logo web

Dipublikasikan oleh Ridwan Anwar pada on .

PA Tais Gelar Pemeriksaan Setempat di Kawasan Perbukitan

Seluma | PA Tais

Kamis, 21 Maret 2019, Pengadilan Agama Tais melaksanakan bantuan Pemeriksaan Setempat (PS) dalam perkara sengketa harta bersama 0695/Pdt.G/2018/PA.Bn. Objek perkara berupa tanah perkebunan yang dalam guatan disebutkan seluas 200 x 200 meter ini diajukan di Pengadilan Agama Bengkulu. Berhubung letak perkebunan di wilayah yurisdiksi Pengadilan Agama Tais, tepatnya di Desa Padang Capo Ulu, Kecamatan Lubuk Sandi, Kabupaten Seluma, maka Pengadilan Agama Bengkulu mendelegasikan Pemeriksaan Setempat kepada Pengadilan Agama tempat objek tersengketa berada. Hal ini memedomani ketentuan Pasal 180 Ayat (3) RBg/Pasal 213 RV.

Ketua Pengadilan Agama Tais telah menunjuk Majelis Hakim untuk melakukan Pemeriksaan Setempat sebagaimana dimohonkan oleh Pengadilan Agama Bengkulu. Pemeriksaan Setempat penting dilakukan setidaknya untuk memastikan wujud dan keberadaan objek sengketa menyangkut letak, luas dan batas-batasnya. Pada tahapan selanjutnya, hasil dari Pemeriksaan Setempat dapat dijadikan dasar bagi hakim untuk memutus perkara. Selain itu, Pemeriksaan Setempat akan menghindarkan putusan hakim dari kemungkinan tidak dapat dieksekusi disebabkan dalil-dalil yang diajukan Penggugat dalam perkara bersangkutan ternyata illusoir.

Apa yang didalilkan Penggugat tentang adanya objek tersengketa berupa sebidang tanah perkebunan seluas 200 x 200 meter terletak perbukitan di Desa Padang Capo Ulu, Kecamatan Lubuk Sandi, Kabupaten Seluma oleh hakim yang memeriksa perkara perlu diadakan pemeriksaan langsung ke objek dimaksud. Lebih-lebih menyangkut nilai objek tersengketa yang sangat besar. Dengan memedomani ketentuan SEMA Nomor 7 tahun 2001, maka hakim karena jabatannya dapat menetapkan diadakan Pemeriksaan Setempat.

Dari informasi yang berhasil dihimpun, Desa Padang Capo Ulu adalah perkampungan di dataran tinggi di wilayah Bengkulu yang berbatasan dengan Wilayah Sumatera Selatan. Dalam catatan Pemerintah Daerah Kabupaten Seluma tahun 2016, Desa Padang Capo Ulu bersama Desa Padang Capo Ilir merupakan dua dari empat belas desa kategori sangat tertinggal di wilayah Kabupaten Seluma. Tidak adanya sarana infrastruktur yang memadai untuk menunjang lalu lintas yang menghubungkan penduduk setempat dengan masyarakat luar menjadi alasan sulitnya mengangkat taraf hidup masyarakat di sana. Padahal, hasil bumi berupa kopi, karet dan sawit sangat melimpah untuk dimanfaatkan bagi kemakmuran penduduk setempat.

Pukul 09.00 WIB. Tim Pemeriksa dari Pengadilan Agama Tais bertolak menuju Desa Sukamaju, Kecamatan Sukaraja, tempat di mana Tim bertemu dan melakukan koordinasi dengan aparat penghubung Desa Padang Capo Ulu beserta Babinkamtibnas dari Sektor Sukaraja. Tepat pukul 10.00 WIB rombongan yang terdiri dari Tim Pemeriksa Pengadilan Agama Tais, Babinkamtibnas Sukaraja beserta aparat penghubung Desa Padang Capo Ulu bergegas menuju Desa Padang Capo Ulu yang berjarak 30 kilometer dari Sukaraja. Perjalanan ditempuh dengan menggunakan kendaraan single cabin 4x4 yang disewa oleh Pengadilan Agama Tais.

Duduk di depan roda kemudi Bang Feri, lelaki yang mengaku pernah dua tahun melahap jalan-jalan offroad di tanah Papua. Setelah menempuh jarak 10 kilometer dengan permukaan jalan beraspal, perjalanan yang sesungguhnya baru dimulai. Di depan, menanti permukaan tanah berbatu cadas, sudut kemiringan 30 – 50 derajat dengan luas badan jalan seukuran bodi mobil. Tantangan pertama yang cukup membuat dahi kami semua berkernyit, menahan nafas melirik lereng bukit curam di sebelah kanan kami. Tidak dengan Bang Feri, sambil bernyanyi dan merokok, tangan kirinya kerap menekan tombol media player memilih lagu-lagu dangdut kegemarannya. Tepat 60 menit medan offroad sepanjang 7 kilometer berhasil kami lalui di bawah terik panas yang membakar kulit.

