1001 Malam Di Badilag
Asep Nursobah (Kasubag Dok Info [2007-2009]/Hakim Yustisial Kepaniteraan MA)
(Bagian Pertama)
Saya sangat bersyukur diberi kesempatan untuk bertugas satu kantor dengan Pak Wahyu Widiana. Lumayan lama, 2006-2009, atau kurang lebih 1000 hari (termasuk malam harinya). Keadaan ini saya syukuri, pertama, dari 11.000 ribuan warga peradilan agama, hanya 150-an yang berada di satu gedung dengan orang nomor satu di peradilan agama ini, dan saya salah satu dari 150 orang tersebut. Kedua, karena berada di radius terdekat dengan Pak Wahyu, setiap hari, bersama-sama dengan karyawan Badilag lainnya, bisa memetik pelajaran dari prilaku kepemimpinannya. Saya membayangkan, kalau warga peradilan lainnya, kesempatan mendengarkan “pembinaan” Dirjen hanya jika ada kegiatan yang difasilitasi uang negara, sedangkan kami bisa menyimak pembinaan itu setiap saat.
Dari Buku Turun Ke Hati: awal perkenalan
Bergabungnya saya dengan Tim Ditjen Badilag memiliki kisah yang menarik. Saya akan sedikit mengisahkan karena ada sebagian orang yang menganggap saya masih ada hubungan kekerabatan, atau kesamaan tempat kelahiran dengan Pak Wahyu. Katanya Nepotisme !!!. Nanti pembaca akan menyimpulkan sendiri kebenaran tuduhan tersebut.
Saya mutasi ke Jakarta pada Juli 2006, sebagai Kasi Pengembangan Hukum Islam, Subdit Hukum dan Perundang-Undangan. Pelantikannya dilakukan pada hari Selasa tanggal ….. Juli. Sebelumnya saya adalah Kasubag Kepegawaian pada PTA Bandung, bukan siapa-siapanya dan pasti tidak dikenal oleh beliau. Memang sebagai Kasubag Kepegawaian, beberapa kali pernah ke Jakarta (Gedung Depag di Lapangan Banteng), tetapi yang dituju adalah bagian mutasi. Pak Zufran dan Pak Arjuna, ketika itu.
Mengenai cerita bahwa Pak Wahyu sebagai pejabat yang bersih, jujur, dan berkomitmen telah saya terima ketika saya masih menjadi pegawai di PA Cimahi (1998-2004). Cerita dari mulut ke mulut. Sehingga meski belum pernah bertatap muka , perasaan hati—secara spontan—menaruh hormat dan bangga pada beliau. Oleh karena itu ketika Pak Wahyu dilantik menjadi Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama, saya berpikir ingin memberikan sesuatu yang bisa membuat beliau terkenang. Saya sadar kalau mengirim SMS, surat ucapan selamat, ataupun telpon, beliau akan lupa. Hal ini karena akan ada ratusan orang yang melakukan hal yang sama dan saya hanya pegawai biasa yang tidak ada kelebihannya yang menjadi pembeda dari yang lain.
Kemudian saya memutuskan untuk membuat tulisan yang berisi harapan seorang staf kepada Dirjen. Tulisan itu saya rangkai dari nama beliau. Bab Pertama, tulisannya diurai dari huruf W, Bab kedua Huruf A, dan seterusnya hingga selesai nama Wahyu Widiana.Selain itu, saya pun menjelejah dunia maya untuk mencari berita tentang beliau. Berita-berita itu saya himpun dan menjadi bagian dari “buku sederhana” itu. Untungnya itu terjadi di tahun 2005, seandainya yang dihimpun adalah berita tentang Pak Wahyu di Tahun 2011, buku itu pasti ribuan halaman jumlahnya. Selain itu sebelum sampai pada tulisan pokok, saya tulis sedikit biografi beliau dengan ilustrasi foto jaman doeloe yang saya dapatkan di album PTA Bandung. Mengenai riwayat hidup beliau saya dapatkan dari kerabat beliau yang dulu pernah satu kantor dengan saya. Akhirnya buku sederhana itu sudah selesai, dan saya beri judul “Sepucuk Surat Untuk Dirjen”. Namun, saya bingung bagaimana cara supaya Buku itu langsung sampai ke tangan Pak Wahyu, tanpa prosedur tata persuratan.
Akhirnya, Allah memberikan jalan untuk itu. Tiba-tiba, Pak Kholil (KPTA Bandung, kini KPTA Jakarta) menugaskan saya untuk membantu Pak Wahyu mengoperasikan “in focus” dalam acara hisab rukyat bagi pegawai KUA di Bandung. Saya gunakan kesempatan itu menyerahkan buku. Pada waktu menyerahkan buku itulah, kesempatan pertama bagi saya untuk berada di jarak terdekat dengan Pak Dirjen. “Terima kasih, nanti saya baca”, ungkap Pak Wahyu ketika itu dengan sangat ramah. Campur-campur perasaan saya ketika itu. Plong, senang, juga takut, jangan-jangan tulisan saya menyinggungnya.
Beberapa waktu kemudian, ketika ada pertandingan tenis warga peradilan di Jakarta, kalo tidak salah di Kemayoran, saya berpapasan dengan Pak Wahyu. Yang tidak disangka, Beliau menyapa saya. “Hai...ini yang nulis buku “Sepucuk Surat Untuk Dirjen” ya..nanti saya akan balas”, kurang lebih ungkapan Dirjen seperti itu. Bagi saya, sapaan seorang Dirjen kepada staf pengadilan seperti saya adalah sesuatu yang luar biasa. Spontan hati ini berkomentar, “subhanallah, Ia sangat low profile dan tidak sombong”.
Benar saja, beberapa hari setelah even pertandingan final PTWP di Jakarta, saya mendapati surat dinas Ditjen Badilag, beramplop cokelat. Surat itu di tujukan kepada saya. Saya kaget, surat apa ini, KNP bukan saatnya, atau panggilan pelatihan. Saya buka, ternyata surat yang ditandatangani Dirjen yang berisi ucapan terima kasih dan apresiasi atas Sepucuk Surat untuk Dirjen. Saya sangat terharu, bangga, tentu senang dikirim surat oleh orang nomor satu di lingkungan Badan Peradilan Agama. Hingga kini surat itu saya simpan dengan baik, untuk kenang-kenangan.
Setelah kejadian itu, saya agak berani untuk berkomunikasi dengan Beliau. Maka ketika “iseng-iseng” mengumpulkan tulisan Pak Thomas (sekarang Prof. Dr. Thomas Djamaludin) dan ada penerbit yang mau menerbitkan kumpulan hasil editan saya, saya memberanikan diri untuk meminta beliau untuk memberikan pengantarnya. Akhirnya dalam buku yang saya kasih judul “Menggagas Fiqh Astronomi”, ada sambutan Pak Wahyu. Saya senang sekali !!!.
Dengan dua peristiwa ini, ketika ada kegiatan PTA yang menghadirkan Pak Wahyu, saya selalu disapa. Apalagi Pak Kholil sangat kreatif dalam mengemas kegiatan, selalu membikin buku panduan. Kebetulan saya dipercaya menyusunnya sehingga buku-buku itu selalu sampai ke Jakarta.
Hingga suatu saat, ketika ada kegiatan PTA Bandung di wisma Guna Baleendah Pak Kholil memanggil saya. “Pak Asep kenal dekat dengan Pak Dirjen?”, tanya Pak KPTA kepada Saya. Saya jawab, tidak pak. “ Memang ada apa Pak?”, saya balik nanya. “Pak Dirjen menyampaikan kepada Bapak, Pak Asep mau ditarik ke Jakarta”, ungkap pak Kholil. Saya sangat kaget mendengar kabar itu. Kabar itu pun tidak pernah saya ceritakan kepada siapapun, termasuk isteri. Belum waktunya, pikir saya ketika itu.
Beberapa minggu kemudian, setelah tejadi mutasi pimpinan PTA Bandung dari Pak Kholil ke Pak Ayub, ketika saya pulang mengendarai motor, tiba-tiba hp saya berdering. Saya kaget, sebab yang telpon adalah Pak Wahyu. Sangat grogi menjawab sapaan Dirjen di telpon. “Pak Asep siap apabila ditarik ke Jakarta”, tanya Pak Wahyu ketika itu. Saya jawab, sebagai PNS saya harus siap ditugaskan dimana saja pak, Insya Allah siap. Peristiwa ditelponnya saya oleh pak Dirjen, saya ceritakan kepada Isteri dan orang tua, alhamdulillah mereka semua mendukungnya. Meski, tentang apa yang saya kerjakan di Jakarta masih “blank” saya hanya mengucapkan Bismillah, la haula wala quwata.
Tak lama, setelah telpon dari Pak Dirjen, tepatnya hari Senin siang, saya kembali dapat telpon. Sekarang yang berada di ujung telpon adalah suara Pak Arjuna. “Pak Asep besok (Selasa) ditunggu jam 13.00, di Jakarta, jangan lupa bawa jas”, ungkap pak Arjuna. Saya kembali kaget, kemudian bertanya untuk acara apa. Namun pak Arjuna nampaknya sengaja membuat surprise.” Pokoknya, besok segalanya menjadi jelas”, ungkap Pak Arjuna disertai tawa. Akhirnya saya dianter teman dan Pak Wasek meluncur ke Jakarta, dengan penuh tanda-tanya. Sudah menduga bahwa itu acara pelantikan, tapi jabatan apa yang akan saya emban. Itu semua pertanyaan itu menggelayut di benak saya. Akhirnya misteri itu terungkap saat menjelang pelantikan. Saya dilantik menjadi Kasi Pengembangan Hukum Islam pada Subdit Hukum dan Perundang-Undangan. Selain jabatan formal tersebut, saya diberikan amanat untuk mengelola website Badilag, bersama dengan Bu Endah Purnamasari dan tim.
Saya sebenarnya ingin bertanya kepada Pak Wahyu, informasi apa yang beliau dapat tentang saya sehingga menjadi alasannya menarik saya ke Jakarta. Apalagi disana diberikan amanat untuk mengelola website Badilag. Apakah beliau mengira saya menguasai seluk beluk pengelolaan website yang saat itu di dunia peradilan masih sesuatu hal yang asing. Apakah karena beberapa kumpulan tulisan yang pernah dipublish (terbatas) berasal dari website. Mudah-mudahan jika beliau baca alinea ini, akan membuka tabir “rahasia” ini. Meskipun demikian, pasti alasan itu sebuah alasan yang sangat profesional. Tidak ada alasan berbau nepotisme. Kedekatan antara saya dan Pak Wahyu adalah sama-sama Muslim dan sama-sama warga negara Indonesia yang mulai diperkenalkan oleh Allah pada tahun 2005.
Alasan yang profesional ini pun yang terjadi ketika Badilag menarik beberapa Hakim/pegawai untuk dipekerjakan di Ditjen Badilag seperti Pak Ahmad Cholil (Kini Sedang mengambil S-2 di Melbourne University), Rahmat Arijaya, Nasich Salam ataupun Hermansyah.
Mengelola Website sambil belajar
SK Dirjen dan tugas tambahan menjadi pemicu bagi saya untuk belajar hal baru, yakni mengelola website. Alhamdulillah saya pernah mengelola majalah di SMA, dan juga sebuah jurnal yang bernama “Justisia” di PA Cimahi, tahun 2000-an. Pengalaman ini sebagai bekal, dan sengaja saya tumbuhkan dalam pikiran saya bahwa itu modal yang ada dalam diri saya. Paling tidak hal ini cukup mengurangi krisis percaya diri di awal-awal tugas di Jakarta.
Alhamdulillah, saya mendapat partner tim yang pinter dan ahli secara akademis di bidang pengelolaan website, Ibu Endah Purnamasari. Saya banyak belajar dari ibu Endah ini. Sehingga di awal-awal 2006, saya yang menyediakan konten, ibu Endah yang memasukkan ke sistem. Ternyata “tantangan” membuat kita bisa belajar dengan cepat. Selain itu “Label” yang diberikan oleh Pak Wahyu bahwa saya “ahli” mengelola website, memberikan andil yang luar biasa untuk belajar. Saya jadi ingat, teori labeling dalam kriminologi yang digagas Frank Tannenbaum (1938). Menurutnya, kejahatan bukan sepenuhnya dikarenakan individu kurang mampu menyesuaikan diri dengan kelompik, tetapi dalam kenyataannya, individu tersebut telah dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan kelmpoknya. Namun dalam konteks saya, saya di paksa untuk menyesuaikan diri bahwa saya ini ahli dalam mengelola website.
