logo web

Dipublikasikan oleh Hermansyah pada on . Dilihat: 6944

Sumber foto: www.pa-lewoleba.net

Di Sidang Pertama perceraian (permohonan jatuhnya talak) di salah satu Pengadilan Agama:

“Mengapa Bapak mau menjatuhkan talak, alasannya di sini kurang kuat,” tanya Ketua Majelis Hakim.

“Istri saya yang meminta, Yang Mulia,” Jawab si Pemohon alias Suami.

“Betul, Ibu? Mengapa?,” tanya Hakim kepada sang Istri mengkonfirmasi.

“Saya selama ini tidak mendapatkan nafkah, banyak ketidakcocokan juga,” jawab sang Istri.

“Hanya itu? Seharusnya Ibu bersabar, mungkin belum ada rejeki yang cukup, bukankah itu menambah pahala. Mengapa harus bercerai?”

“Alasan kedua, suami saya berselingkuh dengan perempuan lain, Yang Mulia.”

“Suami Ibu berwajah rupawan, pantas saja banyak yang suka. Ibu jangan suka cemburu,” Anggota hakim yang lain serentak tertawa terkikik.

“Alasan ketiga, suami saya melakukan kekerasan, memukul saya,” tambah sang Istri.

“Asal Bapak darimana? Hakim mengalihkan pertanyaan pada sang Suami.

“Sumatera dan lama tinggal di (salah satu kota) di Sulawesi, Yang Mulia.”

“Kalau Ibu darimana?

“Asli Jawa.”

“Pantas saja, ini ada perbedaan budaya, Ibu harus mengerti. Ibu yang seharusnya lebih banyak mengalah...”

Pak Hakim, mengapa nasihatnya hanya untuk perempuan? Relasi antara dua insan laki-laki dan perempuan adalah masalah paling kompleks di dunia. Mas Choliluna Achmad (nama akun Facebook saya), mungkin diperlukan strategi jitu terutama untuk menjaga spirit dari apa yang telah dikembangkan dalam membangun perspektif yang adil dan setara bagi para Hakim Pengadilan Agama.

***

Saya berterima kasih kepada Mbak Lisa dan kawan-kawan lain diluar pengadilan yang begitu peduli terhadap perkembangan yang terjadi di lingkungan peradilan agama khususnya. Pengamatan, masukan dan kritik konstruktif dari pihak luar sangat dibutuhkan demi perbaikan kinerja peradilan baik dari sisi penanganan perkara maupun dari segi pelayanan publik pada umumnya.

Saya pun kemudian memberikan komentar atas kiriman di Facebook ini. Saya katakan mudah-mudahan hal ini dapat dijadikan evaluasi khususnya untuk para hakim pengadilan agama/mahkamah syar’iyah dan para penentu kebijakan agar dapat merumuskan bagaimana konsep kesetaraan dan keadilan bisa lebih diimplementasikan sehingga pada akhirnya nanti strategi penanganan perkara dan putusan yang tidak bias jender dan tidak cenderung patriarkal bisa terwujud.

Saya memang tidak menanyakan lebih lanjut ke Mbak Lisa bagaimana nasihat Majelis Hakim kepada pihak Pemohon dalam perkara tersebut. Apa benar nasihatnya hanya untuk pihak isteri (Termohon)? Apa iya suami yang nota bene mengajukan perkaranya ke pengadilan tidak diberikan nasihat serupa? Saya berhusnudzhan, Majelis Hakim memberikan nasihat yang berimbang dan memperlakukan secara equal kedua belah pihak dalam persidangan. Dan semuanya dilakukan demi terwujudnya kembali rumah tangga yang rukun diantara keduanya dan tidak melanjutkan perkaranya di pengadilan.

Akan tetapi, tetap saja meski nasihat diberikan kepada kedua belah pihak, nasihat kepada pihak isteri seperti yang diposting Mbak Lisa diatas menurut hemat saya kurang patut. Dan buat saya sendiri, itu sangat mengganggu. Coba bayangkan kalau kita yang menjadi pihak isteri (termohon) dalam perkara itu! Tentu kita pun bisa memahami perasaannya.

Konsep kesetaraan dan keadilan harus menjadi salah satu prinsip dasar bagi kita semua dalam memperlakukan para pihak. Jangan sampai ada salah satu pihak yang merasa diperlakukan secara tidak fair dan equal di muka persidangan. Konsep ini saya yakin sudah dipahami betul oleh seluruh hakim peradilan agama, hanya saja dalam tataran praktek, kita kadang khilaf dan terlupa.