Tantangan berikutnya berupa jalan tanah liat berlumpur, sudut kemiringan 30 – 50 derajat dengan kombinasi gundukan serta lubang raksasa yang siap menelan roda kendaraan. Tidak ingin terjebak hidup-hidup di kuburan terbuka, Tim memutuskan memasang “sepatu rantai” untuk melapisi permukaan ban GT Radial bergerigi dari tunggangan Strada Triton double gardan berpenggerak 4 roda ini. Berbekal mesin diesel 4D56 2.5 liter 16 katup dalam 4 silinder plus sepatu besi, medan offroad level dua siap dijejak.

Cuaca berubah begitu cepat. Beberapa saat yang tadi terasa membakar kulit, kini mendung mulai mengintai. Dan benar, tidak lama turun rintik gerimis yang makin menyiutkan nyali. Tim harus memutuskan berhenti dan memasang tenda sekiranya hujan deras terjadi. Bersyukur bahwa yang kami takutkan tidak terjadi, hanya rintik gerimis kecil yang justru turut mendinginkan suasana batin seluruh anggota Tim.

Setelah berulang kali menahan nafas saat roda-roda depan kendaraan terangkat dari permukaan tanah, kombinasi medan offroad ekstrem ini pun sanggup dilewati dalam waktu tempuh hampir satu jam dengan iringan rintik gerimis. Total dua jam, Tim telah melahap medan offroad dengan satu kali istirahat saat memasang ‘sepatu besi’.

“Masih berapa lama lagi, Bang?” tanya Panitera pada abang Sopir yang tiga hari lalu istrinya melahirkan anak pertama.

“Sedikit lagi, level terakhir,” jawab abang Sopir sambil nyengir menampakkan kepulan asap rokok dari sela-sela giginya.

Perjalanan pun berlanjut di diselimuti hembus udara sejuk khas dataran tinggi, meskipun matahari bersinar terang. Jarum jam menunjukkan pukul 12.00 dan ternyata tantangan terakhir medan offroad masih satu jam lagi bisa kami tempuh untuk sampai di Desa Padang Capo Ulu, tempat di mana Tim Pemeriksa PA Tais akan melakukan sidang di tempat. Tepat Pukul 13.00 Tim berhasil menginjakkan kaki di rumah Pak Kades Padang Capo Ulu.

Kopi panas dan udara pegunungan menjadi kombinasi sempurna buat kami mengawali silaturahim di Desa Padang Capo Ulu. Setelah menikmati santap makan siang, shalat dhuhur, dan briefing dari Pendamping Tim, kami bergegas menyiapkan peralatan perjalanan menuju lokasi yang terletak di atas bukit Kayu Angit.

Tim telah memperoleh penjelasan singkat terkait lokasi, medan jalan hingga waktu tempuh dari Desa Padang Capo Ulu ke Bukit Kayu Angit. Akan ada sembilan kali menyeberangi sungai berbatu tanpa alat bantu transportasi. Artinya pulang pergi Tim harus siap melahap 18 kali penyeberangan besar, sedang hingga kecil. Sementara jalur pendakian secara umum merupakan jalan setapak jejak kaki para petani kopi. Sebagian besar jalur pendakian berupa tanah basah dan rumput. Batu cadas menempati sepertiga dari jalur pendakian, sedangkan lumpur dengan ketebalan 10 – 20 cm terdapat di beberapa titik. Tidak ada jalur lalu lintas utama dalam pendakian. Sepanjang pendakian akan dipandu oleh warga lokal yang sudah mengenal kawasan hutan perbukitan Kayu Angit.

Dari semua informasi yang secara singkat dipaparkan, Tim mendapat kesempatan untuk mempertimbangkan antara melanjutkan perjalanan ke Bukit Kayu Angit dengan waktu tempuh enam jam perjalanan pulang pergi, di luar waktu pemeriksaan. Jika pukul 13.30 Tim bergerak menuju lokasi dengan asumsi pemeriksaan di lokasi memakan waktu satu jam, maka Tim akan tiba di Desa Padang Capo Ulu pada pukul 20.30 WIB. Artinya, selama dua jam tiga puluh menit tanpa cahaya matahari Tim akan menuruni hutan berbukit.

