Rakor Pelaksanaan Syariat Islam MS Se Aceh

Ketua MS Aceh sedang memaparkan makalahnya
Aceh | lhoksukon.ms-aceh.go.id
Berangkat dari belum efektifnya pelaksanaan syariat Islam di Aceh, yang dikarenakan belum adanya kesesuaian langkah dan kesepahaman antar unsur pemerintah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, sebagaimana hasil penelitian dan penyusunan naskah tentang pelaksanaan syariat Islam yang dilaksanakan pada Desember 2011 di 10 Kabupaten/Kota dan tingkat Provinsi, maka selama 2 hari penuh, tanggal 10 dan 11 Juni 2013, Dinas Syariat Islam Aceh menyelenggarakan Rapat Koordinasi Pelaksanaan Dinul Islam di Grand Nangro Hotel Banda Aceh.
Rapat koordinasi tersebut melibatkan Dinas Syariat Islam Kabupaten Kota, Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), Unsur Pengelola Pendidikan, Tokoh Adat/Tokoh Masyarakat dan Lembaga Sosila Keagamaan.
Menampilkan 4 (empat) pemakalah utama, yaitu Prof. Dr. Syahrizal Abbas, MA. (Ka. Dinas Syariat Islam Aceh), Prof. Dr. Alyasa’ Abubakar, MA. (Guru Besar Pasca Sarjana IAIN Ar-Raniri), Dr. H. Idris Mahmudy, SH.,MH. (Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh) dan KABIDKUM POLDA Aceh, Kombes Budiono, serta 5 (lima) perwakilan Dinas Syariat Islam Kabupaten/Kota; Lhokseumawe, Simeulue, Aceh Barat, Langsa dan Subulussalam.
Beberapa informasi penting mengemuka dalam setiap sesi tanya jawab di antaranya ialah bahwa Draf Qanun Hukum Jinayat dan Hukum Acara Jinayat sudah memasuki tahap pansus di DPRA dan Qanun Syariat Islam, yang dirancang untuk memayungi semua Qanun, baru pada tahap prolegislasi di DPRA.
Hal lain yang sangat disesalkan para Kepala Dinas Syariat Islam Kabupaten/Kota ialah, adanya oknum-oknum aparat yang memiliki senjata yang membacking tempat-tempat maksiat, lokasi judi dan isteri aparat yang melanggar pemakaian busana muslimah, sehingga ketika dilakukan rajia pelaksanaan syariat Islam, Dinas Syariat Islam dan Wilayatul Hisbah (WH) tidak dapat bertindak lebih jauh.
Berkaitan dengan kasus perceraian di Makamah Syar’iyah, ternyata masyarakat Aceh memeliki spesipikasi dalam perceraian. Tidak jarang para pihak yang mengajukan gugat cerai atau cerai talak ke Mahkamah Syar’iyah, pada dasarnya telah bercerai terlebih dahulu bahkan telah diceraikan oleh suami dengan talak tiga dan itu berlaku dan diakui oleh masyarakat, sementara ketika majelis hakim memutus, putusan yang dijatuhkan ialah jatuh talak satu raj’i.
Sekaitan dengan itu, Kepala Dinas Syariat Islam Kota Langsa mempertanyakan putusan Mahkamah Syar’iyah yang menjatuhkan talak satu khul’i terhadap cerai talak seorang suami, yang sebelumnya telah menjatuh talak tiga pada isterinya.
Lalu, sesuai dengan putusan mahkamah Syar’iyah yang memutus dengan talak satu, mereka rujuk kembali. Setahu masyarakat, suami isteri itu telah bercerai dengan talak tiga sehingga tidak mungkin dirujuk kembali oleh suaminya dan ini berakibat heboh di kampung yang bersangkutan.
Dari kiri: KMS Meureudu, KMS Lhoksukon, KMS Sinabang dan KMS Kuala Simpang
Masyarakat menuduh suami isteri tersebut telah berzina dan mereka mengusir pasangan dimaksud karena dianggap telah menodai kampung mereka.
Menanggapi kasus tersebut, Ketua Mahkamah Syar’iyah, Dr. H. Idris Mahmudy, SH.,MH. memberi solusi bahwa bila ternyata para pihak telah benar-benar bercerai dengan talak tiga lalu mereka mengajukan perceraian ke Mahkamah Syar’iyah, maka dictum/amar putusan yang harus dijatuhkan ialah “jatuh talak satu kali yang ketiga”.
Yang dapat disimpulkan dari pertemuan itu ialah optimisme para peserta akan pelaksanaan syariat Islam secara kaffah di bumi serambi Makkah walau jalanan masih jauh, terjal berliku penuh onak dan duri. Semoga. (zs/kms.lsk.)