Seru, Diskusi Hukum di PA Padang Panjang
Padang Panjang | pa-padangpanjang.go.id,
Pada hari ini, Selasa, 11 Muharram 1436 H bertepatan dengan 4 November 2014 di adakan agenda rutin IKAHI PA Padang Panjang, yaitu diskusi hukum. Tema yang diangkat pada diskusi kali ini cukup menarik yaitu tentang kewenangan hakim tunggal. Tampil sebagai pemakalah, Salman, S.H.I., M.A.
Pada kesempatan ini hadir seluruh hakim kecuali M. Nur, S.Ag. yang sedang menjalankan dinas luar. Ketua PA Padang Panjang, Dra. Asmidar, memberikan apresiasi yang sangat positif terhadap tema yang didiskusikan ini karena memiliki peluang terobosan hukum yang diharapkan bisa bermanfaat bagi praktek penegakan hukum.
Yang dimaksud dengan hakim tunggal dalam pembahasan tersebut adalah hakim yang menjalankan persidangan secara tunggal, sendiri, tanpa kehadiran hakim yang lain. Terhadap definisi ini, setidaknya terdapat dua sisi yang bisa dibahas lebih jauh: pertama, hakim yang memang ditunjuk dengan PMH sebagai hakim tunggal, kedua, hakim yang tidak ditunjuk dengan PMH sebagai hakim tunggal, melainkan menjalankan tugas untuk menunda persidangan karena ketidakhadiran ketua majelis disebabkan oleh adanya tugas lain yang tidak bisa ditinggalkan atau karena kondisi tertentu yang tidak bisa diatasi seperti sakit, dan lain sebagainya.
Terkait poin pertama, telah dimaklumi bahwa dalam kondisi tertentu pemeriksaan dapat dilaksanakan dengan hakim tunggal setelah terlebih dahulu mendapat izin dari Mahkamah Agung RI (Abdul Manan, h. 145). Dalam situasi ini, hakim tunggal mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan perkara hingga tuntas sesuai aturan hukum formal yang ada.
Adapun terkait poin kedua, yaitu hakim yang tidak ditunjuk dengan PMH sebagai hakim tunggal, melainkan hanya menjalankan tugas untuk menunda persidangan karena ketidakhadiran ketua majelis, di sini terdapat beberapa hal yang bisa dibahas lebih jauh, dan inilah sesungguhnya yang menjadi fokus pembahasan tulisan ini. Di antara pertanyaan yang bisa diajukan adalah, apakah memang tugas hakim tunggal dalam kondisi seperti digambarkan poin kedua ini betul-betul terbatas hanya pada agenda penundaan sidang, atau sebenarnya hakim tersebut juga bisa menjalankan tugas lain.
Aturan yang berbicara tentang kondisi di atas, misalnya bisa kita temukan dalam Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama (Buku II), di mana ditegaskan bahwa dalam kondisi di mana ketua majelis berhalangan, persidangan dibuka oleh hakim anggota yang senior untuk menunda persidangan. (h. 29).
Dalam praktek persidangan, kita akan menemukan bahwa hakim tunggal ternyata juga bisa melakukan agenda-agenda lain selain yang diatur di atas seperti memeriksa identitas pihak, memberi nasehat, dan memerintahkan pihak untuk menempuh mediasi. Hal-hal ini perlu dilakukan khusus terkait dengan upaya menegakkan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan. Dalam hal pemeriksaan identitas misalnya, bila ternyata terdapat kesalahan pada identitas pihak dan kemudian dengan arahan hakim langsung diperbaiki, tentu saja yang menghemat waktu pada persidangan berikut.
Adapun tentang penasehatan, aturan hukum formal memerintahkan, bahwa dalam setiap perkara perdata, di mana kedua belah pihak hadir di persidangan, hakim wajib mendamaikan kedua belah pihak (Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg). Di dalam Pasal 82 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 juga ditegaskan bahwa dalam perkara perceraian, upaya perdamaian dapat dilakukan dalam setiap persidangan pada semua tingkat peradilan.
Hakim perlu bersungguh-sungguh menjalankan agenda penasehatan. Rendahnya tingkat keberhasilan upaya perdamaian dalam perkara-perkara sengketa perkawinan di Pengadilan Agama, boleh jadi disebabkan oleh kurang maksimalnya hakim dalam menjalankan penasehatan. Sesungguhnya adalah sangat baik bila hakim menyediakan waktu yang cukup untuk menyampaikan nasehat kepada para pihak yang hadir di persidangan, baik yang hadir hanya satu pihak ataupun kedua-duanya.
Pertimbangan ini juga bisa dipergunakan terkait dengan perintah kepada para pihak untuk menempuh mediasi. Bila kita melihat aturan yang ada, di dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, pasal 7 ayat 1 ditegaskan bahwa, “Pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi.” Pasal ini tidak merinci apakah yang dimaksud dengan kata “hakim” dalam pasal tersebut adalah majelis hakim lengkap atau juga mencakup hakim tunggal. Karenanya, pasal di atas sebaiknya ditafsirkan sesuai dengan falsafah mediasi itu sendiri, yang di antaranya adalah untuk mengurangi tumpukan perkara di pengadilan.
Di samping itu, agaknya tidak ditemukan potensi masalah hukum bila hakim tunggal memerintahkan pihak untuk segera memasuki tahapan mediasi. Sebaliknya, langkah ini justru memiliki banyak dampak positif dan kebaikan baik bagi para pihak maupun majelis. Terhadap pihak, perintah hakim tunggal untuk melakukan mediasi akan semakin mengefisienkan waktu persidangan sehingga frekuensi kedatangan mereka ke Pengadilan Agama setidaknya bisa dipotong satu kali persidangan. Secara ekonomis, hal ini juga menguntungkan karena bisa mengurangi biaya transportasi mereka ke pengadilan.
Dengan pembahasan ini, agaknya dapat dipahami bahwa maksud dari ketentuan bahwa hakim tunggal dalam kondisi di mana ketua majelis tidak hadir bertugas untuk menunda persidangan adalah dalam kerangka agenda utama persidangan, yaitu bahwa agenda inti persidangan yang harus dilakukan oleh hakim tunggal tersebut adalah menunda persidangan. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan, atau bahkan sesungguhnya dianjurkan agar hakim tersebut juga mengisi persidangan dengan agenda-agenda penting lainnya.
Sebagai alternatif terakhir, bila pilihan ini tidak bisa diambil dengan dasar formal yang kuat, maka setidaknya hakim tunggal tersebut sebaiknya atau bahkan seharusnya tetap mengambil kebijakan untuk mengarahkan para pihak pada proses mediasi yang pencatatannya di dalam Berita Acara Sidang ditempatkan pada persidangan berikutnya dengan majelis lengkap.
Banyak tanggapan disampaikan oleh para peserta diskusi yang dimoderatori oleh Ridwan Harahap, S.H. ini. Rekomendasi akhir bahkan sampai pada harapan bahwa hakim senior yang pada awalnya bertugas menunda persidangan itu juga bisa menandatangani penetapan mediator sehingga menjadi semakin jelas posisinya dalam tata urutan persidangan.
Hal-hal yang dibahas dalam diskusi ini belum bersifat final. Wakil Ketua Pengadilan Agama Padang Panjang, Drs. M. Lekat, akan membawa hasil pembahasan ini ke PTA Padang untuk dikonsultasikan lebih lanjut.