Bukan bermaksud hendak menggurui, terlebih saya cuma hakim junior yang masih cetek pengalaman. Saya hanya ingin mengingatkan diri saya sendiri dan rekan-rekan hakim lainnya bahwa betapa perkara perceraian adalah perkara yang sangat sensitif yang jika penanganannya tidak dilakukan secara hati-hati berdasarkan prinsip kesetaraan dan keadilan, bukannya tidak mungkin akan menyisakan bekas luka yang akan lama menghilang, yang pada akhirnya akan menciptakan imej (buruk) tersendiri bagi masyarakat luas terhadap hakim peradilan agama.

Marian Roberts dalam bukunya ‘Mediation in Family Disputes; Principles of Practices’ (2008), mewanti-wanti bahwa sengketa keluarga seperti perkara perceraian ini melibatkan tingkat emosional yang tinggi. Jadi, penangannya pun harus dilakukan secara hati-hati betul seperti dengan melihat latar belakang sosial ekonomi dan perasaan kedua belah pihak.

Kembali ke posting Mbak Lisa diatas, ada beragam komentar yang menanggapinya. Umumnya mereka kecewa dan marah dengan perlakuan hakim yang seperti itu. Ada beberapa komentar yang berupa usul juga yang saya kira bagus untuk diakomodasi. Seperti dari Rita Pranawati, mahasiswi postgraduate di Monash University, Melbourne Australia. Penelitian Mbak Rita di postgraduate juga sangat berkaitan erat dengan kinerja hakim peradilan agama. Ia mengusulkan perspektif gender dan equity mungkin perlu diberikan keada semua Cakim (dalam Diklat Cakim).

Ada juga komentar dari Ibu Lies Marcoes, aktivis jender yang juga bekerja di The Asia Foundation. Bu Lies banyak terlibat dalam pelatihan sensitivitas jender hakim peradilan agama di Aceh. Ia mengatakan: “Ini soal cara pandang, maindset. Cara pandangnya memang bias gender. Penegak rumah tangga adalah isteri. Jadi isterilah yang harus terus menerus dituntut untuk tabah, kuat, sabar dalam mengarungi rumah tangga. Isteri adalah pelayan suami dan anak-anak. Jadi pasti bukan soal diskusi dan teguran bagi para hakim melainkan harus melakukan perubahan cara melihat keadilan. Dan itu adanya di kurikulum IAIN/UIN dan di Pusdiklat.”

Bu Lies juga bilang sebenarnya Mahkmah Syar’iyah Aceh sudah menerbitkan buku Parameter Sensitivitas Gender Hakim di muka peradilan. Buku itu bisa dilihat disini.

Terakhir, ada komentar balik dari Mbak Lisa atas postingnya itu. Berikut komentar lengkapnya:

“Terima kasih banyak atas komentar dan kritiknya yang membangun. Suatu hal yang membanggakan karena Pengadilan Agama menurut saya telah membangun banyak hal positif. Salah satunya ditunjukkan dari hasil survey tentang Akses dan Kesetaraan pada tahun 2007 yg menunjukkan kepuasan yg sangat tinggi oleh para pencari keadilan dan sebagian besar mereka adalah perempuan. Juga inisiatif terkini adanya Posbakum yg sangat membantu.

Namun, ternyata mindset, perspektif yg bias merupakan problem yang latent. Jadi saya setuju sekali dengan pendapat mbak Lies Marcoes soal harus ada perubahan mendasar dalam kurikulum di Pusdiklat atau dalam proses pendadaran dan persiapan yg lain termasuk unt KUA. Cuma problemnya, banyak inisiatif yang telah dilakukan terkait dengan ini, namun menjaganya untuk tetap menjadi semacam "eternal flame" itu yang harus kita pikirkan bersama. Juga bicara soal kesadaran itu seperti bicara langsung dengan hati, dan untuk terus mempengaruhinya, mungkin harus diisi lebih rutin, melebihi rutininas minum obat yang 3 kali sehari.”

Sebagai penutup, begitu banyak elemen publik yang begitu mencintai peradilan agama. Peradilan agama juga sudah dikenal banyak pihak dalam dan luar negeri dalam hal kemajuannya di bidang reformasi peradilan terutama dalam hal pelayanan publik, keterbukaan informasi, access to justice dan lain-lainnya. Jangan sampai predikat baik yang sudah kadung melekat itu ternyata berbeda ketika dilihat di lapangan. Mari kita terus tingkatkan pelayanan judicial maupun non judicial demi kemaslahatan bersama, amiiin. Wallahu a’lam bishshowab.

Melbourne, 5 Maret 2012

Ditulis oleh Ahmad Cholil, Hakim PA Bekasi yang sedang kuliah pascasarjana di Melbourne University.

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice