Pengadilan Agama Nanga Pinoh Peduli Nasib Mantan Istri dan Anak Pasca Perceraian
Nanga Pinoh I PA. Nanga Pinoh
Dalam pandangan masyarakat luas, seringkali kita menemukan sebuah istilah yang disematkan untuk Pengadilan Agama (PA) dan Kantor Urusan Agama (KUA). Sebuah label yang menurut masyarakat cocok untuk diberikan kepada kedua lembaga tersebut, yaitu Pengadilan Agama adalah tempat menceraikan orang sedangkan Kantor Urusan Agama adalah tempat menikahkan orang. Hal itu seolah menjadi citra buruk bagi Pengadilan Agama.
Sekilas, anekdot tersebut tentu bukan suatu yang salah. Mengingat memang benar jika orang yang beragama Islam ingin melakukan perceraian, maka harus melalui Pengadilan Agama. Begitupun jika ingin menikah, maka harus melalui KUA.
Namun, anekdot tersebut tidaklah benar. Hal itu hanya terjadi, dikarenakan masyarakat belum mengerti sepenuhnya tentang bagaimana sebuah Pengadilan Agama menangani kasus perceraian. Dalam setiap penangan perkara contohnya, khususnya dalam perkara perceraian, Majelis Hakim tidak akan semena-mena menjatuhkan putusan untuk memisahkan para pihak yang bersengketa, melainkan terlebih dahulu diperintahkan untuk memberikan nasihat kepada para pihak. Nasihat tersebut dimaksudkan agar para pihak, khususnya Pemohon/Penggugat berpikir kembali tentang perceraian yang diajukannya. Pernikahan yang sudah dibangun sebaiknya dipertahankan. Kesalahpahaman yang terjadi dikomunikasikan dan diselesaikan dengan baik di internal keluarga.
Selain itu, majelis hakim juga mengupayakan upaya perdamaian melalui Mediasi untuk kedua belah pihak. Hal itu berdasarkan amanat Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, akan memerintahkan para pihak untuk menempuh mediasi. Dalam mediasi tersebut, mediator akan mengarahkan kepada para pihak untuk mengatasi prahara rumah tangganya agar bisa rukun kembali.
Dari semua rangkaian beracara di Pengadilan Agama, jika hakim menjatuhkan putusan terutama cerai talak, juga akan tetap memperhatikan nasib Termohon dan anak-anak Pemohon serta Termohon pasca perceraian.
Dalam UU No 1 tahun 1974 sebagaimana diubah dengan UU No 16 Tahun 2019 jo PERMA No 3 Tahun 2017 jo SEMA No 3 tahun 2018 jo SEMA No 2 Tahun 2019 jo Kompilasi Hukum Islam, juga telah disebutkan tentang Hak-Hak Perempuan Pasca terjadinya perceraian. Di mana, jika terjadinya perceraian, maka perempuan (Termohon) akan mendapatkan hak-haknya berupa Nafkah Iddah (nafkah dalam masa tunggu), adalah nafkah yang wajib diberikan oleh mantan suami kepada mantan istri yang dijatuhi talak selama mantan istri menjalani masa iddah (masa tunggu), kecuali jika mantan istrinya melakukan nusyuz (pembangkangan). Nafkah Madhiyah (nafkah masa lampau), adalah nafkah terdahulu yang dilalaikan atau tidak dilaksanakan oleh mantan suami kepada mantan istri sewaktu keduanya masih terikat perkawinan yang sah. Mut’ah (penghibur), pemberian dari mantan suami kepada mantan istrinya yang dijatuhi talak baik berupa uang atau benda lainnya.
Sementara itu, anak-anak Pemohon dan Termohon juga berkah mendapatkan Nafkah Madhiyah Anak (nafkah lampau anak), adalah nafkah terdahulu yang dilalaikan atau tidak dilaksanakan oleh ayah (mantan suami) kepada anaknya sewaktu anak tersebut belum dewasa dan mandiri (berusia 21 tahun). Biaya Hadhanah (pemeliharaan) dan nafkah anak, adalah biaya pemeliharaan dan nafkah untuk anak yang hak hadhanah (hak pemeliharaannya) telah ditetapkan kepada salah satu dari orang tuanya atau keluarga lain yang menggantikannya.
Berdasarkan peraturan-peraturan yang ada tersebut, Pengadilan Agama Nanga Pinoh telah menerapkan isi UU dan PERMA tersebut. Hal tersebut dibuktikan dengan beberapa Putusan Majelis Hakim Pengadilan Agama Nanga Pinoh yang amarnya menghukum Pemohon agar memberikan hak-hak istri dan anak pasca perceraian.
Pelaksanakan UU dan PERMA tersebut dilakukan dalam rangka menjaga perempuan dan anak pasca perceraian, dan dengan begitu pula anekdot masyarakat terhadap Pengadilan Agama tidak akan buruk lagi. (Irf)