logo web

Dipublikasikan oleh Ridwan Anwar pada on .

PA Sukamara Gelar Sidang Perdana

Ketua Majelis Hakim sedang memeriksa identitas Pemohon

Sukamara | PA Sukamara

Meskipun baru didaftarkan pada minggu pertama di bulan penghujung tahun 2018 lalu, dan meski secara aturan sesungguhnya pemeriksaan perkara cerai boleh dilangsungkan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal surat gugatan/permohonan didaftarkan, akan tetapi demi mewujudnya peradilan cepat sederhana dan biaya ringan (vide. Pasal 2 ayat 4 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman), serta untuk menghindari penyelesaian perkara lebih dari 5 (lima) bulan (vide. SEMA Nomor 2 Tahun 2014 tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tingkat Pertama dan pengadilan Tingkat Banding di 4 (empat) Lingkungan Peradilan), maka Ketua Majelis Hakim Pengadilan Agama Sukamara menetapkan hari sidang perkara tersebut di hari ke-12 (kedua belas) atau sekira 2 (dua) minggu pasca pendaftaran, yakni pada hari ini Rabu tanggal 19 Desember 2018.

Pengadilan Agama Sukamara sebagai Pengadilan baru, untuk sementara baru mempunyai 3 (tiga) orang hakim, yaitu : M. Arqom Pamulutan, S.Ag., M.A. yang merangkap pula sebagai Wakil Ketua Pengadilan; serta Abdul Rahman, S.Ag. dan Miftahul Arwani, S.H.I., dua hakim yang 5 (lima) tahun sebelumnya bertugas di Pengadilan Agama Sampit. Namun demikian, keterbatasan jumlah hakim tersebut, tidak lantas membuat Pengadilan Agama Sukamara untuk tidak menerapkan ketentuan Pasal 11 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, di mana dalam pasal tersebut menentukan bahwasannya dalam memeriksa mengadili dan memutus perkara harus dengan sususan majelis hakim sekurang-kurangnya tiga orang hakim.

Dalam sidang perdana tersebut, perkara cerai yang disidangkan kesemuanya ialah perkara Cerai Talak, yaitu cerai yang diajukan oleh suami terhadap istrinya, dengan susunan Majelis Hakim : M. Arqom Pamulutan, S.Ag., M.A. sebagai Ketua Majelis; Abdul Rahman, S.Ag. dan Miftahul Arwani, S.H.I., masing-masing sebagai Hakim Anggota I dan Hakim Anggota II; dengan dibantu oleh Adib Fuady, S.H.I. sebagai Panitera Pengganti.

Perlu diketahui, sebagaimana ketentuan Pasal 54 UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama bahwa Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini. Hal ini di antaranya, berarti sesuai ketentuan Pasal 154 Reglement Buiteegewesten (RBg) juncto Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, bila mana pada sidang pertama kedua belah pihak beperkara hadir di muka sidang maka wajib kepadanya untuk melakukan mediasi terlebih dahulu dengan seorang Mediator, dan bahkan sebelum memasuki tahap acara pembuktian, para pihak pun secara sukarela tetap dapat melakukan mediasi, dan bilamana mediasi tidak dilaksanakan maka putusannya akan batal demi hukum.

Mengingat pula perkara perceraian adalah perkara khusus maka merujuk ketentuan Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juncto Pasal 65, Pasal 82 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama junctis Pasal 31 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan junctis Pasal 115, Pasal 131 ayat (2) dan Pasal 143 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam, Majelis Hakim tetap dan harus berupaya mendamaikan dan/atau merukunkan Pemohon dengan Termohon.

Mengapa pemeriksaan perkara perceraian terkesan susah dan mengulur-ngulur waktu ?. Sesungguhnya bukan susah ataupun mengulur-ngulur waktu, namun lebih karena perkara perceraian mempunyai hukum acara khusus (lex specialis derogat legi generalis) dan pula tidak ada perceraian atas dasar kesepakatan (vide. Pasal 208 Kitab Undang-undang Hukum Perdata), serta untuk menghindari adanya penyelundupan hukum, dan/atau untuk menghindari kesan mempermudah terjadinya perceraian namun sebagai bentuk ikhtiyaat (kehati-hatian) dari Majelis Hakim, maka karenanya untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara seorang istri dan seorang suami tidak dapat hidup rukun sebagai suami istri sebagaimana maksud dari ketentuan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dan hal ini berarti meskipun di muka persidangan semisal Termohon/Tergugat mengakui, atau Termohon/Tergugat tidak mengajukan bantahan dan/atau alat bukti atas dalil permohonan Pemohon/gugatan Penggugat tentang telah tidak rukunnya Pemohon/Penggugat dan Termohon/Tergugat sebagai suami istri, namun Majelis Hakim tetap harus mewajibkan kepada Pemohon/Penggugat untuk mengajukan alat-alat bukti yang menguatkan dalil permohonan Pemohon/gugatan Penggugat tentang telah tidak rukunnya Pemohon/Penggugat dan Termohon/Tergugat sebagai suami istri tersebut.

Bahwasannya untuk menghindari kesepakatan perceraian, penyelundupan hukum, menghindari kesan mempermudah terjadinya perceraian tapi harus ikhtiyat dalam memutuskan suatu perkawinan, maka dalam perkara perceraian, yang wajib dibuktikan oleh Pemohon/Penggugat ialah telah cukup alasan kah ia untuk mengajukan permohonan/gugatan perceraian tersebut, di mana yang secara limitatif alasan-alasan tersebut ternormakan dalam Pasal 19 huruf a s.d. f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juncto Pasal 116 huruf a s.d h Kompilasi Hukum Islam, yaitu :

salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;

salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;

salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;

antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;

suami melanggar taklik talak;

peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.

Dan ternyata dalam sidang perdana (pemeriksan perkara-perkara cerai talak) di Pengadilan Agama Sukamara pada hari ini (Rabu, 19 Desember 2018), meski pihak Termohon telah dipanggil secara sah dan patut sesuai ketentuan Pasal 145 ayat (1) dan (2) Reglement Buiteegewesten (RBg) juncto Pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan beserta Penjelasannya, akan tetapi ternyata semua pihak Termohon dalam perkara-perkara cerai talak tersebut tidak hadir menghadap ke muka sidang. Olehnya itu, mengingat ketentuan Pasal 150 Reglement Buiteegewesten (RBg), Ketua Majelis Hakim memerintahkan kepada Jurusita Pengadilan Agama Sukamara agar memanggil para pihak Termohon sekali lagi untuk agenda upaya damai.

Semoga di sidang kedua nanti para pihak Termohon hadir di muka sidang, lalu perkara cerainya bisa berakhir di ruang mediasi dengan damai. Dan kalaupun terpaksa harus dilanjutkan karena ketidakhadiran pihak Termohon untuk kedua kalinya, semoga putusan Pengadilan Agama Sukamara nantinya menjadi solusi yang paripurna atas permasalahan rumah tangganya dengan Termohon. Amin. (arw/skr).

Hubungi Kami

Gedung Sekretariat MA (Lt. 6-8)

Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 ByPass Jakarta Pusat

Telp: 021-29079177
Fax: 021-29079277

Email Redaksi : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Email Ditjen : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Lokasi Kantor

 Instagram  Twitter  Facebook

 

Responsive Voice