Periode Januari 2014, Perceraian Masih Mendominasi Penerimaan Perkara di PA Banjarbaru

Banjarbaru | pa-banjarbaru.pta-banjarmasin.go.id
Tahun anggaran 2014 telah berjalan dan PA Banjarbaru tampaknya akan menerima pendaftaran perkara yang cukup banyak, bahkan dapat melebihi penerimaan tahun lalu.
Bulan Januari saja, PA Banjarbaru telah menerima 53 perkara yang didaftarkan di Kepaniteraan. Angka tersebut melebihi rataan tiap bulan yang esetimasinya berada pada angka 50 perkara. Maka, diperkirakan jumlah penerimaan perkara tahun ini dapat menyamai atau bahkan melebihi jumlah perkara yang diterima tahun lalu.
Hanya tiga jenis perkara
Pada periode Januari 2014 ini, tampaknya variasi perkara yang diterima masih terbatas pada tiga jenis perkara yang selama ini mendominasi perkara di PA Banjarbaru, yaitu gugatan perceraian, permohonan pengesahan nikah (itsbat nikah), dan permohonan penetapan ahli waris. Berdasarkan laporan bulanan yang diterima dari Kepaniteraan Muda Hukum, jumlah perkara yang diterima bulan Januari 2014 adalah sebanyak 53 perkara dengan rincian sebagai berikut:
- Permohonan Cerai Talak sebanyak 8 perkara;
- Gugatan Cerai (cerai gugat) sebanyak 35 perkara;
- Permohonan Pengesahan Nikah (itsbat Nikah) sebanyak 4 perkara;
- Permohonan Penetapan Ahli Waris sebanyak 6 perkara;
Lagi dan lagi, pihak istri paling banyak menggugat cerai
Dari data statistik tersebut, tergambar jelas bahwa rasio gugatan perceraian yang diajukan di PA Banjarbaru masih didominasi dari pihak istri. 35:8 menunjukkan bahwa pihak istri pada satu sisi paling banyak merasakan tekanan dalam prahara rumah tangga yang dialaminya. Logikanya sederhana, seseorang yang sedang terperangkap dalam suatu prahara akan berusaha mencari cara agar dapat segera keluar dari prahara tersebut.
Dalam konflik rumah tangga, pihak yang merasa paling sengsara atau menderita dari polemik atau prahara rumah tangga pada umumnya lebih berinisiatif untuk menyelesaikannya sesegera mungkin. Dalam kultur masyarakat kita, masih jamak anggapan bahwa perceraian adalah solusi terbaik dan paling rasional.
Mengacu pada data statistik tersebut di atas dapat disimpulkan sementara bahwa pihak istri masih banyak yang mengalami penderitaan yang luar biasa atas prahara rumah tangganya. Istri, secara naluriah tidak ingin membiarkan dirinya dan anak-anaknya terus-terusan berada dalam tekanan batin akibat prahara yang terjadi dan karenanya inisiatif menggugat cerai masih lebih banyak berasal dari pihak istri.
Sejalan dengan fakta di persidangan
Simpulan sementara tersebut ternyata sejalan dengan fakta di persidangan. Tidak jarang ditemukan fakta miris bahwa hampir seluruh gugatan cerai yang diajukan pihak istri berakar pada satu hal, yaitu tidak adanya tanggung jawab dari pihak suami sebagai kepala keluarga untuk menafkahi dan melindungi keluarga. Bahkan, tidak jarang para suami yang digugat sudah menikah lagi dengan perempuan lain tanpa melalui prosedur hukum yang sah sebagaimana diatur dalam perundang-undangan.
Tampak terlihat biasa memang, apalagi gugatan cerai oleh sebagian dipandang sebagai perkara sumir. Namun, kenyataannya tidak demikian. Ada aspek lain yang jauh lebih penting dari sekadar pembuktian secara hukum serta putusan apa yang akan ditempuh. Ada nilai-nilai luhur dalam beurmah tangga yang tampaknya kian hari kian tereduksi oleh anggapan sebagian orang yang “menggampangkan” terjadinya perceraian dan “mereduksi” secara sosial akan kesucian nilai dan arti penting suatu rumah tangga yang sakinah. Miris memang, namun itulah kenyataannya.
Dimana peran Pengadilan Agama?
Ke depan, mungkin kita boleh berharap bahwa jumlah gugatan cerai yang diajukan oleh istri (juga oleh suami) dapat berkurang seiring dengan semakin teredukasinya masyarakat akan pentingnya menjaga keutuhan rumah tangga dengan menyadari kedudukan, fungsi, dan tanggung jawab masing-masing.
Kita pun boleh berharap, Pengadilan Agama tidak lagi disimbolkan sebagai pemutus perkawinan alias pengetok palu perceraian, namun menjadi garda terakhir menyelamatkan sekian banyak perkawinan yang mengalami prahara dan berada di ambang perceraian.
Pengadilan Agama pada dasarnya dapat mengambil peran penting dalam hal ini. Majelis Hakim dalam memeriksa perkara, diharapkan agar tidak selalu terpaku pada norma-norma yuridis semata, namun memperhatikan pula aspek lain dari perkara perceraian ini, yaitu kesadaran untuk berusaha semaksimal mungkin mempertahankan bahtera rumah tangga yang telah dibinanya.
Majelis Hakim harus mengubah cara pandangnya terhadap perkara perceraian sebagai perkara yang “luar biasa” karena perkawinan bukan hanya sekedar akad atau perjanjian nikah yang berimplikasi duniawi semata, melainkan juga berimplikasi ukhrawi. Pada tataran yang lebih luas, perkawinan yang langgeng akan membentuk keluarga sakinah yang menjadi fondasi bagi terwujudnya masyarakat yang sejahteran, tenteram, adil, dan makmur. Semoga. (mna)
