Jabatan Agama Islam Perak Lawatan Kerja ke MS Aceh

Banda Aceh | ms-aceh.go.id
Selasa, tanggal 2 Desember 2014. pukul 9.30 WIB. Mahkamah Syar’iyah Aceh, menerima kunjungan kerja dari Delegasi Jabatan Agama Islam Perak, Malaysia sejumlah 20 orang peserta, mereka adalah para Ketua Jaksa, Ketua Bagian Tarbiyah, Ketua Hisbah, Na’ib dan para Ketua Pendaftar Perkawinan, pada Jabatan Agama Islam Perak Darul Ridzuan, Malaysia.
Kedatangan rombongan dari Negeri Perak Malaysia ini, disambut oleh Wakil Ketua, dan para Hakim Tinggi Mahkamah Syar’iyah Aceh. Pertemuan berlangsung di Ruang Zainal Abidin Abubakar, Lantai II, Mahkamah Syar’iyah Aceh, yang dipandu oleh Drs. H. Rafi’uddin, M.H. salah seorang Hakim Tinggi Mahkamah Syar’iyah Aceh tersebut.
Perkenalan dari rombongan para tamu ini disampaikan oleh pimpinan rombongan, Dato’ Haji Mohd Yusop bin Haji Husin, sebagai Pengarah, Jabatan Agama Islam Perak Darul Ridzuan, dengan penuh penghormatan. Beliau menyampaikan bahwa tujuan lawatan kerja dan program diskusi ini adalah:
- Mendapatkan maklumat dan penjelasan yang tepat dan betul berkaitan pelaksanaan hukuman Syariah umumnya dan pendakwaan Syariah khususnya;
- Meningkatkan profesionalisme pegawai melalui pertukaran maklumat, pandangan dan sarana bagi mengatasi permasalahan berkaitan penguakuasaan dan pendakwaan Syariah dengan pihak Pentadbiran, Penguatkuasaan, Pendakwaan dan Mahkamah Syar’iyah Aceh;
- Meningkatkan dan menjalin hubungan strategik yang baik serta mengeratkan silaturrahim dengan instansi keagamaan seperti Kementerian Agama Provinsi Aceh, dan terkait lainnya.
Mengawali penyampaian informasi dan diskusi ini, Drs. H. Rafi’uddin, M.H. memberi penjelasan bahwa, Mahkamah Syar’iyah Aceh ini merupakan Pengadilan Tingkat Banding atau yang dikenal dengan “Mahkamah Rayuan” di Malaysia. Pada kesempatan ini juga diadakan diskusi serta tanya jawab dalam rangka tukar pikiran tentang pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh dan Malaysia, dan para rombongan ini sangat serius mengikutinya, sambil mereka juga dapat menyaksikan cuplikan video pelaksanaan hukuman cambuk beberapa waktu lalu yang eksekusinya disebuah Mesjid dalam Kota Banda Aceh, yang ditampilkan pada sebuah layar monitor.
Dalam kesempatan ini Wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh, Drs. H.M. Jamil Ibrahim, S.H., M.H., M.M. menyampaikan beberapa hal penting yang menyangkut dengan kewenangan Mahkamah Syar’iyah Aceh, bahwa kewenangan Mahkamah Syar’iyah di Aceh menduduki posisi yang sangat strategis dan mempunyai landasan yuridis yang kuat sebagai payung hukumnya, baik Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 dan beberapa Qanun Syari’at Islam sesuai dengan amanah Undang-undang. Wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh, juga mengulas bahwa realita objektif, pelaksanaan Syariat Islam di Aceh pada saat ini adalah :
- Aceh memiliki otonomi luas dalam tata kelola pemerintahan, ekonomi, politik, pendidikan, adat budaya dan Syari’at Islam (UU No. 44 Tahun 1999 dan UU No. 11 Tahun 2006).
- Syari’at Islam yang di wujudkan di Aceh adalah syari’at Islam dalam arti menyeluruh (kaffah).
- Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh berada dalam bingkai negara (state), dan pemerintah bertanggung jawab mewujudkan pelaksanaan syari’at Islam.
Disamping itu, ada beberapa hambatan atau problema yang dihadapi dalam penegakannya adalah :
- Pembangunan hukum Syari’ah di Aceh berada dalam sistem hukum nasional, sehingga pembentukan hukum (taqnin) dan penegakan hukum mengacu pada sistem hukum nasional (problema transformasi fiqh menjadi hukum positif dan problema law enforcement).
- Lembaga penegakan hukum belum berfungsi maksimal dalam penegakan hukum syari’ah, karena faktor regulasi, SDM, sarpras, dan political will pemerintah.
- Pemahaman masyarakat terhadap hukum syariah dan komitmen aparatur cenderung lemah. Optimalisasi, koordinasi, dan sinergitas penegakan hukum syari’at antara lembaga pemeritah dan masyarakat belum cukup kuat .
Atas berbagai pertanyaan dari anggota rombongan, Wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh, Drs. H.M. Jamil Ibrahim, S.H., M.H., M.M.menjelaskan bahwa, di Indonesia termasuk Aceh dapat atau dibenarkan Hakim perempuan untuk menyelesaikan kasus-kasus Jinayat (pidana). Kecuali itu beliau juga memberi penjelaskan, bahwa dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tersebut telah ditegaskan dan dibenarkan bagi yang non Islam untuk menundukkan diri pada sistem hukum Pidana Islam secara suka rela, yang jelasnya mereka tidak dipaksakan menundukkan diri kecuali bagi mereka yang datang ke Aceh harus menghormati Syari’at Islam.
Mudah-mudahan kunjungan ini dapat menjadi rahmat bagi 2 negara serumpun dan akhirnyaacara ini ditutup dengan saling menukarkan cindera mata serta foto bersama sebagai kenang-kenangan. (Tim Redaksi MS. Aceh).