menu yang menjadi icon transparansi peradilan lahir di awal 2007, sementara SK Keterbukaan Informasi di Pengadilan (SK 144/2007) baru lahir di penghujung tahun 2007. Bahkan, UU KIP baru lahir setahun kemudian, tahun 2008.
Badilag.net mulai rame
Tahun 2007, dalam DIPA Ditjen Badilag mulai dialokasikan anggaran sosialisasi pembudayaan pemberdayaan teknologi informasi. Kami pertama kali mengundang pengelola wesbsite dari seluruh PTA se-Indonesia untuk mengikuti kegiatan sosialisasi di sebuah Hotel di Bandung. Undangan peserta untuk kegiatan ini, tidak kami kirim melalui surat, tapi hanya memuatnya di website Badilag. Hanya satu peserta yang terlambat karena telat membuka website Badilag. Pengalaman ini memberi pelajaran, Jika telat buka website badilag, akan kehilangan kesempatan ikut pelatihan !!!. Ini sangat manjur, terbukti dikegiatan berikutnya pengalaman ketinggalan informasi kegiatan tidak pernah terjadi.
Dalam kegiatan ini kami membahas soal website, cara instan membuat website, standar pengelolaan, hingga urusan jurnalistiknya. Dari pertemuan pertama ini akhirnya terbentuk Elektronik Forum Pengelola Website Peradilan Agama, yang disingkat e-FPWP. Nama ini diusulkan oleh Nurul Hakim, admin website PTA Bandung. “Supaya terdengar mirip PTWP yang sangat ngetop di dunia peradilan”, ungkap Nurul Hakim memberi alasan. Hingga kini meski secara institusi e-FPWP telah tidak ada, tetapi semangat jalinan komunikasinya masih abadi.
Mereka oleh kami disebut pengelola website, meskipun pengadilannya belum memiliki website. Kembali teori labeling diterapkan. Harapannya dengan pelabelan ini mereka benar-benar bisa membangun website dan mengelolaanya, paling tidak merekalah yang bertugas membuka website badilag setiap hari, mencetak dan mensosialisasikan informasi, mengirimkan berita kegiatan jika ada, dan yang paling penting tebangunnya ikatan emosional antara Jakarta dan daerah.
Sejak pelatihan digelar, mulailah bermunculan website pengadilan agama maupun pengadilan tinggi agama. Berita-berita kegiatan dari daerah pun mulai mengalir ke email redaksi. Menu seputar peradilan agama mulai rame. Menu ini mirip citizen journalism. Warga peradilan membuat berita. Kami tidak mengedit berita yang dikirim. “Yang penting semangat pemberdayaannya, content dan gaya penulisan kita abaikan”, arahan Pak Dirjen kepada kami.
Tidak mengherankan, dari mulai berita senam, ulang tahun karyawan, hingga arisan dharmayukti beritanya kami muat di menu seputar peradilan agama. Kami sering mendapat sms, email, atau telpon yang isinya “protes”. “Kenapa berita yang kami kirim belum dimuat”, demikian protes mereka. Supaya protes tidak terulang, kami tunjuk Endah sebagai penanggung jawab menu ini. Untuk menu seputar peradilan agama kami bikin semboyan “kirim hari ini, publish hari ini”. Alhamdulillah aliran protes berhenti.
Dengan adanya menu seputar peradilan agama ini, sepertinya badilag.net adalah satu-satunya website lembaga negara yang konsisten melibatkan seluruh jajarannya di daerah dalam mengupdate informasi di halaman websitenya. Saya punya mimpi kondisi ini kita ajukan ke guiness book of record, paling tidak versi Musium Rekor Indonesia (MURI).
Tidak hanya berita, redaksi pun banyak menerima kiriman artikel hukum. Kontributor terbesarnya adalah para hakim dan cakim, meski bukan berarti para PNS lainnya tidak ada yang mengirim. Sebagaimana kiriman berita, kami pun tidak pernah melakukan sensor. Alasannya, website badilag adalah milik semua warga peradilan agama. “website badilag media pembinaan Ditjen Badilag disatu sisi, dan media belajar bagi warga PA, disisi lain”, demikian arahan Dirjen yang disampaikan kepada kami.