Akhir tahun 2006, saya minta ke Pak Dirjen untuk menambah kekuatan pengelola website. Saya merekomendasikan Helmi Indra Mahyudin, honorer PTA Bandung, untuk ditarik ke Badilag. Alhamdulillah, dengan bergabungnya sarjana filsafat tetapi mahir IT, bisa memainkan semua alat musik, dan orangnya yang kocak ini, menjadi tambahan rujukan tempat belajar bagi saya. Tim semakin kokoh dengan bergabungnya CPNS angkatan 2006 ke Tim Website Badilag. Mereka adalah Hirpan Hilmi, Wahyu Setiawan, Rosmadi, dan M. Yusuf. Empat orang CPNS ini yang terpilih setelah melewati fit and proper test yang dilaksanakan oleh kami.
Menjadi Doktor
Ketika mulai bertugas menjadi Kasi Pengembangan Hukum Islam, saya kost di Jakarta. Seminggu sekali pulang ke Bandung. Namun karena suasana di kostan sepi, dan terus terang panas, saya sampaikan jika diizinkan saya ingin tidur di kantor, dan alhamdulillah diizinkan. Demikian pula ketika tim website badilag bertambah personil, mereka pun memilih untuk menjadi Doktor, alias mondok di kantor. Tentu saja, kalau bu Endah tidak ikut program Doktor ini.
Suasana Malam di ruang redaksi badilag.net. Kekompakan, kebersamaan terjalin siang malam. Helmi (kiri) dan Wahyu Setiawan (kanan) sedang melaksanakan peran lain selain redaktur badilag.net
Di malam hari-lah, kami mengupdate badilag.net.Badilag mulai dilengkapi menu-menu. Menjawab buku tamu, update artikel, membaca email, hingga merekap berita duka, banyak yang dilakukan malam hari. Ide-ide kreatif seperti pengadaan lomba, pembuatan film “promosi” badilag.net, juga terjadi di malam hari. Kami seringkali bercanda jika mentari sudah terbenam dengan mengatakan “ Selamat Datang di Suasana Badilag di malam hari”.
Kami disindir “maniak kerja”, tapi begitulah ketika kita mencintai pekerjaan. Tidak ada rasa capek, lelah, segalanya terasa “enjoy”.
Seringkali kami mendapat telpon dari Pak Wahyu. “Halo kawan-kawan, kok jam sebelas begini belum tidur “, sapanya melalui hp saya ataupun tim yang lain. Pak Wahyu menyapa seperti itu karena beliau memperhatikan update berita, terutama berita-berita yang dikirim dari daerah yang dimuat di menu seputar peradilan agama.
Atau apabila Pak Wahyu bertugas ke luar daerah, kemudian ia menyusun berita dan dikirim kepada kami, malam itu juga kami muat. “Mi (sapaan Helmi Indra)...beritanya sudah saya baca, bagus”, begitulah Pak Wahyu selalu memonitor dan memberikan apresiasi terhadap pekerjaan anak buahnya.
Dimonitor dan Diapresiasi
Pak Wahyu adalah sosok yang sangat berwibawa dan dihormati, itu yang kami rasakan. Sikap saya ini sepertinya tidak akan dibantah, paling tidak oleh warga peradilan agama. Namun sebagai sosok yang berwibawa dan dihormati, Pak Wahyu selalu memiliki cara untuk membuat stafnya dekat dengan beliau. Salah satu caranya, Pak Wahyu sangat terbiasa memuji hasil kerja anak buahnya. Tidak jarang, pujian tersebut diungkapkan didepan publik.
Sosialisasi tiada henti. Bersama dengan Pak Dirjen dan para pengelola website PTA se-Indonesia
Pembaca pasti pernah merasakan “sensasi” dipuji. Apalagi jika yang memuji adalah orang nomor satu, didepan publik lagi. Pasti sensasinya luar biasa!!!. Itulah salah satu cara Pak Wahyu mengapresiasi hasil kerja stafnya. Bagi saya apresiasi, ucapan terima kasih baik diucapkan langsung, melalui sms atau telpon dari Pak Dirjen (pimpinan) melebihi dari satya lencana karya satya.
Tidak jarang ketika kami memuat berita tentang kreativitas pengadilan di daerah, seperti PA Wonosari, Kendal, atau Cilacap, Pak Wahyu memberikan komentar langsung. Atau bahkan ditelpon langsung adminnya. Pasti sang admin merasakan apa yang pernah saya rasakan. Sensasi senang luar biasa !!!.
Selain memuji, seringkali Pak Wahyu memberikan kritik jika ada judul berita yang provokatif dan kontraproduktif bagi peradilan agama. Tidak hanya mengkritik, ia memberikan arahan yang jelas, sehingga kami mudah memperbaikinya.
Bersambung…