Tidak pernah terlintas dalam benak Tim Pemeriksa PA Tais untuk pulang sebelum berperang. Keputusan telah ditetapkan, mengemban tugas adalah takdir yang telah digariskan. Berbekal air botol kemasan, sepatu boots, alat pengukur luas tanah, topi penangkal terik surya, hingga tongkat kayu Tim melangkahkan kaki menuju puncak Bukit Kayu Angit tepat pukul 13.30 WIB. Sedikit demi sedikit, bayangan Desa Padang Capo Ulu mulai tampak kabur hingga lama-lama tak terlihat lagi di belakang.

Tidak meleset sedikit pun apa yang kami temui dari informasi yang kami dapat. Dari hamparan lahan pertanian yang menyambut di luar batas Desa, sungai air jernih nan dingin yang mengalir deras, jalanan setapak yang tampak tak pernah sempat mengering dan hembus angin pegunungan yang menyejukkan. Semua yang sejauh ini telah membayar lunas semua kelelahan yang mendera. Tidak hentinya kami silih berganti mengabadikan keriangan dan kebebasan yang kami dapatkan di luar ruangan, di tengah keriangan biji-biji kopi yang memerah dan sebagian masih hijau. Pengalaman yang teramat mahal untuk dilewatkan. Pemandangan alam dan suasana pegunungan yang penuh keajaiban. Semua ini melupakan kekhawatiran akan pengalaman di hadapan yang belum kami tahu.

Satu jam kami telah menyusuri jalur pendakian. Tiga kali kami melintasi sungai yang menegangkan namun juga sangat menyenangkan. Sejauh ini, kelelahan belum menyapa semangat kami untuk terus mendaki lebih tinggi. Tapi, beberapa kali Bang Dodi menegur kami untuk tidak sering mengambil gambar.

“Kita mau sampai rumah jam berapa kalau (memotret) begini terus?” cetus Bang Dodi yang ditugasi Pak Kades untuk memandu pendakian.

Benar, jalur pendakian semakin menjauhi kawasan lahan pertanian. Hutan mulai menutupi cahaya langit. Sudut kemiringan jalur daki terasa semakin memacu detak jantung. Perlahan tapi pasti, nafas kami mulai terengah-engah. Kami membutuhkan lebih banyak cadangan oksigen. Sambil membayangkan enam kali lagi menyeberangi sungai untuk mencapai puncak, akan lebih baik batas garis finis dimajukan. Bang Dodi tidak terlihat lagi. Dia jauh meninggalkan kami. Langkahnya secepat detak jantung kami. Sementara kami membutuhkan hamparan untuk sekedar merebah.

Air, inilah yang memperpanjang nafas kami. Tekad, ini pula yang tidak bosan mendorong gerak kaki-kaki kami. Tidak terhitung berapa kali kami berhenti, sebanyak itu pula kami berdiri dan bangkit lagi. Tibalah kami di hamparan kecil menghadap pondok panggung terbuat dari papan kayu. Tempat para pekerja kebun beristirahat dan menyimpan sementara hasil panen. Tampak Bang Dodi tersenyum sambil menghisap rokok kretek entah berpita cukai atau hasil pengedar lintingan rumahan yang marak didatangkan dari industri-industri rokok rumahan di Jawa. Untuk para pekerja kebun yang tinggal di pedalaman seperti Bang Dodi, rokok-rokok kretek tanpa cukai biasanya menemukan habitatnya. Yang penting ngasap, kata abang yang sehari-hari berjualan gorengan dan sembako ini.

“Bukan ini kebun kita, masih di bukit seberang,” sergah Bang Dodi yang paham benar isi hati kami berharap inilah tempat yang kami tuju.

Masih sepertiga sisa pendakian. Sudut kemiringan semakin tajam. Semakin banyak kami meneguk air botol, semakin ringan beban ransel di punggung. Tidak ada lagi sungai besar yang menanti. Tinggal sungai-sungai kecil berbatu dengan aliran air jernih dan segar. Tongkat kayu yang sejak awal menjadi teman bermain lumpur, batu-batu sungai, kini mulai menampakkan perannya. Satu langkah kaki, tongkat kayu menopang beban tubuh kami. Dua langkah kaki, semakin kuat tongkat kami mendorong gerak tubuh ini. Dan begitu seterusnya, hingga pukul 16.15 tibalah kami di hadapan pondok panggung serupa dengan sebelumnya. “Mudah-mudahan inilah tempatnya,” dalam hati kami bergumam.