Badilag.net “nyelonong” di gedung Federal Court of Australia
Pertengahan 2007, saya diberi kesempatan untuk mengikuti Leadership and Change Management Program (LCMP) selama 2 minggu di gedung FCA, Sydney. Peserta program ini adalah pimpinan Mahkamah Agung, para pejabat eselon I , eselon II, dan beberapa eselon III serta tim asistensi pembaruan. Alhamdulillah karena taqdir Allah saya bisa “nyelip” di rombongan terhormat ini. Secara “syari’at” peran Ibu Cate Sumner tidak sedikit di program ini, sehingga saya bisa menjadi peserta program LCMP.
Fokus LCMP adalah manajemen perubahan. Dalam konteks manajemen perubahan ini, peran IT sangat signifikan. Sehingga dalam diskusi di kelas, tema ini selalu mengemuka. Demikian juga dalam pendalaman yang selalu di lakukan pada malam harinya di bawah panduan Ibu Mariana Sutadi dan Pak Paulus E. Lotulung, Peran IT dalam manajemen perubahan selalu menjadi highlight. Saya memberanikan diri untuk aktif berdiskusi. Alhamdulillah sedikit pengalaman mengelola SIADPA di PA Cimahi dan di Badilag membuat saya punya bekal sehingga bisa “nyambung” berdiskusi tentang IT dan manajemen perkara dengan nara sumber dari FCA di bawah fasilitatior berkaliber internasional, Anna Marie Troutmant.
Berita Website Badilag.net yang “nyelonong” di LCMP, gedung Federal Court of Australia, Syudney , Juli 2007.
Ada untungnya saya diberi label staf IT dalam kepesertaan LCMP tersebut. Jadi, ketika saya berbicara tentang hal yang bersifat judisial, peserta lainnya cukup kaget sebab keluar dari staf IT. Mereka belum tahu bahwa saya Calon Hakim ketika itu. Meski akhirnya, oleh Pak Farid (Sekditjen Badilag) “dibuka” juga, bahwa saya sarjana syariah dan calon hakim.
Menjelang akhir kegiatan, masing-masing kelompok harus melakukan pemaparan. Saya ditugaskan membuat presentasi. Ketika tiba giliran kelompok kami melakukan presentasi, sebagai asrot (asisten sorot) saya mempersiapkan koneksi laptop saya ke projektor. Dalam masa persiapan sebelum presentasi itu saya tampilkan website badilag yang memuat berita kegiatan LCMP. Mungkin karena ada foto Justice Black (Ketua FCA) dan Ibu Wakil Ketua MA, “keisengan” saya itu mendapat perhatian. “ Fantastic, kegiatan barusan sudah diberitakan di internet”, demikian kurang lebih komentar Warwick Sodden, CEO Federal Court of Australia.
Ibu Mariana Sutadi kaget juga. “Siapa yang memberitakan?”, ungkapnya spontan. “Website Badilag bu”, ungkap salah seorang peserta. Basa-basi pujian yang dialamatkan pada delegasi Indonesia pun terlontar oleh pejabat FCA lainnya.
Bagi badilag.net, memberitakan secara cepat sebuah kegiatan adalah hal biasa. Tetapi karena momentumnya di acara LCMP, dan selama kegiatan beberapa kali nara sumber FCA “memamerkan” website mereka dalam menunjang pelayanan publik. Sementara dari Indonesia, belum ada kesempatan “pamer” . Maka “nyelonongnya” berita badilag.net dalam acara presentasi di Sydney merupakan sebuah kejutan. Efek kejut dari sepenggal kejadian sebelum presentasi ini kemudian masih terasa hingga kembali ke tanah air, bahkan “katanya” hingga rapat pleno.
Bersambung...
(Selanjutnya :dibalik kisah Menjamurnya Website Peradilan Agama)