Batas Kewenangan MA dan KY dalam Mengawasi Hakim pada Pembinaan Teknis Peradilan Agama secara Virtual diikuti Pimpinan dan Hakim PTA DKI Jakarta
Jakarta | pta-jakarta.go.id (18/06)
Ketua PTA DKI Jakarta, Dr. H. M. Syarif Mappiasse, S.H., M.H. bersama Hakim Tinggi serta Sekretaris mengikuti Pembinaan Teknis Peradilan Agama oleh Ketua Mahkamah Agung Bidang Non Yudisial Yang Mulia Dr. H. Sunarto, S.H., M.H. dengan Dirjen Badilag MA-RI dan para Ketua/Kepala, Wakil Ketua/Wakil Kepala, Hakim, Panitera dan Sekretaris Pengadilan Tingkat Banding dan Tingkat Pertama pada 4 (Empat) Lingkungan Peradilan seluruh Indonesia di ruang Command Center PTA DKI Jakarta yang diselenggarakan pada hari Jum’at, 18/6/2021 secara virtual oleh Dirjen Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI.
Ketua Mahkamah Agung Bidang Non Yudisial Yang Mulia Dr. H. Sunarto, S.H., M.H. menyampaikan beberapa hal dalam Pembinaan Teknis Peradilan Agama dengan tema “Batas Kewenangan MA dan KY dalam Mengawasi Hakim”, adapun menurut Yang Mulia Dr. H. Sunarto, S.H., M.H. yaitu pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial menurut ketentuan undang-undang harus semata-mata menyangkut ”perilaku hakim” guna menegakkan martabat dan kehormatan hakim, sehingga, apabila suatu putusan hakim dianggap mengandung sesuatu kekeliruan maka pengawasan yang dilakukan dengan cara penilaian atau pun koreksi terhadap hal itu harus melalui upaya hukum (rechtsmidellen) menurut ketentuan hukum acara yang berlaku.
Kemudian untuk kewenangan atas masalah teknis hukum hanya sebatas kewenangan menganalisis putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (BHT) sesuai ketentuan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, sehingga tidak ada dasar hukum kewenangan bagi Komisi Yudisial untuk melakukan tugas pengawasan teknis hukum terhadap kasus yang belum berkekuatan hukum tetap.
Oleh karena itu jika para pihak yang sedang berperkara terjadi kekeliruan dalam membuat keputusan pengabaian fakta yang merugikan para pihak, maka para pihak dapat menempuh upaya-upaya hukum dan akan tetapi, Majelis Hakim berpendapat, jika memang ditemukan oleh Komisi Yudisial adanya indikasi yang didukung oleh bukti-bukti awal yang cukup bahwa kekeliruan itu dilakukan dengan sengaja, masalah ini masuk ke dalam wilayah pengawasan ”perilaku ”, baik oleh Mahkamah Agung maupun oleh Komisi Yudisial secara sendiri atau bersamaan.
Kemandirian Kekuasaan Kehakiman dalam kerangka hukum nasional tertuang pada pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yaitu: “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.” Oleh karena itu setiap undang-undang pada masing-masing Badan Peradilan mengamanatkan pelaksanaan peradilan yang independen sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997. Semoga dengan adanya materi pembinaan teknis peradilan agama ini oleh Yang Mulia Dr. H. Sunarto, S.H., M.H. akan memberikan pencerahan dan sebagai pijakan oleh warga peradilan agama untuk bersikap dan mengambil tindakan positif untuk membangun kerangka dan memberikan putusan yang adil berdasarkan pengetahuan dan hati nurani masing-masing hakim. (Drm.Er.humas.pta.dki)