“Kita sudah sampai,” kata bang Dodi singkat.

Sempat tidak percaya, kami terkejut sesaat kemudian meledak perasaan yang meronta-ronta ini. Belum juga kami menempuh tiga jam. Bagaimana mungkin dengan langkah kami bisa mencapai ini. Dengan cara kami melangkah, Bang Dodi sempat mengingatkan waktu tempuh kita bisa molor dari 3 jam yang direncanakan menjadi 4 jam. Usut punya usut, pemandu kami sempat bertanya pada pekerja kebun jalur mana yang bisa lebih cepat sampai ke lokasi, mengingat waktu yang semakin sore. Dan inilah jawabannya. Kami berhasil memangkas waktu 15 menit lebih cepat dari waktu normal, meskipun melahap sudut kecuraman lebih ekstrem.

Peralatan ukur kami keluarkan. Alat tulis segera kami siapkan. Tim bergerak cepat menyelesaikan misi yang hampir mustahil ini. Semua menjalankan fungsinya, hingga kami mendokumentasikan semua temuan di lapangan. Saksi-saksi yang membersamai perjalanan kami telah kami catat semua kesaksiannya. Tuntaslah misi kami menjalankan tugas mulia ini. Sambil menarik batas-batas lahan kopi, tidak ketinggalan kami menikmati hamparan curam kebun hijau yang memamerkan berjuta-juta biji merah hijau kopi pegunungan Bukit Kayu Angit.

Tunai sudah tugas kami. Pukul 17.35 kami meninggalkan lokasi menuruni jalur pendakian yang telah menanti derap langkah kaki-kaki kami. Kami berlari meninggalkan seluruh pikiran dan perasaan. Sepatu dan sandal hanya akan menumpuk kekhawatiran. Kami bertelanjang kaki menyusuri akar-akar pepohonan liar. Tidak terasa sedikit pun saat kaki-kaki kami menghantam batu, menghunjam lumpur, mengarungi sungai dan menerjang batang-batang hutan pegunungan.

Hari semakin gelap. Jarak pandang terpangkas total. Dengan sisa-sisa power battery HP, kami nyalakan cahaya. Tidak ada petunjuk arah, tidak ada cahaya bulan. Kami berlari tanpa henti. Mata kaki kami lebih tajam dari temaram cahaya HP yang mengalung di lingkar dada kami. Semakin pekat malam menyelimuti, semakin meriah nyanyian alam. Lantunan habitat hutan pegunungan yang bersahutan, seakan mengiringi setiap lompatan dan hentakan kaki-kaki tak beralas. Sejenak kami mencoba berpikir untuk berhenti, persendian kaki kami berontak dan gemetar seolah memberi tahu tidak ada waktu untuk menghela nafas. Teruslah kami berlari menuruni tebing.

Pakaian basah yang membungkus tubuh menjelma menjadi sarang lintah hutan. Semakin kami berlari, semakin deras darah mengalir. Semakin kami melompat, semakin kencang jantung kami memompa oksigen. Dan semakin sejahtera hewan-hewan pengisap darah yang berpesta di malam gelap gulita.

Remang-remang mulai tampak cahaya lampu perkampungan penduduk di kejauhan. Pertanda Desa Padang Capo Ulu telah mendekat. Tersisa satu aliran sungai dingin untuk kami renangi, mengalirkan semua rasa lelah. Pukul 19.45 kami berhasil menyentuh batas Desa. Tim solid melompat-lompat kegirangan. Dan, Bang Feri dengan kendaraan bajanya sudah menanti untuk mengguncang kami menyusuri medan offroad meninggalkan Desa Padang Capo Ulu dalam durasi perjalanan tiga jam.

“Bang, rokok dulu, lah...!,” pinta kami pada Feri, sembari kami bersih-bersih dan berkemas.

Tepat pukul 21.00 kami meninggalkan Desa Padang Capo Ulu. Hentakan roda-roda kendaraan menambah nikmatnya gorengan dan tumpahan kopi panas selama perjalanan pulang. Pukul 23.20 kami bertemu jalan aspal di kawasan Hutan Karet PTPN VII Sukaraja. Terpaan angin malam mengantar kami hingga ke Desa Sukamaju, Kecamatan Sukaraja, tempat kami semula bertemu dan berkoordinasi. Terima kasih kami sampaikan kepada Tim Pendamping dan Babinkamtibnas, Petugas Penghubung Desa Padang Capo Ulu, Abang Sopir dan seluruh pihak yang berkontribusi dalam suksesnya Pemeriksaan Setempat. [SQ]

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice