Model Diskusi di PA Pelaihari Kali ini Beda
Pelaihari | pa-pelaihari.go.id
Tidak seperti diskusi yang dilakukan beberapa waktu yang lalu, kali ini Kamis, (21/03/2013) PA Pelaihari menyelenggarakan diskusi tanpa nara sumber. Melainkan tiap-tiap majelis menyampaikan permasalahan aktual yang dihadapinya, didiskusikan bersama dan dicarikan solusinya.
Menurut Wakil Ketua PA Pelaihari -Drs. H. Fathurrahman Ghozalie, Lc., M.H.- model diskusi seperti ini lebih efektif. Meskipun tanpa nara sumber namun karena tiap-tiap majelis memaparkan permasalahan yang dihadapinya maka secara tidak langsung tiap-tiap majelis bertindak sebagai nara sumber.
Bertempat di ruang Waka PA Pelaihari diskusi diikuti oleh seluruh hakim dan dipimpin langsung oleh Waka PA Pelaihari yang sekaligus sebagai koordinator. Diskusi berlangsung mulai Pukul 09.00 s.d 12.00 waktu setempat.
Beberapa hal yang menarik dalam diskusi itu adalah bagaimana format gugatan yang Tergugatnya tidak cakap hukum seperti gila. Setelah melalui perdebatan panjang maka dibuatlah identitas Tergugat tersebut ditulis identitasnya lengkap dan ditambahkan kalimat yang dalam hal ini diwakili oleh wali pengampu Tergugat yang bernama X, umur, agama, pekerjaan, tempat tinggal, selanjutnya disebut sebagai Tergugat. Identitas seperti ini penting karena sebagai dasar jurusita melakukan panggilan.
Pertanyaan berikutnya adalah apa dasar jurusita memanggil wali pengampu, siapa yang mengangkat dia sebagai wali pengampu, bagaimana kalau dia tidak bersedia? Untuk menjawab persoalan ini PA Pelaihari mengambil terobosan hukum bahwa pada saat Penggugat mengajukan gugatan harus disertai surat keterangan Kepala Desa yang menerangkan bahwa Tergugat tidak cakap hukum (gila) dan menetapkan wali pengampu yang ditunjuk.
Surat keterangan ini sifatnya sama dengan mereka yang mengajukan perkara secara prodeo. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi adanya penyeludupan hukum dan bukan untuk mempersulit pencari keadilan.
Hal lain yang menarik adalah apakah dapat diterima penggabungan permohonan dispensasi nikah dan wali adhal? Siapa yang berkualitas mengajukan permohonan tersebut? Ambil contoh calon mempelai yang mengalami “kecelakaan” karena masih di bawah umur ingin melangsungkan pernikahan namun walinya tidak mau menikahkan.
Logikannya karena walinya adhal, tentu saja walinya juga enggan mengajukan dispensasi nikah. Dalam hal seperti ini maka PA Pelaihari berpendapat kedua perkara tersebut dapat dikumulasikan dan yang berkualitas mengajukan adalah Wali Pemohon yang telah mendapatkan penetapan dari Pengadilan Agama.
Tema menarik lainnya adalah bagaimana perkara yang diajukan oleh WNA? Apakah WNA mempunyai legal standing? Apa dasar hukumnya? Bahwa PA Pelaihari pernah menerima perkara pembatalan nikah yang Penggugatnya WNA dan non Muslim. Hal ini pun menjadi perbincangan yang sangat menarik karena masing-masing hakim mempunyai alasan hukum terkait legal standingnya.
Perkara ini masih berjalan sehingga tidak bisa diambil kesimpulan, hanyasaja Koordinator menyampaikan prinsip umum bahwa seseorang yang dirugikan haknya maka boleh mengajukan gugatan terlepas WNA maupun WNI, baik Islam maupun Non Islam sepanjang seseorang bersedia menundukkan dirinya kepada hukum Indonesia maka Peradilan Indonesia berwenang termasuk Pengadilan Agama. Maka dalam hal ini asas personalitas keislaman tidak berlaku mutlak terlebih lagi dalam perkara ekonomi syariah.
Acara berakhir pukul 12.00 WITA dan untuk diskusi berikutnya Koordinator telah menunjuk HM. Jati Muharramsyah yang akan mempresentasikan makalahnya pada Kamis, 11 April 2013, semoga sesuai rencana. (Muh).